A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia hidup di dunia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja. Akan
tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan
sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali
melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu
informasi yang didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat
diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat
besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tidak jarang manusia harus
mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan
karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan
ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, juga sebagai dasar dan pondasi
segala ilmu dan pengetahuan.
Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat
sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada sesuatu pun yang
boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat
abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan
sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu
diketahui apa saja yang menjadi dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan
manusia untuk mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan informasi yang
pesat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi ?
2. Apa objek dan tujuan Epistemologi ?
3. Apa
landasan Epistemologi ?
C.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari
bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan ‘logos”
berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan,
menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya’’. Selain kata episteme, untuk kata “pengetahuan’’
dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis’’, maka istilah epistimologi
dalam sejarah pernah juga disebut gnosiologi. [1]
Epistemologi sering
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih
memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber,
dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.[2]
Sebagai cabang ilmu
filsafat, epistimologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum
dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya
diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas
kemampuan manusia untuk mengetahui?[3]. Beberapa
ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada epistemologi adalah P.
Hardono Hadi, 1952. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan
epistemologi adalah D.W Hamlyin (w. 2012), beliau mengatakan bahwa epistemologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang
memiliki pengetahuan.
Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology “is
the branch of philosophy which investigates the origin, stukture, methods and
validity of knowledge’’. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan
istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F
Ferrier dari Intitute of Metaphysics pada tahun 1854 dengan tujuan membedakan 2
cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya
pengetahuan. [4]
2. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek
disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur.
Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek
sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir
sama dengan harapan. Meskipun berbeda,
tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan,
sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan
yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek
epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri, 1990 berupa “ Segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk
memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan
sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan.
Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques
Martain (w. 1973) mengatakan, “Tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya
dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan meskipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu,
yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam
dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa
jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai
dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan
melambangkan sikap dinamis.
2. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode
ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, diantaranya adalah:[5]
A.
Metode Induksi
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut
suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode
induktif, suatu interensi bisa disebut indukif bila bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal[6]
David Hurne (1711-1716)
telah membangkitkan pernyataan mengenai induksi yang membingungkan para filosof
dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hurne, pernyataan yang berdasarkan
observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat
menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak dapat terbatas.
Dalam Induksi
setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti
ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi ia mengembang, bertolak dari
teori ini kita akan tahu bahwa logam lain jika dipanasi juga akan mengembang.
Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.[7]
B.
Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal
yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris[8]
atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori
dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik
dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan
kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat
tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang
telah diverivikasi, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan
hanya mungkin benar contoh : jika penawaran besar, harga akan turun. Karena
penawaran besar, maka harga beras akan turun.
C.
Metode Positivisme
Metode ini dikeluarlan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan
segala uraian/ persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu ia
menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang
tampak, dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam
tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap Teologis, orang
berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus[9]
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi
kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang
bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya
sebagai asal dari segala gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya,
tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam , melacak hakikat yang
sejati dari segala sesuatu. Yang terpenting adalah menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan
penggunaan akal
D.
Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda
harusnya dikembangkan satu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Imam Al Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan
yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Imam Al Ghazali
menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah
secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa
dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini
bisa dikomersilkan.
E. Metode Dialektis[10]
Dalam filsafat,
dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Namun Plato
(427-347 SM) mengartikannya sebagai diskusi logika. Kini dialektika berarti
tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, serta
analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan .
Dalam Kehidupan
Sehari-hari dialektika berarti kecapakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam
teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu
pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam kecakapan, bertolak paling kurang
dua kutub.
Hegel (w.1831)
menggunakan metode dialektesis[11]
untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu, menurut Hegel dalam
realitas ini berlangsung dialektika. Dan dialektika di sini berarti
mengompromikan hal-hal yang berlawanan,[12]
seperti:
-
Diktator. Disini manusia diatur dengan baik, tapi mereka tidak
punya kebebasan (tesis)
-
Keadaan diatas menampilkan lawannya, yaitu negara anarki (anti
tesis) dan warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup dalam
kekacauan.
-
Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu negara Demokrasi. Dalam
bentuk ini kebebasan warga negara dibatasi oleh undang-undang dan hidup
masyarakat tidak kacau.
KESIMPULAN
Epistemologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh
pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara,
teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan
adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan
intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya
untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu
pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang
sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah
adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara
berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara
penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara
rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga
naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan
pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam: (1) Berfikir
biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial)
(2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan
ilmiah (ilmu) (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan
pengetahuan filosofis (filsafat).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dr. Zaprulkhan. 2015. Filsafat
Ilmu.‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’. (Raja Grafindo, Jakarta)
2.
Suhendi , Prof. Dr. H. Hendi. 2008. “Filsafat Umum, Dari metodologi
sampai Teofilosofi”. ( Bandung: Putaka Setia)
3.
Tafsir, Ahmad. 2009. “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Chapra”, (Remaja Rosdakarya:Bandung)
4.
Bachiar, Amsal. 2012. “Filsafat Ilmu”. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada).
5.
Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996.
Filsafat Ilmu. ( Yogyakarta: Liberty)
[1] Dr. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu. ‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’, (Raja
Grafindo, Jakarta, 2015) hlm. 63
[2] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi.
“Filsafat Umum, Dari metodologi sampai Teofilosofi”, ( Bandung: Putaka Setia,
2008) hlm. 22
[3] Dr. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu. ‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’, (Raja
Grafindo, Jakarta, 2015) hlm. 64
[4] Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Chapra”, (Remaja Rosdakarya:Bandung), 2009, hlm. 23.
[5] Amsal Bachiar. “Filsafat Ilmu”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada). Hlm. 152
[6] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Liberty, 1996)
hlm. 109
[7] Ibid. Hlm. 153
[8] Berdasarkan pengalaman ( terutama yang diperoleh dari penemuan,
percobaan, pengamatan yang telah dilakukan)
[9] Ibid. Hlm. 154
[10] Ibid. Hlm. 156
[11] Metode analisis perubahan sosial yang menelaah syarat-syarat dan
keadaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam suatu sistem masyarakat
[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1990) hlm. 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar