Selasa, 17 Oktober 2017

MAKALAH FILSAFAT (Epistemologi)



A.   PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia hidup di dunia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja. Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tidak jarang manusia harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, juga sebagai dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu diketahui apa saja yang menjadi dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan informasi yang pesat.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Epistemologi ?
2.      Apa objek dan tujuan Epistemologi ?
3.      Apa landasan Epistemologi ?



C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
         Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan ‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya’’. Selain kata episteme, untuk kata “pengetahuan’’ dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis’’, maka istilah epistimologi dalam sejarah pernah juga disebut gnosiologi. [1]
        Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.[2]
        Sebagai cabang ilmu filsafat, epistimologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui?[3]. Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada epistemologi adalah P. Hardono Hadi, 1952. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin (w. 2012), beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat  dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat  diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
         Runes  dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology “is the branch of philosophy which investigates the origin, stukture, methods and validity of knowledge’’. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier dari Intitute of Metaphysics pada tahun 1854 dengan tujuan membedakan 2 cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. [4]
2. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir           sama dengan harapan. Meskipun berbeda,  tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri, 1990 berupa “ Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain  (w. 1973) mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan meskipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.

2. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah:[5]
A.    Metode Induksi
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu interensi bisa disebut indukif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal[6]
David Hurne  (1711-1716) telah membangkitkan pernyataan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hurne, pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak dapat terbatas.
            Dalam Induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain jika dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.[7]
B.    Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris[8] atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah diverivikasi, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar contoh : jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran besar, maka harga beras akan turun.
C.    Metode Positivisme
Metode ini dikeluarlan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak, dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap Teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus[9]
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam  dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam , melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang terpenting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal
D.    Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan satu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Imam Al Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.
E.     Metode Dialektis[10]
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Namun Plato (427-347 SM) mengartikannya sebagai diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan .
Dalam Kehidupan Sehari-hari dialektika berarti kecapakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam kecakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
Hegel (w.1831) menggunakan metode dialektesis[11] untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu, menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika. Dan dialektika di sini berarti mengompromikan hal-hal yang berlawanan,[12] seperti:
-          Diktator. Disini manusia diatur dengan baik, tapi mereka tidak punya kebebasan (tesis)
-          Keadaan diatas menampilkan lawannya, yaitu negara anarki (anti tesis) dan warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup dalam kekacauan.
-          Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu negara Demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga negara dibatasi oleh undang-undang dan hidup masyarakat tidak kacau.





KESIMPULAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam: (1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial) (2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu) (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
             



DAFTAR PUSTAKA
1.      Dr. Zaprulkhan.  2015. Filsafat Ilmu.‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’. (Raja Grafindo, Jakarta)
2.      Suhendi , Prof. Dr. H. Hendi. 2008. “Filsafat Umum, Dari metodologi sampai Teofilosofi”. ( Bandung: Putaka Setia)
3.      Tafsir, Ahmad. 2009. “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra”, (Remaja Rosdakarya:Bandung)
4.      Bachiar, Amsal. 2012. “Filsafat Ilmu”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
5.      Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996.  Filsafat Ilmu. ( Yogyakarta: Liberty)



[1] Dr. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu. ‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’, (Raja Grafindo, Jakarta, 2015) hlm. 63
[2]  Prof. Dr. H. Hendi Suhendi. “Filsafat Umum, Dari metodologi sampai Teofilosofi”, ( Bandung: Putaka Setia, 2008) hlm. 22
[3] Dr. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu. ‘’Sebuah Analisis Kontemporer’’, (Raja Grafindo, Jakarta, 2015) hlm. 64
[4] Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra”, (Remaja Rosdakarya:Bandung), 2009, hlm. 23.
[5] Amsal Bachiar. “Filsafat Ilmu”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada). Hlm. 152
[6] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Liberty, 1996) hlm. 109
[7] Ibid. Hlm. 153
[8] Berdasarkan pengalaman ( terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan)
[9] Ibid. Hlm. 154
[10] Ibid. Hlm. 156
[11] Metode analisis perubahan sosial yang menelaah syarat-syarat dan keadaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam suatu sistem masyarakat
[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990) hlm. 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH TAFSIR KLASIK ( At Tibyan fi Tafsir Al Quran ) ( karya At Thusi )

PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Tafsir menurut bahasan merupakan bentuk masdar dari fassara – yufassir – tafsiran yang berarti menjel...