KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik dalam bentuk materi maupun pikirannya.
Harapan
kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Rukun Islam kedua setelah ikrar dua kalimat syahadat adalah shalat.
Telah ada kesepakatan (ijma’) dikalangan kaum muslimin terutama para
ulamanya tentang kewajiban shalat lima waktu. Orang yang mengingkari kewajiban
shalat, atau meninggalkannya dengan sengaja secara terus-menerus, dihukumi
kafir.
Dalam ajaran Islam, shalat sebagai ibadah yang paling awal
disyariatkan memiliki kedudukan yang paling penting dari lima rukun Islam yang
ada. Julukan “ash-shalatu ‘imad al-din” (shalat adalah tiang agama) yang
diberikan Rasulullah saw. Dalam beberapa sabdanya, mengisyaratkan keunggulan
ibadah yang satu ini. Demikian pula dengan Hadits yang lain yang menyatakan
bahwa shalat sebagai amalan pertama yang akan ditanyakan oleh malaikat di alam
akhirat nanti.
Selain itu shalat merupakan satu-satunya ibadah yang paling banyak
disebutkan di dalam al-Quran. Tidak ada ibadah lain yang penyebutannya dalam
al-Quran diulang-ulang sebanyak shalat.
Maka dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang ayat-ayat
al-Quran yang khusus memuat tentang ibadah shalat. Selamat membaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Shalat
Shalat ialah berharap hati kepada Allah sebagai ibadah, dalam
bentuk beberapa perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan akhiri
dengan salam serta menurut syarat-syarat yang telah ditentukan syara.
1. Dalil yang mewajibkan shalat
Ayat-ayat yang membahas perihal salat dalam al-Qur’an bersifat
global, karena itu kita tidak akan menemukan ayat yang secara rinci menjelaskan
teknis bagaimana mengawali dan mengakhiri shalat. Kita akan menemukan rincian
salat dalam hadits-hadits Nabi saw., seperti
صلوا كما رأيتموني
اصلي
Jumlah rakaat itu sifatnya tauqifiy, tidak perlu ada kajian khusus
untuk membahasnya. Ayat–ayat mengenai salat bertebaran dalam al-Qur’an, ini
menunjukkan bahwa salat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama dan
memiliki hikmah yang sangat besar.
B. Ayat Ayat
tentang Shalat
1. AL-BAQARAH
AYAT 43-46
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ (43) أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (44)
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى
الْخَاشِعِينَ (45) الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (46)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta
orang-orang yang ruku’. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri padahal kamu membaca Al Kitab
(Taurat)? Maka, tidaklah kamu berpikir? Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
kembali kepadanya” (QS. Al-Baqarah [2]: 43-46)
Tafsir Mufradat
الصلوة : Secara harfiah berarti
doa, menurut terminology syara’ ialah serangkaian ucapan dan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[1]
بالبر :
Kebajikan yang sangat luas (banyak), diantaranya kata “al-barru” dan “al-barriyah”
digunakan untuk sebutan bagi lapangan yang luas.[2]
بالصبر : Menahan diri dari
melakukan hal-hal yang tercela atau kurang disenangi
لكبيرة :
Teramat berat
الخشعين : Orang-orang yang
mengkonsntrasikan seluruh anggota badan dan curahan perhatian kepada Allah swt.
Penafsiran Ayat
Pada surah al-Baqarah ayat 43, Allah memerintahkan umat manusia
supaya menegakkan shalat, menunaikan zakat dan rukuk bersama-sama dengan
orang-orang lain yang mau rukuk. Sedangkan pada ayat 44, Allah mengingatkan
agar Kaum Muslim jangan sampai seperti sebagian Yahudi yang menyuruh orang lain
berbuat kebajikan, sedangkan dirinya sendiri dikorbankan.
Dalam ayat 45, Allah memerintahkan umat manusia supaya memohon
pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, dan sekaligus mengingatkan
bahwa kedua perbuatan tersebut memang sangat berat bagi kebanyakan orang,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ yaitu orang-orang yang oleh ayat 46 surah
yang sama dinyatakan sebagai orang-orang yang yakin benar bahwa dirinya akan
menjumpai Allah kelak di alam akhirat. Inilah intisari khusyu’ yang penting
diperhatikan, bukan semata-mata berusaha mengkonsentrasikan seluruh pikiran di
saat-saat menegakkan shalat yang cukup sukar seperti yang umum dikenal banyak
orang.
Sabab Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 44 surah al-Baqarah di
atas turun berkenaan dengan kasus salah seorang Rahib Yahudi Madinah yang
berkata kepada menantu, kaum kerabat dan saudara sesusunannya yang telah masuk
Islam, seraya berkata, “Tetaplah kamu kepada agama yang kamu anut” (Islam), dan
amalkanlah apa-apa yang diperintahkan Muhammad, karena perintahnya itu memang
benar. Ttetapi, ia sendiri tidak mau melakukan apa yang dia ucapkan. “Lalu
turunlah ayat “ata’muruna al-nasa bil-birri wa-tansauna anfusakum” dan
seterusnya. Ayat ini pada dasarnya
mengingatkan semua umat manusia khususnya Kaum Muslim agar sekiranya tidak
bersikap seperti para Rahib Ahli Kitab.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ berkata Muqatil, firman Allah ini ditujukan kepada
orang-orang ahli kitab supaya menegakkan shalat bersama-sama Nabi saw.,
menunaikan zakat dan rukuk bersama-sama orang-orang yang rukuki dari umat Nabi
Muhammad saw.,[3] Allah swt. Mengkhususkan
penyebutan kata rukuk dalam ayat ini, demikian kata Imam Nawawi al-Bantani,
dalam rangka mendorong orang-orang Yahudi supaya menegakkan shalat secara bersama-sama
kaum Muslim. Sebab, dalam sembahyang mereka tidak dikenal gerakan rukuk.[4]
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُم, khithab
(sasran pembicaraan) ayat ini, paling tidak menurut analisa mufassir, ditujukan
kepada ahbar dan ruhban (para pendeta Yahudi dan Nashrani), yang
disinyalir memerintahkan umatnya supaya berbuat kebajikan, tetapi mereka
sendiri tidak melakukan apa yang mereka ucapkan. Yang dimaksud dengan
“al-nisyan” pada ayat diatas adalah meninggalkan dengan sengaja, bukan karena
sebab lupa atau lainnya.
وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ
الْكِتَابَ , padahal kamu (tokoh-tokoh ahli kitab) dan pandai membaca
al-Kitab (Taurat dan Injil), dan karenanya kamu tentu mengetahui persis sebagai
kebajikan yang kalian perintahkan melakukannya kepada para pengikut kalian yang
mengetahui. أَفَلَا تَعْقِلُونَ, yakni apakah kamu
tidak menggunakan akal pikiranmu Hai Ahli Kitab?
Perlu diingat disini bahwa, meskipun
khitab ayat diatas ditunjukkan kepada
para pendeta (ahbar dan ruhban) Ahli Kitab, namun tidak berarti ayat ini tidak
memberikan sindiran kepada kaum Muslim, terutama yang mengetahui ajaran-ajaran
al-Qur’an. Ayat tersebut menggambarkan betapa jelek orang-orang yang mengetahui ajaran kitab
sucinya, dan memerintahkan orang lain supaya berbuat kebajikan, sementara
dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Orang-orang seperti inilah yang
mendapatkan peringatan keras dari Allah sebagaimana firman Allah:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian disisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Shaff 61)
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ahli tafsir tentang makna sabar dalam firman Allah ini. Ada yang mengartikan
dengan puasa (menahan diri), dan ada pula yang mengartikannya mencegah dari
melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, dan membarenginya dengan menunaikan
berbagai ibadah. Dan ibadah yang paling tinggi nilainya adalah Shalat. Jadi,
dalam ayat ini Allah memerintahkan hambaNya yang mengharapkan kebaikan dunia
akhirat supaya memohon kepada Allah swt, dengan sikap sabar dan shalat. Isim
dhamir (wa innaha) pada ayat ini bisa kembali kepada “ista’inu”
dan juga kepada “ash shalat” atau keduanya, bahkan bisa juga terhadapa
semua urusan. Demikian kata al-Zamakhsyari.
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى
الْخَاشِعِينَ,
yakni sesungguhnya shalat itu memang terasa berat untuk mengerjakannya, kecuali
bagi orang-orang yang benar berhati lapang seraya merendahkan dirinya kepada
Allah swt, dengan merasa takut akan siksaanNya yang sangat dahsyat. Mereka itulah
yang dimaksud dengan orang-orang yang khusu’, yaitu orang-orang yang lebih jauh
dikemukakan dalam al-Qur’an sendiri pada ayat-ayat berikutnya:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو
رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ,
orang-orang yang yakin benar bahwa kelak mereka akan menjumpai Allah kelak di
akhirat. Bagi mereka ini, orang-orang yang khusu’, shalat itu bukanlah
pekerjaan yang berat, melainkan sebaliknya, sebagai sesuatu yang menyenangkan
dan menentramkan.
2. Q. S. Al-Isra : 78
اَقِمِ الصَّلٰوةَ
لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَ قُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ
الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat
shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Tafsir Mufradat
دُلُوْكُ الشَّمْس : Tergelincirnya
matahari
غَسَقُ الَّيْلِ : Kegelapan
malam yang pekat
قُرْاٰنُ الْفَجْر : Shalat shubuh
Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya
dirikanlah sembahyang lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu permulaan
waktu zuhur dan matahari itu sesudah tergelincir di tengah hari dari
pertengahan siang akan condong terus ke Barat sampai dia terbenam. Oleh sebab
itu dalam kata “tergelincir matahari” termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke
gelap gulita malam. Artinya apabila matahari telah terbenam ke ufuk Barat,
datanglah waktu Maghrib. Bertambah matahari terbenam ke balik bumi hilanglah
syafaq yang merah, maka seketika itu masuklah waktu Isya. [5]
Kemudian disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah berarti
bacaan di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban
shalat, maka semua penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
shalat Shubuh. Penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia
mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan malaikat.[6]
Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat
malam dan para malaikat siang” (H.R.Tirmidzi).[7]
Shalat Shubuh disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh
hening pagi itu dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran agak panjang dari waktu lain.
Pokok Kandungan
Ayat :
- Perintah untuk mendirikan shalat lima
waktu
- Petunjuk waktu-waktu shalat wajib
- Informasi
bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.
3. Q. S. Hud :
114
وَ اَقِمِ الصَّلٰوةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ وَ زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗ اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ
ۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْن ۞
Artinya : Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.
Tafsir Mufradat
زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ : bagian dari
awal malam
طَرَفَيِ النَّهَارِ : tepi siang,
maksudnya Shubuh dan Ashar
Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar
sesuai dengan ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi
siang, yakni pagi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan
dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan
Ashar[8],
pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat Shubuh
dan Zuhur, Ashar, Maghrib[9])
dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya.
Kata zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu
yang saling berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan
malam. Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah seluruh saat-saat malam, tetapi
beliau mengakui asal makna dari zulafan adalah dekat. Memanglah Maghrib dan
Isya itu masih permulaan dari malam.[10]
Innal hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni
perbuatan-perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan akan dapat
membentengi diri seseorang sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari
keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT
mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal
shaleh.[11]
Sebagaimana yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31 yang artinya “Jika kamu
menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang
mulia”. Juga seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan
kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.[12]
Al-hasanat ada yang memahaminya secara khusus yakni shalat dan
istighfar, tetapi pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya secara umum,
yaitu seluruh kebajikan. Namun demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam
bentuk khusus yakni, keburukan (dosa) kecil.[13]
Pokok Kandungan
Ayat :
- Perintah mendirikan shalat wajib dan
petunjuk waktu-waktunya
- Perintah untuk selalu berbuat baik
karena dapat menghapus dosa
Sabab Nuzul :
Seorang laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang
wanita dengan nafsu birahi saat dia
sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa bersalah dan mengadukan hal itu
pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua menasihati bahwa hal tersebut
dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu. Namun karena masih
merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata : ”Itulah
kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya Rasulullah !
Hukumlah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga laki-laki itu
pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan dipanggilnya
kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.[14]
KESIMPULAN
Ayat-ayat di atas adalah sebuah perintah bagi seluruh manusia untuk
menyembah Allah ta'ala. Khususnya dengan ibadah shalat. Karena Dialah yang
telah menciptakan manusia. Baik manusia
terdahulu ataupun manusia yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah
dalam ayat ini memiliki makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti
ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat diatas memiliki
korelasi yang kuat dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu
untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat diatas juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya
saja. Karena Alloh adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan
dan menciptakan manusia dari ketiadaan, Dia juga telah menciptakan umat-umat
sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang
tidak nampak. Dan menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat
berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat
ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah
menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya
matahari, bulan dan bintang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Amin Suma, Prof. Dr. Drs. H. Muhammad, Tafsir Ahkam Ayat-Ayat
Ibadah. Tangerang: Lentera Hati. 2016
Hashri, al, Ahmad Muhammad. Tafsir Ayat Ahkam. Beirut: Dar
al-Jalil. 1991
Ibn Katsir, Abu al-Fida Isma’il al-Jauzi. Al-Tafsir al-Azhim
(Tafsir Ibn Katsir). Jeddah
Maraghi, Mustafa Ahamd. al, Tafsir al-Maraghi. Mesir:
Mustafa Al-Babi Al-Halabi. 1974
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.
2001
Hamka, Prof. Dr. Buya. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Kejaya
Pnont Pte Ltd. 2007
[1]
Al-Hashri, Tafsir Ayat Ahkam, (Dar al-Jayl, Beirut-Lubnan)
[2]
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, VOL. 1, vol. 1, Dar (al-Fikr,
Beirut-Lubnan), halaman 104
[3] K.
HAL. O. Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Diponegoro, Bandung, 1980),
halaman 24; al-Maraghi, halaman 105.
[4]
Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Karim, VOL. 1, (al-Haramayn, Sinqafurah),
(t.t.), halaman 84.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura :
Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100
[6] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001).
Halaman 165
[7] Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi
Al-Halabi, 1974). Halaman 161
[8] Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 184
[9] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 773
[10] Hamka,
Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3562
[11] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774
[12] Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 187
[13] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774
[14] Hamka,
Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3565
Tidak ada komentar:
Posting Komentar