
ZIARAH KUBUR
A. Pengertian Ziarah
Secara bahasa ziarah
artinya berkunjung. Secara istilah adalah mengunjungi makam orang yang sudah
meninggal untuk mendo’akannya, bertabaruk, I’tibar ataupun mengingat untuk
mengingat. Hari akhirat.
Amalan-amalan yang telah
dilakukan saat ziarah berbeda-beda yang umum dilakukan yaitu membaca Al-Qur’an,
tahlil, solawat dan berdo’a kepada Alloh semata.
B. Hukum ziarah kubur
Ziarah kubur adalah sebuah
amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كنت نهيتكم عن زيارة
القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang)
berziarahlah”
Diantara dalil-dalil Sya’i
tentang disunahkannya ziarah adalah sebagaimana hadist-hadist berikut.
عَنْ بَرِيْدَةَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ
لِمُحَمَّدٍ
فِىْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمَّةِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا
تُذَكِّرُ
اْلآخِرَةِ.(رواه الترمذي.٩٧٠)
“Dari Buraidah, ia
berkata Rosululloh SAW bersabda “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur.
Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka
sekarang berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada
akhirat.
Disebut
dalam kitab Kasyf As-Syubuhat, hlm 39 :
عَنْ هِشَامِ
بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ وَسَبْعِيْنَ
يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلاَ صَاحِكَةٌ تَأْتِى
قُبُوْرَ
الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ
وَاْلخَمِيْسِ
فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.
Hadist
dari Hisyam bin Salim:setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal,
Fathimah tidak lagi murung,ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari
dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil berucap: disini makam
Rosululloh.
Dalam Kasyf as-Syubuhat,
hlm 39 disebutkan dalam hadist sebagai berikut :
وَرَوَى اَيْضًا
الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ
حَدِيْثِ
عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ
عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ
يَوْمَ
الْجُمْعَةِ فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ
وُجُوْهُهُمْ
بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.
"Sebuah
hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul,
hadist dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakaknya, dia
mengatakan bahwa Rosululloh bersabda: Bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada
Alloh setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada
bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka
gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih
berseri."
Dalam kitab Kasyf
as-Syubuhat as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi hlm. 129 diterangkan tentang ziarah dan
amalan-amalannya:
(قَالَ النَّوَاوِيُّ)
فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ
اْلاَمْوَاتِ
اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ
لَهُمْ
عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ
اْلاَصْحَاب
"Dalam
Syarh al-Muhadzdzab imam an-Nawawi berkata adalah disunahkan bagi seorang yang
berziarah kepada orang mati agar membaca alat-alat Al’quran sekadarnya dan
berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks imam Syafi’I dan disepakati
oleh para ulama yang lainnya."
Dalam
kitab Nahjal al-Balaghah, hlm. 394-396 disebutkan sebuah hadist Nabi :
وَكَانَ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ وَقُبُوْرَ
اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ
بِمَا
تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.(
"Rosululloh
berziarah ke makam Syuhada ( orang-orang mati sahid ) dalam perang uhud dan
makam keluarga Baqi’ dia mengucapkan salam dan mendo’akan mereka atas amal-amal
yang telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)."
Disebutkan
dalam kitab I’anat at-Thalibin juz II hlm.142:
فَقَدْ رَوَى
اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ قَبْرَ
اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ
لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.
"Hadist
riwayat hakim dari Abu Hurairah Rosululloh bersabda: Siapa ziarah kemakam orang
tuanya setiap hari Jum’at, Alloh pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan
mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua."
Kemudian kaitannya dengan
hadist Nabi SAW yang secara tegas menyatakan perempuan berziarah kubur:
عَنْ
اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ
زَوَّارَاتِ اْلقُبُوْرِ (رواه احمد ٨٠٩٥)
“Dari Abu
Hurairah R.A bahwa sesungguhnya Rosululloh SAW melaknat wanita yang berziarah
kubur.” (HR. Ahmad :8095 )
C. Bolehkah Wanita Berziarah Kubur?
Para ulama berselisih dalam
hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5
pendapat ulama dalam masalah ini :
- Disunnahkan seperti laki-laki
- Makruh
- Mubah
- Haram
- Dosa besar
Ringkasnya, pendapat yang
paling kuat –wallahu a’lam- adalah wanita juga diperbolehkan untuk berziarah
kubur asal tidak sering-sering. Hal ini berdasarkan beberapa alasan :
Pertama: Keumuman sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka
sekarang berziarahlah”
Dalam hadits ini Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.
Kedua: Hadits-hadits yang
menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih shahih daripada hadits yang
melarang wanita berziarah. Hadits yang melarang wanita berziarah tidak ada yang
shahih kecuali hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أن
رسول الله لعن
زوّارات القبور
“Rasulullah
melaknat wanita yang sering berziarah kubur”
Ketiga: Lafazh زوّارات dalam
hadits di atas menunjukkan makna wanita yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu
Hajar menukil perkataan Imam Al Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan
untuk para wanita yang sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan
lafazh hiperbolik tersebut (yakni زوّارات )”. Oleh karena itu, wanita yang sesekali berziarah tidaklah
masuk dalam ancaman hadits ini.
Keempat: Persetujuan
(taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang sedang
menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya memberikan peringatan kepada
wanita tersebut seraya berkata,
اتقى
الله و اصبرى
“Bertaqwalah
engkau kepada Allah dan bersabarlah!”
Dalam
hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari perbuatan
wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hujjah.
Kelima: Wanita dan
laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat akhirat,
melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal tersebut adalah alasan
disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya, wanita juga boleh berziarah kubur
Keenam: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk berziarah
kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi Mulaikah :
أن
عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم المؤمنين من
أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر،
فقلت
لها: أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها
“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku
bertanya padanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab :
“Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya :
“Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian beliau
memerintahkan untuk berziarah”
Ketujuh: Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah
bertanya kepada Rasulullah,
كيف
أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام
على
أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين،
وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Ya
Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?”
Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari
kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami
dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul
kalian”
Syaikh Al Albani
rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam At
Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah kubur bagi
wanita”
Dengan berbagai argumen di
atas jelaslah bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak sering-sering.
Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al
‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, dan lainnya rahimahumullah.
D. Hikmah Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah amalan
yang sangat bermanfaat baik bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Bagi
orang yang berziarah, maka ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian,
melembutkan hati, membuat air mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat
zuhud terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ
أَلاَ
فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ
اْلآخِرَةَ، وَلاَ تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu
aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah
dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan
janganlah kalian mengucapkan al hujr"
Dalam hadits tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah
kubur. Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana
yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan bernasib
sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur kaku tak berdaya.
Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia menyadari batas waktu untuk
mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang sangat panjang yang tiada akhirnya
adalah hanya sampai ajalnya tiba saja. Maka ia akan mengetahui hakikat
kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana
nasibnya nanti di sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah
wal ‘aafiyah.
Selain itu, ziarah kubur
juga bermanfaat bagi mayit yang diziarahi karena orang yang berziarah
diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan
ampun untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن
النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن
أدعو لهم
“Nabi
pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka ‘Aisyah menanyakan
hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya aku
diperintahkan untuk mendo’akan mereka”
Adapun jika mayit adalah
musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan dan memintakan ampunan untuknya
berdasarkan sabda beliau,
زار
النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن
أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها
فأذن
لي، فزوروا القبور فإنها تذكر الموت
“Nabi
pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu beliau menangis. Tangisan beliau
tersebut membuat menangis orang-orang disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku
meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia
tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka
Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat
mengingatkan kalian kepada kematian”
Maka ingatlah hal ini,
tujuan utama berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk
sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak berdaya
lagi.
E. Adab Islami Ziarah Kubur
Agar berbuah pahala, maka
ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini
adab-adab Islami ziarah kubur :
Pertama: Hendaknya
mengingat tujuan utama berziarah. Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya
ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.
Imam
Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan
disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni
untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) :
“Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan
membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka
ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at”
Kedua: Tidak boleh
melakukan safar untuk berziarah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاًّ إِلَى ثَلاَثَةِ
مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ،
وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah
melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid :
Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan
Masjidil Aqsha”
Ketiga: Mengucapkan salam
ketika masuk kompleks pekuburan. “Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat)
jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلاَحِقُوْنَ
نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam
keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin,
mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan
orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami
memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”
Keempat: Tidak memakai
sandal ketika memasuki pekuburan. Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah
radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan
dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,
يَا
صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ
سِبْتِيَّتَيْكَ»
فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai
pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat
(orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan
melemparnya”
Kelima: Tidak duduk di atas
kuburan dan menginjaknya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata
: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًلأَنْ
يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ
ثِيَابَهُ،
فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ
عَلَى
قَبْرٍ
“Sungguh
jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya
dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”
Keenam: Mendo’akan mayit
jika dia seorang muslim. Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika
mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.
Ketujuh: Boleh mengangkat
tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika
mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat). Hal ini berdasarkan
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk
membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk
mendo’akan mereka. Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan
do’a adalah intisari sholat.
Kedelapan: Tidak
mengucapkan al hujr. Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah
bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah
mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan
ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan
meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang
paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama
untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan
memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari
ziarah tersebut”
Kesembilan: Diperbolehkan
menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit. Menangis yang wajar diperbolehkan
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur
ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi
jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi,
merobek kerah, maka hal ini diharamkan.
F. Rambu-Rambu Untuk Para
Peziarah
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur ini agar ziarah kubur yang dilakukan
menjadi amalan shalih,
bukan menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :
·
Hikmah disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran
dan mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu
orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “(Hendaknya)
tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat, dan mendo’akan
mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan kubur, atau melakukan
ritual penyembelihan di sana,
dan meminta mayit untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari
kesulitan, maka ini ziarah yang bid’ah lagi syirik”
·
Tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena
hal itu tidak ada dalilnya. Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka
berziarahlah. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
·
Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan menabur
bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih madzhab syafi’i-
berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah menaburkan/meletakkan
bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena hanya buang-buang harta”
Selesailah pembahasan
tentang ziarah kubur ini. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan
amal ini sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan
kelak dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya.
Bab 2

Jilbab merupakan pakaian wanita pada kehidupan
umum/keluar rumah: pasar, jalan dsb. Jilbab merupakan pakaian
longgar yang menutupi pakaian keseharian wanita di rumah. Hal ini bisa
difahami dari hadits Ummu ‘Athiyah ra.
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ
الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ
يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا.
Artinya: Dari Ummu Athiyah berkata:
Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari Fithri dan
Adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, Wanita-wanita yang sedang haid
maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meningggalkan
shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim . Aku
bertanya, “Wahai Rasulullah salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki
jilbab?” rasulullah saw menjawab: Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya
kepadanya (HR Muslim).
Berbagai bukti menunjukkan bahwa jilbab
bukan adat kebiasaan/budaya orang arab adalah pertama, asbabun
nuzul Surat An Nur ayat 31. Diriwayatkan bahwa Asma’ binti Murtsid
pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di
kebunnya tanpa berkain panjang, sehinggga kelihatan gelang-gelang kakinya, dada
dan sanggul. Selanjutnya Asma, berkata “Alangkah buruknya pemandangan ini, maka
turunlah ayat ini (surat
AnNur[24];31) sampai auratinnisa‘ berkenaan dengan peristiwa tersebut
yang memerintahkan kaum mu’minat menutup aurat (diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdillah)
Dari asbabun nuzul surat
An Nur ayat 31 tersebut jelas sekali bahwa dikatakan gelang-gelang kaki, dada,
sanggul perempuan arab saat itu terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu dia
belum memakai jilbab. Jika rambut, dada dan kaki tidak dikatakan sebagai aurat
tentu saja tidak perlu lagi perintah menutup aurat .
Kedua, asbabun Nusul Surat Al Ahzab[33] ayat 59.
Diriwayatkan bahwa isteri-isteri Rasulullah pernah keluar malam untuk
qadla hajat buang air). Pada waktu itu kaum munafiqin menganggu mereka dan
menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah Saw, sehingga Rasul menegur kaum
munafiqin. Mereka menjawab: “kami hanya mengganggu hamba sahaya”. Turunlah ayat
(surat Al
Ahzab[33];59) sebagai perintah untuk berpakaian tertutup agar berbeda dari hamba
sahaya. (diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam at Thabaqat yang bersumber dari
Abi malik. Diriwayatkan pula Ibnu Sa’d yang bersumber dari Hasan dan Muhammad
bin Ka’b al Quradli)
Dari bukti-bukti tersebut diatas, jelas bahwa orang yang
mengatakan: jilbab adalah produk budaya Arab atau adat kebiasaan/budaya orang
Arab adalah tidak benar. Argumen itu hanyalah dalih untuk menolak hukum
syari’ah yaitu perintah wajib berjilbab bagi muslimah. Kewajiban berjilbab bagi
muslimah berdasar pada surat
An Nur[24];31, Al-ahzab[33];59 dan hadits Rasulullah Saw bukan yang lain.
Di dalam al Qur,an terpadat pada surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59.
Terdapat qarinah yang jelas dalam kedua surat tersebut bahwa menutup aurat bagi
wanita hukumnya wajib. Hanya saja tidak disebutkan batasannya didalam Al
Qur’an. Akan tetapi di dalam hadits diperinci secara jelas batasan aurat
wanita, pakaian yang bagaimana yang bisa menutup aurat dan apa yang disebut
jilbab serta kapan harus memakai jilbab.
Adapun perbedaan ulama’ tidak mengenai perintah wajibnya karena
para ulama’ madzhab sepakat tentang hal itu. Hanya saja mereka berbeda mengenai
batasan aurat dan perbedaannya pada hal yang masih bisa ditolelir: masalah
ijtihadi (Dalil dzonni dilalah : suatu dalil yang
mempunyai makna lebih dari satu).
Perbedaan tersebut bersumber dari
penafsiran الا ما ظهر منها (kecuali
yang biasa nampak) dalam surat
An Nur ayat 31.
Jumhur ulama’ tidak berbeda mengenai status hukumnya, bahwa hukum
menutup aurat adalah wajib. Hanya saja mereka berbeda mengenai batasan aurat.
Sebagian berpendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh
kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan yang lain berpendapat seluruh tubuh
wanita adalah aurat.
Menurut jumhur ulama’ bahwa aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan baik di dalam shalat
maupun di luar shalat. Muka dan telapak tangan termasuk punggung tangan bukan
aurat Hal ini berdasarkan: Sabda Rasulullah Saw : “Tidak
dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian
untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian
memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).
Dalam riwayat yang lain dikatakan menampakkan kedua tangannya
(Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu
membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.
Juga terdapat pada hadits shaheh riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu
Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
المراءة عورة
Artinya: Wanita adalah aurat ( HR Ibnu
Hibban).
Dan hadits
ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا
مفصل
‘Sesungguhnya anak
perempuan apabila telah haidh tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali
wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud)
Kaki termasuk aurat. Hal ini berdasarkan
hadits shahih riwayat Nasa’i dan Tirmidzi.
“Dan dari
Ibnu Umar ia berkata Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa melabuhkan
pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari
kiamat . Lalu Ummu Salamah bertanya: Lalu bagaimana perempuan harus berbuat
terhadap ekor pakaiannya? Nabi menjawab: Turunkanlah sejengkal. Ummu
Salamah berkata;: kalau demikian masih terlihat kaki- kaki mereka . Hendaklah
mereka menurunkannya sehasta, jangan mereka melebihkan dari itu”(HR Nasa’i dan
Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya).
Dan riwayat yang lain:
Sesungguhnya
isteri-isteri Nabi Saw . Lalu Nabi Saw menjawab: Turunkanlah ia sejengkal.
Kemudian mereka menjawab: kalau sejengkal tidak dapat menutup aurat. Lalu
Nabi menjawab: panjangkanlah ekor kainnya itu sehasta(HR Ahmad)
A. Menutup Aurat dalam Pandangan Islam itu Wajib
Kalau kita memperhatikan
sebelum Alloh memerintahkan menutup aurat yang terdapat dalam surat An Nur ayat
31 dan Al Ahzab 59, terlebih dahulu Allah memerintahkan menahan pandangan
(ghadldlul al Bashar) dalam surat An Nur [24] ayat 30. Hal ini menunjukkan keterkaitan
antara menutup aurat dengan menundukkan pandangan. Surat an Nur ayat 30:
قُل لِلمُؤمِنينَ
يَغُضّوا مِن أَبصٰرِهِم وَيَحفَظوا فُروجَهُم ۚ
ذٰلِكَ أَزكىٰ لَهُم ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما يَصنَعونَ
Katakanlah kepada
orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Ayat tersebut
memerintahkan kaum mu’minin untuk menundukkan pandangan terhadap aurat
perempuan yaitu selain muka dan telapak tangan. Karena melihat selain muka dan
telapak tangan hukumnya haram. Termasuk rambut, leher, kaki, dada, dsb. Bukhari
meriwayatkan hadits berkenaan dengan surat An Nur ayat 31 :
وَقَالَ
سَعِيدُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ لِلْحَسَنِ إِنَّ نِسَاءَ الْعَجَمِ يَكْشِفْنَ
صُدُورَهُنَّ وَرُءُوسَهُنَّ قَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ عَنْهُنَّ قَوْلُ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ وَقَالَ قَتَادَةُ عَمَّا لاَ يَحِلُّ لَهُمْ.
Artinya: Dan Sa’id
nin Abi Hasan berkata kepada Hasan;”Sesungguhnya para wanita non ‘Arab selalu
menyingkapkan dada dan rambut mereka”.Mendengar itu Hasan berkata: Palingkan
pandanganmu”-Firman Allah: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya dan Qatadah
berkata tentang hal itu (aurat wanita) tidak gala bagimu (HR. Bukhari)
Selanjutkan dalam surat An
Nur ayat 31 Allah menjelaskan juga batasan aurat yang boleh dilihat yaitu
selain muka dan telapak tangan. Dengan demikian haram melihat aurat wanita .Dan
boleh melihat selain aurat yaitu muka dan telapak tangan. Surat An Nur
ayat 31
وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ
يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا
ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ
جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا
لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو
أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى
أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ
غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ
عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ
لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ
وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ
Artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
يٰأَيُّهَا
النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ
مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ
غَفورًا رَحيمًا
Hai nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka
tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam Nidzam Ijtima’i
fi Al Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani menyebutkan yang dimaksud
dengan kata “Zinah”(perhiasan) adalah “mahalluzzina
min a’dho’i al Mar’ati”.
Dengan demikian yang tidak
boleh terlihat pada wanita adalah tempat perhiasan mereka: rambut, leher,
tangan dan kaki. Dengan kata lain aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali
muka dan terlapak tangan Kalimat ولا
يبدين زينتهن (Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya) dalam Surat an Nur ayat 31. Kata ولا
menunjukkan ath thalabu at tarki (tuntutan untuk
meninggalkan). Kalimat: واليضربن
بخمرهن على جيوبهن (dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung kerudung ke dadanya). Lam pada kata واليضربن
merupakan lam amar (perintah menunjukkan ath thalabu
al fikli (tuntutan untuk mengerjakan). Dan Kata يدنين من جلببهن
(mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) dalam surat al
Ahzab ayat 59 . Kata عليهن menunjukkan ath thalabu al fikli (tuntutan untuk
mengerjakan).
Untuk menunjukkan bahwa
tuntutan menutup aurat dalam surat an Nur ayat 31 dan al Ahzab 59 merupakan
hukum wajib perlu, ada qarinah yang jazim(indikasi yang pasti) sebagai
berikut:
Pertama,
adanya pujian bagi orang yang melaksanakan perintah menutup aurat akhir
dari ayat tersebut
لعلكم تفلحون(supaya
kamu beruntung) pada akhir Surat An Nur ayat 31 menunjukkan bahwa menutup aurat
merupakan kewajiban. Dan adanya perintah untuk bertaubat: وتو ب الى الله ( maka
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah) pada akhir surat al Ahzab ayat 59. Hal
ini menunjukan bahwa membuka aurat hukumnya haram dan berdosa. Karena
jika anjuran tentu Allah tidak memerintahkan bertaubat.
Kedua, adanya
dzam
(celaan) bagi orang yang membuka aurat menunjukkan bahwa mentup
aurat merupakan kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan
Ahmad dan Muslim. “Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ
مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua macam golongan dari ahli neraka yang tidak kuketahuinya
lagi sesudah itu, yaitu perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang
yang berpaling dan memalingkan, diatas kepala mereka ada(sanggul sebesar kelasa
onta yang bergoyang-goyang, mereka itu tidak dapat melihat surga dan tidak
dapat mencium bauhnya. Dan laki-laki yang selalu membawa cambuk seperti
ekor sapi, yang dengan cambuk itu dipukulnyalah manusia (HR Ahmad dan Muslim)
Ketiga, Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada
Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di
sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).
Dalam
riwayat yang lain dikatakan:
Menampakkan kedua tangannya (Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan
tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu
sama lain.
Seluruh tubuh wanita
adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan juga berdasarkan hadits shaheh
riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
المراءة عورة
Artinya:
Wanita adalah aurat”( HR Ibnu Hibban).
Dan hadits
ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا
مفصل
‘Sesungguhnya anak
perempuan apabila telah haidh tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali
wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud)
Rasulullah Saw.
Bersabda:”Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
tangannya kecuali sampai di sini” Hadis tersebut menunjukkan tuntutan
meningggalkan (ath thalabu at tarki)/ larangan bagi
wanita untuk menampakkan aurat. Dan larangan ini kedudukan hukumnya
bukan makruh, akan tetapi haram karena ada qorinah yang pasti
berupa tuntutan untuk meninggalkan disertai dengan kata iman yaitu:
percaya
kepada Allah dan hari kemudian. Karenanya wanita diharamkan menampakkan
aurat. Tentu saja hal ini menunjukkan wajibnya wanita menutup aurat.
B. Faham Tentang Cadar dan Jilbab
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
Ayat ini menunjukkan bahwa
pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga
Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak
itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah,
hal. 76,77
Semakna dengan ayat
tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita
dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak
sengaja. Di antaranya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ: قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ
بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ
مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنْ أَبَيْتُمْ
فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ
وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di
jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena
merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajeleis di jalan), maka
berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab,
“Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan
kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
Juga
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ali Radhiyallahu
'anhu.
يَا
عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ
لَكَ الْآخِرَةُ
"Wahai
Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua),
karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi
tidak berhak pada pandangan (kedua). [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya.
Dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 77]
Jarir bin Abdullah
berkata.
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ
فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pandangan
tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” [HR
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah,
hal. 78]
Al Qadhi ‘Iyadh berkata,
“Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib
menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunnah yang disukai. Dan yang
wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan,
kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh
Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” [Adabusy Syar’iyyah I/187,
karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al-Mar’atil Muslimah, hal. 77]
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata.
أَنَّ أَسْمَاءَ
بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ
عَنْهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ
أَنْ
يُرَى مِنْهَا إِلاَ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ
قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ
لَمْ
يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
"Bahwa
Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling
darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah
mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”,
beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. "
Hadits
ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini
dikuatkan dengan beberapa penguat :
a). Riwayat
mursal shahih dari Qatadah dari Nabi n bersabda. “Jika seorang gadis kecil
telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan
tangannya sampai pergelangan.”
b). Diriwayatkan
oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin
Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari
menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat
‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan
Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada
Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya
kenapa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau
menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita
muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau
memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya,
sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak
tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi
menyatakan, “Sanadnya dha’if”. Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama
Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang
sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan
bukunya. Syeikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan
penguat.
c). Pendapat sebagian sahabat
(seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak
yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan.
Jabir bin Abdullah berkata:
شَهِدْتُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ
الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ
أَذَانٍ
وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
وَذَكَّرَهُمْ
ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ
وَذَكَّرَهُنَّ
فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ
جَهَنَّمَ
فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ
الْخَدَّيْنِ
فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ
تُكْثِرْنَ
الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ
يَتَصَدَّقْنَ
مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ
أَقْرِطَتِهِنَّ
وَخَوَاتِمِهِنَّ
"Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah,
dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal,
memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya.
Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai
mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau
bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar
neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang
pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh
dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan
perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain
Bilal. [HSR Muslim, dan lainnya]
Hadits ini jelas
menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah.
Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu
pipinya merah kehitam-hitaman. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59]
Ibnu Abbas berkata.
أَرْدَفَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ
عَبَّاسٍ
… فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِلنَّاسِ
يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ
تَسْتَفْتِي
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ
الْفَضْلُ
يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ
النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا
فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ
وَجْهَهُ
عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
"Rasulullah
SAW. memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi
fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku
Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap
melihatnya. Maka nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan
memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari
melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]"
Kisah ini juga diriwayatkan
oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dan dia menyebutkan bahwa
permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah
melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher
anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR
Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syeikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”]
Dengan ini berarti,
bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram,
sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan
hajji atau umrah).
Ibnu Hazm
rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib
ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan wanita
tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari
atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah
Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal
rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan
pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka
tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena
kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah
menimpanya.
Di dalam hadits ini juga
terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan
manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita.
Juga terdapat (dalil) bahwa
istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena
(kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk
menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.
Di dalamnya juga terdapat
(dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa
wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh
laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]
Perkataan Ibnu Baththal
rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa
wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram).
Tetapi Syeikh Al Albani
menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang
berihram), sebagaimana penjelasan di atas.
Seandainya wanita itu
muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap
kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di
hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits
ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki
wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah).
Peristiwa ini terjadi di
akhir kehidupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di hadapan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). [Lihat Jilbab
Al Mar’atil Muslimah, hal. 61-64]
Sahl
bin Sa’d berkata.
أَنَّ امْرَأَةً
جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ
إِلَيْهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ
إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
Bahwa
seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.”
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan
menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR
Bukhari, Muslim, dan lainnya].
Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya
memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya…tetapi
(pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi
kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk melihat wanita mukminat yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain
beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut,
dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya
tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” [Fathul Bari IX/210]
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.
كُنَّ نِسَاءُ
الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ
ثُمَّ
يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ
أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
"Dahulu
wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut.
Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan
shalat. Tidak
ada seorangpun mengenal mereka karena gelap. [HR Bukhari dan Muslim]."
Dalam riwayat lain,
وَمَا
يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
Dan sebagian kami tidak
mengenal wajah yang lain.
Dari perkataan ‘Aisyah,
“tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap” dapat difahami, jika tidak
gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari
wajahnya yang terbuka. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Ketika Fathimah binti Qais
dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu
Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan
menyatakan,
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا
الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ
فَانْطَلَقَتْ
إِلَيْهِ …
Bahwa
Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka
hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika
engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu.
Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].
Hadits ini menunjukkan
bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan
Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup
kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung),
sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya
dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum
yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais
melepaskan khimar. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Peristiwa ini terjadi di
akhir kehidupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais
menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang
baru masuk Islam dari Nashrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun
ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya
kewajiban berjilbab. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 66-67].
Abdurrahman bin
‘Abis,
سَمِعْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلاَ مَكَانِي مِنَ
الصِّغَرِ
مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ
كَثِيرِ
بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ
بِلاَلٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
بِالصَّدَقَةِ
فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي
ثَوْبِ
بِلاَلٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلاَلٌ إِلَى بَيْتِهِ
Saya
mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied
bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan
karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya.
(Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin
Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal
mendatangi para wanita, kemudian menasehati mereka, mengingatkan mereka, dan
memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan
mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai shadaqah) ke kain Bilal.
Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya. [HR Bukhari, Abu Dawud, Nasai,
dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam kitab Jum’ah]
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Inilah Ibnu Abbas –di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam– melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita
bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak
dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat
jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan
dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah : 12), padahal ayat
ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil.
Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy. [Lihat Jilbab Al
Mar’atil Muslimah, hal. 67, 75]
Dari Subai’ah binti
Al-Harits,
أَنَّهَا كَانَتْ
تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ
يَنْقَضِيَ
أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا
أَبُو
السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ
نِفَاسِهَا
وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ
لَهَا
ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia
menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia
seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits
melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya.
Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah
selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan,
dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru
(atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” [HR Ahmad.
Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69. Asal kisah
riwayat Bukhari dan Muslim].
Hadits ini nyata
menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada
kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup,
tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil.
Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah
haji wada’, tahun 10 H. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69]
Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ لِي
ابْنُ عَبَّاسٍ أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ
بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ
فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ
الْجَنَّةُ
وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ
أَصْبِرُ
فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ
أَتَكَشَّفَ
فَدَعَا لَهَا
Ibnu
Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari
penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia
dahulu mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,
‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku)
terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika
engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi
jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita
tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku)
terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak
terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]
Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ امْرَأَةٌ
تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ
يَتَقَدَّمُ
حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ اْلأَوَّلِ لِئَلاَ يَرَاهَا
وَيَسْتَأْخِرُ
بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
فَإِذَا
رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
تَعَالَى
( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ
عَلِمْنَا
الْمُسْتَأْخِرِينَ)
Dahulu
ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf
pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga
berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela
ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ
عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR Ash Habus Sunan,
Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.
2472. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 70].
Hadits ini menunjukkan
bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Ibnu Mas’ud berkata
رَأَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً
فَأَعْجَبَتْهُ
فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا
نِسَاءٌ
فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى
امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ
الَّذِي مَعَهَا
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu
mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang
membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu
meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda:
“Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya,
maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu
ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu." [HR.
Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat
takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no:235]
Sebagaimana hadits
sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita
biasa terbuka.
Dari Abdullah bin Muhammad,
dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي
وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ
اللُّقْمَةُ
فَقَالَ لاَ تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لَكِ
يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan
tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul
tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau
makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.”
Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” [HR Ahmad
dan Thabarani. Dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil
Muslimah, hal. 72]
Berlakunya Perbuatan Ini
Setelah Wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Hadits-hadits di atas jelas
menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak
tangan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus
berlangsung setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana
ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al
Mar’atil Muslimah [hal. 96-103].
Ini
semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga
wajib ditutup.
Anggapan terjadinya ijma’
tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah
benar. Bahkan telah terjadi perselisihan diantara ulama. Pendapat tiga imam
(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’I), menyatakan bukan sebagai
aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Diantara ulama besar
madzhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah
dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah t menyatakan dalam Al Mughni, “Karena
kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak
tangan untuk mengambil dan memberi.” [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal.
7-9].
Dalil-dalil shahih di
atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan
telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.
Sebagian keterangan
di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya
ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan dibolehkannya membuka wajah dan
telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat hijab.
Kemudian, seandainya tidak
diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat
hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan dibolehkan membuka wajah dan telapak
tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaedah, bahwa setiap hukum itu tetap
sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapuskannya. Maka orang
yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan
bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang
didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.

POTENSI
ANAK (FITHRAH)
A. Pengertian Fithrah
Kata
fitrah berasal dari bahasa arab فَطَر yang artinya
sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya. (الَّتِى يَتَّصِفُ
بِهَا كُلُّ مَوْجُوْدٍ فِى أَوَّلِ زَمَانِ خَلْقَتِهِ الصِّفَةُ) atau bisa juga berarti الدين / الصفة الإنسان الطبيعية sifat dasar manusia / agama. Fithrah juga bisa berarti الإبتداع والإختراء penciptaan.
Fithrah
bisa juga memiliki pengertian "agama" maksudnya adalah bahwa setiap
manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar untuk memiliki kecenderungan
beragama tauhid, artinya memiliki kecenderungan dasar untuk meyakini adanya Dzat
Yang Maha Esa sebagai Tuhan dan penciptanya yang patut dan wajib disembah dan
diagungkan.
B. Potensi Dasar Anak
Setiap
anak yang dilahirkan memiliki sifat dasar tersebut yang dibawanya semenjak awal
kejadiannya, sesuai dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur'an sifat dasar itu
meliputi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan bertaqwa dan kecenderungan
berbuat fujur. Hal itu sebagaimana tercantum dalam firman Allah :
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا.
"Maka diilhamkanlah kepada jiwa
manusia yang baik dan yang buruk." (QS. Asy-Syams : 8)
Pada dasarnya
semenjak lahir manusia sudah dianugerahi fithrah atau potensi untuk menjadi
baik dan jahat, akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci
tanpa noda dan dosa. Oleh karena itu, apabila di kemudian hari dalam
perkembangannya anak menjadi besar dan dewasa dengan sifat-sifat buruk, maka
hal itu merupakan pendidikan keluarga, lingkungan dan kawan-kawan
sepermainannya yang notabene mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya
sifat-sifat buruk tersebut.
Karena
itu, menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan semua orang dewasa untuk memberikan
pendidikan dan bimbingan yang baik kepada putra-putrinya, agar kecenderungan
takwa dalam diri anak menjadi tumbuh dan berkembang dan bukan sebaliknya.
Karena pada dasarnya setiap anak dibekali fithtrah yang sama atau setara,
seorang yang di dalam hatinya ada iman
akan dapat merasakan kondisi kejiwaan yang selalu selaras dengan fithrahnya,
sebab kecenderungan bawaan yang berupa kecenderungan untuk beragama tauhid dan
mengabdi kepada yang diyakininya sebagai Maha Esa, telah dimilikinya. Akan
tetapi, orang-orang kafir mareka merasa terasing dari fithrahnya, karena kecenderungan
bawaan yang dikembangkannya hanyalah untuk selalu mengabdi kepada segala
sesuatu selain Allah, maka potensi-potensi yang positif/potensi takwanya menjadi
terkesampingkan dan potensi-potensi negatif (fujurnya) yang menjadi semakin
berkembang.
Agar
potensi positif tersebut dapat berkembang optimal maka Nabi mewajibkan umatnya
untuk mencari ilmu semenjak dalam buaian, itu artinya bahwa anak harus sudah mulai
dididik dan diberikan kepadanya pengetahuan tentang segala sesuatu yang
menunjang perkembangan potensi taqwanya semenjak usia dini, bahkan semenjak
dalam kandungan, sebagaimana diperintahkan Nabi melalui sabdanya yang artinya :
Carilah ilmu semenjak dalam kandungan sampai ke liang lahat.
Perintah
Nabi tersebut mengandung pengertian bahwa, adalah menjadi kewajiban orang
dewasa untuk mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang mengembangkan
kecenderungan potensi taqwa, dan mengendalikan potensi fujur, yang keduanya
telah diberikan Allah kepada manusia semenjak kelahirannya, karena
pendidikanlah yang akan menentukan masa depan anak menjadi baik atau jahat.
Ketika anak dididik dengan pendidikan yang baik yang mengembangkan potensi atau
kecenderungan yang baik, maka dia akan menjadi baik, akan tetapi sebaliknya
jika dia dididik dengan pendidikan yang cenderung mengembangkan potensi
jahatnya, maka dia akan menjadi orang jahat. Ketika kepadanya semenjak kecil
diajarkan agama Yahudi maka dia akan menjadi Yahudi, demikian pula jika
diajarkan kepadanya ajaran agama Nashrani, maka dia akan menjadi Nashrani dan
begitu seterusnya.
Hal itu
kembali kepada sabda Nabi bahwa setiap yang terlahir dalam kondisi fithri.
Sabda Nabi itu adalah :
عَنِ اْلاَسْوَدِ بْنِ
سَرِيْع قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (حديث حسن رواه
الطبرانى والبيهقى)
"Setiap yang terlahir dilahirkan dalam
keadaan suci (memiliki kecenderungan beragama tauhid), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nashrani."
Demikian
pula dalam sabdanya yang lain Nabi mengatakan :
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا
تنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ
هُرَيْرَةَ : فِطْرَةً اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ
اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ. (أخرجه البخارى)
"Dari Abu Hurairah ra. berkata :
Bersabda Nabi SAW. : Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas
fithrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nashrani atau
Majusi, bagaikan lahirnya seekor binatang yang lengkap/sempurna."
Kemudian
Abu Hurairah membaca :
فِطْرَةً اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ.
"Fithrah yang manusia diciptakan Allah
atas fithrah itu, tidak ada perubahan terhadap apa yang diciptakan Allah.
Itulah agama yang lurus. (HR. Bukhari)
Fithrah
dalam pengertian di atas yang dimaksud adalah bahwa fithrah manusia itu
beragama tauhid, makdusnya bahwa pengakuan hati akan adanya Tuhan Yang Maha Esa
itu merupakan fithrah pembawaannya dari lahir karena manusia memang diciptakan
dengan sifat bawaan itu. Sehingga mneurut ayat di atas apabila di kemudian hari
manusia kemudian meyakini adanya Tuhan yang berbilang (bukan Tuhan Yang Maha
Esa), maka sesungguhnya yang demikian itu telah menyalahi fithrahnya.
Dalam
kitab al-Muwatho' karya Imam Malik disebutkan :
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ.
كَمَا تَنْتِجُ اْلإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ
؟ قَالُوْا : يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الَّذِى يَمُوْتُ وَهُوَ صَغِير؟
قَالَ : اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا
عَامِلِينَ.
"Dari Abu Hurairah ra. berkata :
Rasulullah SAW. bersabda : Setiap yang dilahirkan terlahir dalam keadaan
fithrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau
Nashrani, sebagaimana unta yang dilahirkan sebagai binatang yang sempurna,
apakah engkau merasakan di dalamnya ada hidung yang terpotong? Mereka berkata :
Wahai Rasulullah bagaimana pendapat baginda terhadap anak yang meninggal waktu
masih kecil? Nabi menjawab : Allah lebih mengetahui apa yang telah mereka
lakukan."
Mencermati
hadits-hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa pendidikan, utamanya
pendidikan yang diberikan kedua orang tua terhadap anak-anaknya memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan fithrah anak, karena pada dasarnya
anak memiliki sifat dasar atau kecenderungan beragama yang lurus yaitu agama
tauhid, hanya saja persoalannya kemudian bagaimana kedua orang tua
"khususnya" dan lembaga pendidikan/sekolah serta masyarakat
lingkungan di mana peserta didik berada memberikan pendidikan kepadanya, karena
berbicara masalah pendidikan sesungguhnya terdapat tiga titik sentral dalam
arena pendidikan anak, yaitu; keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang ketiganya
saling terkait terintegrasi dan tidak mungkin dipisah-pisahkan.
Orang
tua sebagai figur pendidik pertama dan utama bagi anak-anak tentu memiliki
peran yang teramat besar dalam
memberikan dasar bagi pendidikan putra-putrinya, dan sekolah sebagai penerus
pendidikan keluarga juga punya tanggung jawab moral untuk membentuk kepribadian
peserta didik menjadi manusia yang baik, sementara masyarakat dimana anak
tinggal, punya andil cukup besar di dalam turut memberikan warna dan membentuk
karakter kepribadian mereka.
Karena
peran keluarga terutama dua orang tua sangat dominan daam pendidikan
anak-anaknya, maka adalah merupakan kewajiban keluarga untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagai perkembangan pendidikan putra-putri mereka terutama
pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya atau usia pra sekolah, karena
masa-masa tersebut adalah masa-masa penting dan paling kritis dalam usia anak,
sehingga anak akan selalu memberikan pertanyaan tentang apa saja kepada orang
dewasa, dan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan sangat membekas dalam
diri anak sehingga tidak mudah untuk dilupakan.
Bab 4

A. Pengertian Niat
اَلنِّيَّةُ هِىَ الْقَصْدُ أَوْ عَزْمُ
الْقَلْبِ.
"Niat berarti suatu maksud atau
keinginan hati."
Niat, kemauan dan tujuan merupakan rangkaian yang
terajut dalam satu pengertian, yaitu suatu kondisi dan sifat hati yang
menghubungkan dua hal, yaitu ilmu dan amal. Ilmu/pengetahuan mendahului karena
dia menjadi dasar dan syarat, sedangkan amal mengikuti karena dia merupakan
hasil dari pengetahuan. Setiap aktifitas tidak bisa tidak, pasti memuat tiga
unsur pokok, yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan, karena orang tidak
menginginkan apa yang dia tidak tahu, tetapi walaupun orang mengetahui namun
tidak ada keinginan untuk melakukan aktifitas juga tidak akan terjadi, dan
ketika orang dengan pengetahuannya melakukan sesuatu maka dia pasti punya
tujuan tertentu.
B. Pengaruh Niat dalam Amal
Ibadah
Niat
merupakan syarat dari sutu pekerjaan
yang akan dilakukan seseorang, sehingga suatu perbuatan yang tidak disertai
dengan niat terutama apabila perbautan itu wajib hukumnya, kaka dia menjadi
tidak sah menurut hukum. Oleh karena niat itu
yang mengarahkan dan memotifasi dilakukannya suatu perbuatan, maka nilai
dari suatu perbuatan itu tergantung pada niatnya, jika niat melakukan suatu
perbuatan itu tulus karena Allah, maka nilainya akan sampai kepada Allah dan akan mendapat balasan dari-Nya, tetapi
jika niatnya karena sesuatu yang lain, maka akan sampai pula kepada apa yang
diniatkan tersebut dan tidak akan sampai kepada Allah.
Karena
itu, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya hidup ini secara totalitas hanyalah
untuk mengabdi kepada Allah, dan pengabdian yang memiliki nilai dalam pandangan
Allah adalah pengabdian yang disertai niat yang tulus karena-Nya. Sebagaimana
firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ
إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ.
"Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Penghambaan
atau amal ibadah itu harus dilakukan dengan penuh ketulusan dan diniatkan
semata-mata karena tunduk kepada-Nya, sebab jika tidak, maka kebaikan dari amal
yang dilakukannya tidak akan sampai kepada-Nya, sebab Allah hanya memerintahkan
hambanya untuk beribadah kepada-Nya dengan tulus demi mengharap keridlaan-Nya,
sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Bayyinah :
وَمَآ اُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُ
اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ.
"Dan hanya mereka diperintahkan untuk
menyembah Allah serta mengikhlaskan agama bagi-Nya (beribadah untuk
mengharapkan ridla-Nya)." (QS. Al-Bayyinah : 98)
Dengan
memahami ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa amal shaleh yang tidak
disertai ketulusan semata-mata karena Allah, karena tunduk perintah-Nya, karena
yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaannya, buka semata-mata amal lahiriahnya
sebagaimana firman Allah yang berkaitan dengan ibadah kurban atau penyembelihan
hewan berikut :
لَنْ يَنَالُ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلاَ
دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ.
"Tidak akan sampai kepada Allah daging
dan darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah takwanya." (QS.
Al-Hajj : 37)
Jadi
ketika seseorang menyembelih hewan untuk berkurban, maka pahala dari Allah
bukan terletak pada seberapa besar hewan yang disembelihnya, akan tetapi
seberapa besar ketulusan hatinya melakukan amal tersebut.
"Ketulusan
Hati" adalah rahasia Allah yang dititipkan kepada hati hamba-Nya yang
dicintai. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadits qudsi :
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَقُوْلُ اللهُ
تَعَالَى : اْلإِخْلاَصُ سِرٌّ مِنْ سِرِّى اِسْتَوْدَعْتُهُ قَلْبَ مَنْ
أَحْبَبْتُ مِنْ عِبَادِى.
"Dari Hasan ra. Berkata : Nabi SAW.
Bersabda : Allah Ta'ala berfirman : Ikhlas itu adalah rahasia dari rahasia-Ku
yang Aku titipkan di hati hamba-Ku yang aku cintai." (Ihya' Ulumuddin)
Berkaitan
dengan urgensi niat tersebut, maka Nabi SAW. dalam sebuah sabdanya menengaskan
:
عَنْ عُمَرِ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتٍ. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ.
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى)
"Dari Umar ra. berkata : Saya
mendengar Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu ada
niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap manusia itu apa yang diniatkan. Maka
barangsiapa niat hijrah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrah iu
(diterima) oleh Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh
kekayaan atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai sesuai
niat hijrah yang ia tuju." (HR. Bukhari Muslim)
Hijrah
berasal dari kata bahasa Arab هَجَرَ yang artinya berpindah (dari suatu negeri ke negeri yang lain).
Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah karena pada masa Nabi terdapat
orang-orang munafiq yang mengikuti jihad Nabi untuk berhijrah dan berperang
akan tetapi dengan niat untuk mendapatkan harta rampasan atau perempuan cantik
untuk dinikahinya, sehingga mereka hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang
diniatkannya.
Namun
demikian, dalam pengertiannya yang lebih hakiki sesungguhnya hijrah dapat
dimaknai berpindah atau meninggalkan yang bathil untuk menuju yang haq, dan
menurut hemat penulis itulah hijrah yang sebenar-benarnya karena jika kita
merujuk kepada sabda Nabi ketika beliau bersama para sahabat kembali membawa
kemenangan dari perang Badar Nabi mengatakan kita kembali dari perjuangan kecil
menuju perjuangan besar, lalu sahabat bertanya : apakah perjuangan besar itu Ya
Rasulallah? Nabi menjawab : Berjuang melawan hawa nafsu.
Dari
sini jelas, bahwa perjuangan melawan hawa nafsu adalah perjuangan yang maha
berat, karena lawan atau musuh yang dihadapi tidak nampak, tidak membawa
senjata, dan berada dalam diri manusia
itu sendiri. Dan jika kembali kepada niat, maka perjuangan yang secara fisik
berat, akan tetapi apabila niatnya salah tidak tulus karena Allah, maka sesuai
hadits di atas pelakunya tidak akan mendapatkan sesuatu pun dari Allah karena
niat yang tulus karena Allah merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba.
Dalam
sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika Mu'adz bin Jabal diutus oleh Nabi SAW. ke
Yaman, maka dia memohon nasehat dari Nabi tentang apa yang harus dilakukan,
maka Nabi bersabda : Ikhalskan agamamu, maksudnya ikhlaskan imanmu jangan
engkau rusak dengan tipuan syahwat, jauhi riya', carilah ridla Allah niscaya
akan mencukupimu amal yang sedikit tetapi dilakukan dengan niat yang ikhlas
lebih baik daripada amal yang banyak tetapi tidak ikhlas, karena nilai amal
perbuatan terletak pada seberapa tingkat keikhlasannya bukan pada seberapa
banyak amal yang dilakukannya.
Niat di
samping sebagai syarat diterimanya suatu amal kebajikan yang bernilai ibadah
juga berfungsi membedakan antara adat dan ibadat, serta antara ibadat yang satu
dengan yang lainnya, karena bisa saja suatu perbuatan secara lahiriah sama akan
tetapi sesungguhnya memiliki nilai yang berbeda.
Bab 5

A.
Pengertian Birr al-Waalidain
Birr
berasal dari kata bahasa Arab yang berarti taat dengan mempergaulinya secara
baik atas dasar cinta dan kasih sayang.
Menurut
Imam Nawawi birr al-waalidain itu adalah berbuat baik kepada kedua orangtua,
bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal yang dapat membuatnya bahagia
serta berbuat baik kepada teman dan sahabat-sahabat keduanya.
Al-Imam
Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birr al-waalidain itu hanya dapat direalisasikan
dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban, yaitu : Pertama, mentaati segala
perintah orangtua kecuali maksiat. Kedua, menjaga amanah harta yang dititipkan
orangtua, atau diberikan oleh orangtua. Ketiga, membantu atau menolong orangtua
apabila mereka membutuhkan.
B.
Birr al-Waalidain adalah Perintah Allah
Birr
al-waalidain merupakan perintah Allah yang telah menjadi ketetapan-Nya untuk
dilaksanakan oleh setiap anak manusia. Firman Allah :
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ
أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (23)
وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
(24)
"Tuhanmu
telah menetapkan supaya jangan kamu sembah selain Dia, dan berbuat baik kepada
kedua orangtua (ibu bapak). Jika seorang di antara keduanya telah tua atau
kedua-duanya telah tua maka janganlah engkau katakan "cis" kepada
keduanya, dan jangan pula engkau hardik keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang mulia (lemah lembut). Rendahkanlah sayap kehinaan
(berhina diri) kepada keduanya karena kasih sayang, dan katakanlah; Ya Tuhanku
kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihani ketika aku kecil."
(QS. Al-Isra' : 23-24)
وَوَصَّيْنَا
اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ.
"Kami
(Allah) wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu
bapaknya, jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
tiada engkau ketahui, lalu Aku kabarkan kepadamu terhadap apa-apa yang telah
engkau kerjakan." (QS. Al-Ankabut : 8)
Menghormati
dan menghargai serta berbakti kepada kedua orangtua merupakan kewajiban yang
harus dipatuhi, karena begitu besar jasa dan pengorbanan kedua orangtua, sampai
Allah berwasiat kepada semua uamt manusia untuk berbuat baik kepada keduanya
terlebih ibu.
Dalam
ayatnya yang lain Allah mengatakan bahwa ketika kedua oranguta memaksamu untuk
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya, maka janganlah
engkau ikuti dia dan pergaulilah dengan baik selama di dunia, hal itu
menunjukkan bahwa kepada orangtua yang syirik pun seorang anak harus berbuat
baik selama hidupnya di dunia, terlebih jika kedua orangtuanya orang yang
beriman kepada Allah, maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk tidak
berbakti kepadanya.
C.
Ridla Allah Terletak Pada Ridla Kedua Orang Tua
Nabi
mengutuk perbuatan durhaka kepada orangtua dan memberikan motifasi serta
memerintahkan umatnya untuk berbakti kepada kedua orangtua, karena keridlaan
Allah berada pada keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Allah terletak pada
kemarahan keduanya. Nabi bersabda :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَى الْوَالِدَيْنِ
وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِهِمَا (حديث صحيح رواه الطبرانى)
"Dari
Ibnu Umar ra. Berkata : Nabi SAW. bersabda :Keridlaan Tuhan berada dalam
keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Tuhan berada pada kemarahan
keduanya." (HR. Thabrani)
Dalam riwayat lain dari
Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْن الْعَاص رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا
الرَّبِّ
فِى رِضَا الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (أخرجه
الترمذى وصححه ابن حبان والحاكم)
"Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orangtua,
dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orangtua." (Dikeluarkan
oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)
Ridla Allah merupakan puncak
pencarian dari seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal shaleh untuk
mengharapkan balasan kebajikan dari Allah tidaklah salah, demikian pula
mengabdi kepada-Nya untuk mendambakan surganya juga bukan tindkan keliru, akan
tetapi tunduk dan patuh kepada Allah untuk mengharapkan ridla-Nya itulah
sesungguhnya merupakan tingkat tertinggi dari penghambaan seseorang, karena
pada hakekatnya tidak ada kebahagiaan yang melampaui kebahagiaan orang yang
mendapatkan ridla Allah, sebagaimana tidak ada kesedihan dan penderitaan yang
melampaui kesedihan serta penderitaan seseorang yang mendapatkan murka dari
Allah.
Sedangkan Nabi bersabda bahwa ridla Allah terletak pada ridla kedua
orang tua dan demikian pula murka-Nya. Ungkapan Nabi tersebut mengisyaratkan
kepada umatnya bahwa tidak ada alasan bagi seorang anak manusia untuk tidak
taat dan patuh kepada kedua orang tuanya selama keduanya tidak memerintahkan
untuk bermaksiat kepada Allah.
Sebagai gambaran dan betapa seorang anak wajib tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya itu, sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi untuk ikut berjihad, lalu Nabi bertanya adakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang tadi menjawab: masih ya Rasulullab, maka Nabi menjawab: Berbaktilah kepada keduanya maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman pergi berhijrah kepada Nabi SAW. lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasul Allah saya telah berhijrah. Nabi bersabda : Apakah engkau punya keluarga di Yaman? Orang itu menjawab : Kedua orang tuaku. Nabi bertanya: Apakah keduanya mengijinkanmu? Dia berkata: Tidak. Nabi bersabda: Kembalilah dan mintalah ijin kepada keduanya.
Sebagai gambaran dan betapa seorang anak wajib tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya itu, sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi untuk ikut berjihad, lalu Nabi bertanya adakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang tadi menjawab: masih ya Rasulullab, maka Nabi menjawab: Berbaktilah kepada keduanya maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman pergi berhijrah kepada Nabi SAW. lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasul Allah saya telah berhijrah. Nabi bersabda : Apakah engkau punya keluarga di Yaman? Orang itu menjawab : Kedua orang tuaku. Nabi bertanya: Apakah keduanya mengijinkanmu? Dia berkata: Tidak. Nabi bersabda: Kembalilah dan mintalah ijin kepada keduanya.
D. Ibu dan Bapak Tiga Banding Satu
Banyak ayat-ayat al-Qur’an
yang menjelaskan tentang betapa berat perjuangan orang tua membesarkan dan
mendidik putra-putrinya, terutama ibu yang dengan susah payah telah
mengandungnya selama sembilan bulan, kemudian setelah susah payah melahirkan
menyusuinya selama dua tahun dengan mencurahkan seluruh perhatian dan kasih
sayangnya untuk seorang anak.
Karena begitu berat perjuangan seorang ibu untuk anaknya maka ketika ditanya tentang orang yang
pertama-tama harus dihormati Nabi menjawab ibu tiga kali baru bapak. Nabi SAW.
bersabda:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقَّ بِحُسْنِ
صَحَابَتِى؟ قَالَ: "أُمُّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : "أُمُّكَ"
قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أُمُّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أَبُوْكَ"
(رواه البخارى ومسلم)
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah SAW. maka dia berkata: Wahai Rasulullah! Siapakah yang paling
berhak untuk saya pergauli dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi
lain siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi, lain siapa? Nabi menjawab:
Ibumu. Dia bertanya lagi, lalu siapa? Bapakmu. (HR. Bukhari, MusIim)
Seorang ibu di mata
anak-anaknya merupakan satu-satunya figur yang paling berjasa dibanding yang
lainnya, bagaimana tidak, karena dia telah dengan susah payah mengandungnya
selama sembilan bulan, dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, bayi yang masih
berada dalam kandungan senantiasa dibawanya ke mana dia pergi dan berada, bahkan
tidak jarang seorang ibu yang sedang mengandung muda sampai berbulan-bulan
tidak mau makan nasi karena jika hal ini dia lakukan akan kembali
keluar/muntah.
Demikian berat perjuangan seorang ibu sampai ketika dia harus melahirkan bayi yang dikandungnya pun dia pertaruhkan semua yang dimilikinya sampai kepada nyawanya sekalipun. Perjuangan itu belum berakhir dengan kelahiran bayi yang telah sembilan bulan dikandungnya, akan tetapi dia masih harus menyusuinya selama kurang lebih dua tahun. Bukan hanya itu perempuan sering dibebani tugas ganda, dimana di samping dia harus mengurus anak-anaknya perempuan harus ngurus semua urusan rumah tangga, belum lagi kalau dia harus pula bekerja untuk membantu suami mencukupi hidupnya.
Demikian berat perjuangan seorang ibu sampai ketika dia harus melahirkan bayi yang dikandungnya pun dia pertaruhkan semua yang dimilikinya sampai kepada nyawanya sekalipun. Perjuangan itu belum berakhir dengan kelahiran bayi yang telah sembilan bulan dikandungnya, akan tetapi dia masih harus menyusuinya selama kurang lebih dua tahun. Bukan hanya itu perempuan sering dibebani tugas ganda, dimana di samping dia harus mengurus anak-anaknya perempuan harus ngurus semua urusan rumah tangga, belum lagi kalau dia harus pula bekerja untuk membantu suami mencukupi hidupnya.
Karena
itu sangatlah tepat jika Muhammad Rasulullah SAW. sosok hamba dan utusan Allah
yang sangat peduli terhadap kaum perempuan menetapkan ibu sebagai satu-satunya
perempuan yang harus mendapat penghormatan dan penghargaan tiga banding satu
dan seorang ayah, karena perjuangannya pun tidak sama beratnya.
Dalam
hadits yang lain Nabi bersabda :
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَمِ اْلاُمَّهَاتِ (رواه البخارى)
"Dan
Anas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Surga itu di bawah telapak kaki
ibu (HR. Bukhari)
Hadits
di atas memberikan pengertian kepada kita betapa mulia derajat seorang ibu di
mata anak-anaknya, sehingga sebagai konsekuensinya anak wajib menghormati,
patuh, tunduk dan berbakti kepadanya selama dia tidak berada dalam jalan yang
bertentangan dengan ajaran agama yang benar.
Surga sebagaimana banyak
disebutkan di dalam al-Qur’an merupakan tempat segala keindahan dan kenikmatan
digambarkan Nabi sebagai berada di bawah telapak kaki ibu. Hal itu mengandung
pengertian bahwa ketundukan dan ketaatan serta bakti seorang anak terhadap
kedua orang tua terutama ibu akan sanggup mengatakannya ke surga Allah yang
penuh dengan keindahan dan kenikmatan sebagai balasan atas semua amal
kebajikannya. Demikian sebaliknya kedurhakaan seorang anak dalam berbagai
bentuknya yang membuat hati orang tua terutama ibu terluka dan menderita akan
dapat mengantarkannya masuk ke dalam neraka Allah yang penuh dengan adzab dan
penderitaan sebagai balasan atas kejahatan durhaka yang telah dilakukannya.
E. Ridla Allah Terletak pada Ridla Kedua Orang
Tua
Nabi
mengutuk perbuatan durhaka kepada orang tua dan memberikan motifasi serta
memerintahkan umatnya untuk berbakti kepada kedua orang tua, karena keridlaan
Allah berada pada keridlaan kedua orang tua dan kemarahan Allah terletak pada
kemarahan keduanya. Nabi bersabda:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَى الْوَالِدَيْنِ
وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِهِمَا (حديث صحيح رواه الطبرانى)
"Dari
Ibnu Umar ra. Berkata : Nabi SAW. bersabda :Keridlaan Tuhan berada dalam
keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Tuhan berada pada kemarahan
keduanya." (HR. Thabrani)
Dalam
riwayat lain dari Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْن الْعَاص رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا
الرَّبِّ
فِى رِضَا الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (أخرجه
الترمذى وصححه ابن حبان والحاكم)
"Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orangtua,
dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orangtua." (Dikeluarkan
oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)
Ridla Allah merupakan puncak
pencarian dan seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal shaleh untuk
mengharapkan balasan kebajikan dan Allah tidaklah salah, demikian pula mengabdi
kepada-Nya untuk mendambakan surganya juga bukan tindakan keliru, akan tetapi
tunduk dan patuh kepada Allah untuk mengharapkan ridla-Nya itulah sesungguhnya
merupakan tingkat tertinggi dan penghambaan seseorang, karena pada hakekatnya
tidak ada kebahagiaan yang melampaui kebahagiaan orang yang mendapatkan ridla
Allah, sebagaimana tidak ada kesedihan dan penderitaan yang melampaui kesedihan
serta penderitaan seseorang yang mendapatkan murka dan Allah.
Sedangkan Nabi bersabda
bahwa ridla Allah terletak pada ridla kedua orang tua dan demikian pula
murka-Nya. Ungkapan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada umatnya bahwa tidak ada
alasan bagi seorang anak manusia untuk tidak taat dan patuh kepada kedua orang
tuanya selama keduanya tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.
Sebagai gambaran dari
betapa seorang anak wajib tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya itu,
sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi untuk ikut
berjihad, lalu Nabi bertanya adakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang tadi
menjawab: masih ya Rasulullah, maka Nabi menjawab: Berbaktilah kepada keduanya
maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman
pergi berhijrah kepada Nabi SAW. lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasul Allah
saya telah berhijrah. Nabi bersabda: Apakah engkau punya keluarga di Yaman?
Orang itu menjawab: Kedua orang tuaku. Nabi bertanya: Apakah keduanya
mengijinkanmu? Dia berkata: Tidak. Nabi besabda : Kembalilah dan mintalah ijin
kepada keduanya.
Bab 6

A. Pengertian ‘Uquq al-Waalidaini
‘Uquuq berasal
dan kata bahasa Arab عَقَ yang
memiliki sinonim عَصَا artinya berbuat
maksiat atau durhaka. إسم المثنى من : الولد : الوالدين artinya ayah/orangtua. عقوق الوالدين berarti berlaku durhaka dengan cara melawan,
menyakiti hatinya, atau dengan cara-cara lain yang bersifat maksiat kepada ke
dua orang tua.
B. Durhaka kepada Kedua Orang Tua termasuk Dosa
Besar
Jika
berbakti kepada kedua orang km merupakan suatu
kewajiban bagi setiap anak, maka durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar setelah syirik. Karena itu melalui lisan Muhammad saw. Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang baa. NaN bersabda:
kewajiban bagi setiap anak, maka durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar setelah syirik. Karena itu melalui lisan Muhammad saw. Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang baa. NaN bersabda:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
عُقُوْقَ اْلأُمَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتٍ
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ (متفق
عليه)
"Dari
Mughirah bin Syu‘bah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya
Allah mengharamkan kepadamu durhaka kepada orang tua, menguburkan anak
perempuan hidup-hidup, memutuskan hubungan, dan membencimu mengatakan “katanya”,
dan banyak bertanya (tanpa guna), dan menghambur-hamburkan harta. (HR.
Bukhari Muslim)
Allah telah mengharamkan
durhaka kepada dua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di
dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak untuk menghormati dan mentaati semua
perintahnya selagi tidak melaggar ketentuan ajaran agama. Dalam pandangan Allah
kedua orang baa adaiah orang yang pertarna-tama wajib dihormati setelah
pengabdian kepada Allah. Firman Allah:
وَاعْبُدُوْا
اللهَّ وَلاَ مُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا.
"Sembahlah
Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah
terhadap kedua orang tua." (QS. An-Nisa' : 36)
Dalam ayat di atas perintah Allah untuk menyembah kepada-Nya
langsung diikuti perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal itu
menunjukkan bahwa kedudukan kedua orang tua sangatlah terhormat dalam pandangan
Allah. Karena begitu mulia dan agungnya kedudukan kedua orang tua dalam
pandangan Allah maka dalam beberapa sabdanya Nabi menyatakan bahwa durhaka
kepada kedua orang tua termasuk dosa besar. Di antara hadits-hadits itu adalah:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ
يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبَّ أَبَاهُ وَيَسَبُّ أُمَّهُ
فَيَسُبُّ أُمَهُ.
"Dari Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah SAW. Bersabda
: Adalah termasuk dosa besar seseorang mengutuk kedua orang tuanya; lalu
dikatakan; wahai Rasul! Bagaimana seorang bisa mengutuk kedua orang tuanya?
Nabi bersabda: Seseorang yang mengutuk ayah orang lain, maka dia sedang mengutuk
ayahnya, dan mengutuk ibu orang lain maka dia mengutuki ibunya." (At-Tajrid ash-Shariih : 201)
Dalam hadits lain Nabi
bersabda:
أَلاَ
أُنَبِّؤُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِثلاثا؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ:
اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ:
أَلاَ وَقُوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَازَالَ يُكْرِرُهَا (متفق
عليه)
"Maukah kamu aku beritahukan tentang tiga dosa besar? Sahabat
menjawab : Baik ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Menyekutukan Allah dan durhaka
kepada ibu bapak. Ketika itu Rasul bersandar kemudian duduk dan berkata: Dan perkataan
palsu atau saksi palsu, maka Rasul mengulangi persaksian palsu. (HR. Bukhari
Muslim)
Senada dengan pengertian
hadits di atas tentang besarnya dosa durhaka kepada kedua orang tua, Nabi
bersabda:
اَلْكَبَائِرُ
اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ
النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوسُ (رواه البخارى)
"Dosa-dosa
besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh
manusia, dan saksi palsu. (HR. Bukhari)
Berbaktilah
wahai anak manusia terhadap kedua orang tua yang telah mengantarkan kalian
hidup di dunia ini sebab tanpa keduanya maka kita semua tidak akan pemah
menikmati kehidupan dunia mi.
Karena
berat beban dan perjuangan para orang tua serta besar jasa mereka di dalam
mengurus membimbing dan membesarkan putra-putrinya maka kedua orang tua yang
wajib dihormati dan haram untuk didurhakai dan dicaci-maki menurut hadits di
atas bukan hanya orang tua kandung yang melahirkan dan merawatnya, akan tetapi
pengertian dua orang tua adalah orang tua dari seorang anak, sehingga ketika
seseorang mengutuk orang tua saudaranya atau kawannya maka perlakuannya itu
sama saja dengan perlakuan terhadap kedua orang tuanya.
Jika balasan dan dosa-dosa
amal kejahatan lain ditangguhkan Allah sampai hari kiamat, maka balasan dosa
durhaka kepada kedua orang tua akan dipercepat oleh Allah semenjak anak masih
hidup di dunia. Nabi SAW. bersabda:
كُلُّ
الذُّنُوْبِ يُؤَخِّرُ اللهُ تَعَالَى مَا يَشَاءُ مِنْهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ إِلاَّ عُقُوقِ الْوَالِدَيْنِ فإن الله يُعَجِّلُهُ لَصَّاحِبِهِ
فِى الْحَيَاتِ قَبْلَ الْمَمَاتِ (رواه الطبرانى)
"Semua
dosa balasannya ditangguhkan Allah menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat,
kecuali dosa durhaka terhadap kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah Yang Maha
Tinggi mempercepat balasan dosa bagi pelakunya dalam kehidupan sebelum mati
(kehidupan dunia)." (HR. Thabrani)
Anak yang durhaka kepada
kedua orang tuanya adalah anak yang mengingkari kenikmatan dari Allah, dan
sekaligus mengingkari kebaikan keduanya, oleh karena itu Allah sangat tidak
menyukainya sehingga mempercepat balasan dosanya ketika masih di dunia, agar
menjadi pelajaran baginya dan juga bagi yang lainnya bahwa durhaka kepada orang
tua itu tenmasuk perbuatan yang sangat dibenci Allah dan balasannya akan diberikan
kontan di dunia.
Dalam realitas kehidupan
banyak kita dapati anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya selagi masih di
dunia mereka hidup sengsara, karena kehidupannya jauh dari restu orang tua dan
sekaligus jauh dari ridla Allah, sebab ridla Allah terletak pada keridlaan
kedua orang tua dan kemarahan-Nya terletak pada kemarahan keduanya.
Pada bab sebelumnya telah
dibahas masalah kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, di mana anak wajib
berbakti kepada kedua orang tuanya. Dengan demikian jika dipahami dengan logika
terbalik maka akan dapat dimengerti bahwa durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan dosa, karena meninggalkan kewajiban bakti atau
melakukan larangan durhaka kepada keduanya.
Karena itu melalui lisan
Muhammad saw. Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang baa. NaN
bersabda:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
عُقُوْقَ اْلأُمَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتٍ
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ (متفق
عليه)
"Dari Mughirah bin Syu‘bah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda
: Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadamu durhaka kepada orang tua,
menguburkan anak perempuan hidup-hidup, memutuskan hubungan, dan membencimu
mengatakan “katanya”, dan banyak bertanya (tanpa guna), dan
menghambur-hamburkan harta. (HR. Bukhari Muslim)
Allah telah mengharamkan
durhaka kepada dua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di
dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak untuk menghormati dan mentaati semua
perintahnya selagi tidak melaggar ketentuan ajaran agama. Dalam pandangan Allah
kedua orang baa adaiah orang yang pertarna-tama wajib dihormati setelah
pengabdian kepada Allah. Firman Allah:
وَاعْبُدُوْا
اللهَّ وَلاَ مُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا.
"Sembahlah
Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah
terhadap kedua orang tua." (QS. An-Nisa' : 36)
Dalam
ayat di atas perintah Allah untuk menyembah
kepada-Nya langsung diikuti perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan kedua orang tua sangatlah terhormat
dalam pandangan Allah. Karena begitu mulia dan agungnya kedudukan kedua orang
tua dalam pandangan Allah maka dalam beberapa sabdanya Nabi menyatakan bahwa
durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar. Di antara hadits-hadits itu
adalah:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ
يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبَّ أَبَاهُ وَيَسَبُّ أُمَّهُ
فَيَسُبُّ أُمَهُ.
"Dari Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah SAW.
Bersabda : Adalah termasuk dosa besar seseorang mengutuk kedua orang tuanya;
lalu dikatakan; wahai Rasul! Bagaimana seorang bisa mengutuk kedua orang
tuanya? Nabi bersabda: Seseorang yang mengutuk ayah orang lain, maka dia sedang
mengutuk ayahnya, dan mengutuk ibu orang lain maka dia mengutuki ibunya." (At-Tajrid ash-Shariih : 201)
Dalam hadits lain Nabi
bersabda:
أَلاَ
أُنَبِّؤُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِثلاثا؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ:
اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ:
أَلاَ وَقُوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَازَالَ يُكْرِرُهَا (متفق
عليه)
"Maukah kamu aku beritahukan tentang tiga dosa besar?
Sahabat menjawab: Baik ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Menyekutukan Allah
dan durhaka kepada ibu bapak. Ketika itu Rasul bersandar kemudian duduk dan
berkata: Dan perkataan palsu atau saksi palsu, maka Rasul mengulangi persaksian
palsu. (HR. Bukhari Muslim)
Senada dengan pengertian
hadits di atas tentang besarnya dosa durhaka kepada kedua orang tua, Nabi
bersabda:
اَلْكَبَائِرُ
اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ
النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوسُ (رواه البخارى)
"Dosa-dosa
besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh
manusia, dan saksi palsu. (HR. Bukhari)
Berbaktilah
wahai anak manusia terhadap kedua orang tua yang telah mengantarkan kalian
hidup di dunia ini sebab tanpa keduanya maka kita semua tidak akan pemah
menikmati kehidupan dunia mi.
Karena
berat beban dan perjuangan para orang tua serta besar jasa mereka di dalam
mengurus membimbing dan membesarkan putra-putrinya maka kedua orang tua yang
wajib dihormati dan haram untuk didurhakai dan dicaci-maki menurut hadits di
atas bukan hanya orang tua kandung yang melahirkan dan merawatnya, akan tetapi
pengertian dua orang tua adalah orang tua dari seorang anak, sehingga ketika
seseorang mengutuk orang tua saudaranya atau kawannya maka perlakuannya itu
sama saja dengan perlakuan terhadap kedua orang tuanya.
Jika
balasan dan dosa-dosa amal kejahatan lain ditangguhkan Allah sampai hari
kiamat, maka balasan dosa durhaka kepada kedua orang tua akan dipercepat oleh
Allah semenjak anak masih hidup di dunia. Nabi SAW.
bersabda:
كُلُّ
الذُّنُوْبِ يُؤَخِّرُ اللهُ تَعَالَى مَا يَشَاءُ مِنْهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ إِلاَّ عُقُوقِ الْوَالِدَيْنِ فإن الله يُعَجِّلُهُ لَصَّاحِبِهِ
فِى الْحَيَاتِ قَبْلَ الْمَمَاتِ (رواه الطبرانى)
"Semua
dosa balasannya ditangguhkan Allah menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat,
kecuali dosa durhaka terhadap kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah Yang
Maha Tinggi mempercepat balasan dosa bagi pelakunya dalam kehidupan sebelum
mati (kehidupan dunia)." (HR. Thabrani)
Anak yang durhaka kepada
kedua orang tuanya adalah anak yang mengingkari kenikmatan dari Allah, dan
sekaligus mengingkari kebaikan keduanya, oleh karena itu Allah sangat tidak
menyukainya sehingga mempercepat balasan dosanya ketika masih di dunia, agar
menjadi pelajaran baginya dan juga bagi yang lainnya bahwa durhaka kepada orang
tua itu tenmasuk perbuatan yang sangat dibenci Allah dan balasannya akan
diberikan kontan di dunia.
Dalam realitas kehidupan
banyak kita dapati anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya selagi masih di
dunia mereka hidup sengsara, karena kehidupannya jauh dari restu orang tua dan
sekaligus jauh dari ridla Allah, sebab ridla Allah terletak pada keridlaan
kedua orang tua dan kemarahan-Nya terletak pada kemarahan keduanya.
Bab
7

A. Pengertian Amanah
Kata amanah berasal dan kata
bahasa Arab اَمُنَ - يَأْمُنُ
yang merupakan kebalikan dad khianah, artiriya kepercayaan
atau bisa juga diartikan sebagai terpercaya.’ Kepercayaan adalah modal utama
bagi seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dalam setiap usaha yang
dilakukan, dan melaksanakan amanah merupakan bagian dan sifat mulia yang wajib
untuk dilaksanakan oleh setiap orang yang ingin teijauh dad ahzab Tuhan.
B. Perintah Untuk Menunaikan Amanah
Allah
telah memerintahkan kepada manusia untuk melaksanakan amanah kepada yang berhak
menerimanya. Firman Allah:
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ
النَّاسِ
أَن تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم
بِهِ
إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
"Sesungguhnya
Allah menyuruhmu untuk melaksanakan/ membayar amanah kepada yang punya, dan apabila kamu memberi hukum di antara manusia maka
hendaklah kamu menghukumi secara adil, sesungguhnya Allah sebaik-baik yang
memberimu nasehat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(QS. An-Nisa' : 58)
Menepati janji bagian dan
sifat amanah. Karena itu dengan tegas Allah perintahkan kepada manusia untuk
menepati janjinya. Firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ.
"Wahai orang-orang yang beriman tepatilah olehmu akan
janjimu?"
Dalam ayat yang lain Allah
mengingatkan bahwa janji itu pada saatnya akan dimintakan pertanggungjawaban.
Allah berfirman:
وَأَوْفُواْ
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً.
"Dan
tepatilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan
pertanggungjawaban."
Memenuhi janji yang
merupakan bagian dan amanah adalah suatu kewajiban yang disyariatkan agama,
sehingga mengingkarinya adalah sebuah perbuatan dosa, karena janji adalah
hutang. dan sebagaimana hutang wajib dibayarkan maka demiHan pula janji wajib
dibayar dengan cara dipenuhi atau dilaksanakan.
Merujuk kepada perintah
untuk melaksanakan amanat dan memenuhi janji, sebagaimana tersebut dalam ayat
di atas maka Nabi saw. dalam sebuah haditsnya memerintahkan kita untuk
rnenunaikan amanat dan tidak mengkhianati orang yang mengkhianati kita. Sabda
Nabi:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
(رواه الترمذى)
"Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayakan
kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR.
Tirmidzi)
Nabi menyuruh umatnya untuk
menunaikan amanat dan melarang untuk mengkhianati orang yang telah
mengkhianatainya, karena Allah sudah cukup untuk memberikan balasan terhadap
perbuatan khianatnya.
Amanah merupakan sifat yang
harus dipegang teguh karena menyia-nyiakannya akan menyebabkan kehancuran. Nabi bersabda:
إَذَا
ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
(متفق عليه)
"Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah
kehancurannya."
Dalam sabdanya yang lain
Nabi menegaskan bahwa amanah dapat mendatangkan rejeki. Tentang hal tersebut Nabi bersabda:
عَنْ جَابِرش الْقَضَاعِى عَنْ عَلِى رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اْلأَمَانَةُ
تَجْلِبُ الرِزْقَ وَ الخِيَانَةُ تَجْلِبُ الفَقْرَ (رواه الديلمى فى مسند الفردوس)
"Dari Jabir al-Qadla’i dari Ali ra. berkata Rasulullah SAW.
bersabda: Amanah itu dapat mendatangkan rizki dan khianat itu dapat
mendatangkan kefakiran." (HR. Dailami).
Berbeda dengan pengkhianat yang tidak lagi mendapat kepercayaan di hati
orang lain, maka orang yang amanah akan mendapat kepercayaan banyak orang. Karena itu sangatlah masuk di akal jika mengatakan bahwa amanah dapat
mendatangkan rizki dan khianat dapat mendatangkan kefakiran.
Sebagai ilustrasi
barangkali perlu disampaikan di sini sebuah contoh dari amanah yang
mendatangkan rizki : Suatu hari ada pengemis seorang anak jalanan yang meminta
ke-. pada orang kaya yang lewat di depannya, maka diberilah oleh orang kaya itu
sejumlah uang recehan, tetapi malang nasib si kaya, ketika dia meninggalkan
pengemis tersebut jatuhlah dompet orang tersebut, dan pengemis itu lalu
mengambilnya dan kemudian mengejar si kaya untuk mengembalikannya seraya
berkata: "Tuan ini dompet tuan jatuh, lalu saya pungut dan ini saya
kembalikan kepada tuan", maka heranlah orang kaya tersebut atas kejujuran
pengemis itu, dan sebagai tanda terima kasihnya orang kaya tersebut menawarkan
dua pilihan yaitu sejumlah uang dan pekerjaan, tetapi anak tersebut memilih
pekerjaan, maka dibawalah anak tadi ke perusahaan tenun miliknya, lalu
bekerjalah dia di sana. Dengan ketekunan dan keuletannya akhirnya dia diangkat
sebagai manager dalam perusahaan tersebut, walhasil jadilah dia orang kaya
lantaran kejujuran dan amanahnya.
C. Allah Membenci Pengkhianat
Jika amanah merupakan
pekerti mulia yang menjadi bagian dan sifat Nabi yang melekat dalam dirinya,
maka sebaliknya khianat merupakan sifat jahat yang sangat dibenci Allah. Karena jahatnya sifat khianat itu
maka banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat. Di antara firman Allah itu adalah:
إِنَّ
اللهَ لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِيْنَ.
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat." (QS. Al-Anfal : 58)
وَلاَ
تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ أَنفُسَهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ
كَانَ خَوَّانًا أَثِيْمًا.
"Janganlah
engkau membela kepada orang-orang yang berkhianat kepada diri mereka sendiri,
sesungguhnya Allah tidak menyukui orang yang berkhianat lagi berdosa." (QS. An-Nisa' :
107)
إِنَّ
اللهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ
كَفُورٍ.
"Sesungguhnya Allah mempertahankan orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah
tidak menyukai setiap pengkhianat lagi kafir." (QS. Al-Hajj : 38)
Ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa
perbuatan khianat merupakan perbuatan yang sangat dibenci Allah, karena akibat darinya akan dapat merugikan
dan menyakiti banyak orang sehingga sangat dimungkinkan pengkhianatan dapat
merusak hubungan persaudaraan dan persahabatan yang diperintahkan Allah untuk menjaga dan menjalinnya dengan penuh
kasih sayang.
Pada level pemerintahan penghianatan seorang pemimpin terhadap amanah
yang diberikan rakyat akan dapat menimbulkan rusaknya tatanan suatu
pemerintahan. Karena itu Allah sangat membenci pemimpin
yang berkhianat dengan mengatakan:
عَنْ
مَعْقِلٍ بِنْ يَسَارِ أَنَّ عُبَيْدَ
اللهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَهُ فِى مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ فَقَالَ لَهُ
مَعْقِلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ
رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ
لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (متفق عليه)
"Dari
Ma’qil bin Yasar bahwa Ubaidillah bin Ziyad menjenguknya ketika dia sakit, maka
Ma’qil berkata kepadanya: Sesungguhnya aku akan menyampaikan kepadamu suatu
hadits yang telah aku dengar dan Rasulullah SAW. saya mendengar Rasulullah SAW.
bersabda: Seorang hamba yang diamanati oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu
dia tidak melaksanakannya dengan tuntunan yang baik maka dia tidak akan dapat
merasakan bau surga." (HR. Bukhari Muslim)
Pemimpin
yang mengkhianati rakyat tidak akan dapat merasakan bau surga. Jangankan masuk, baunyapun tidak bisa merasakan. Hadits mi menunjukkan
besarnya bahaya khianat bagi kemaslahatan bersama. Karena itu dengan tegas
Allah melarang orang-orang beriman untuk mengkhianati amanah yang dipikulkan di
pundaknya. Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَخُوْنُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ.
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan kamu mengkhianati amanah-amanah
yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal :
27)
Sebaliknya khianat, karena
dia merupakan sifat yang sangat dibenci Allah maka pengkhianat itu akan dimusuhi
Allah pada hari kiamat nanti. Hal itu ditegaskan oleh Nabi dalam haditsnya yang
berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ
اللهُ تَعَالَى: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى
بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ
أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتِهِ أَجْرَهُ (رواه البخارى)
"Dan Abu
Hurairah ra. dan Nabi SAW. bersabda: Allah Ta’ala berfirman : Ada tiga orang yang Aku musuhi kelak di hari
kiamat, yaitu: orang yang memberikan janji kepada-Ku kemudian melanggarnya,
orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan orang
yang menyewa buruh lalu buruh itu meminta haknya tetapi dia tidak mau
memberikan uang sewanya. (HR. Bukhari).”
D. Bendera Pengkhianatan
Dalam
hadits yang lain Nabi juga bersabda bahwa pada had kiamat para pengkhianat akan
memiliki benderanya masing-masing yang memberikan tanda bahwa dininya seorang
pengkhianat. Sabda Nabi SAW. :
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَابْنِ عُمَرٍ وَأَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالُوْا : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ (متفق عليه)
"Dari
Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Anas r.a. berkata; Nabi SAW. bersabda : Setiap pengkhianat
pada hari kiamat akan memiliki bendera yang bertuliskan: Inilah pengkhianatan
Fulan.”
Dalam riwayat lain dari Abi Sa’id dikatakan:
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الْحُذْرِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ
إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ
أَعْظَمُ غَدْرًاً مِنْ أَمِيْرِ عَامَّةٍ (رواه مسلم)
"Dari
Abu Sa’ad al-Khudzriy bahwasanya Nabi SAW. bersabda setiap pengkhianat pada hari
kiamat nanti mempunyai sebuah bendera yang ditancapkan di pantatnya, lantas
dengan bendera itu dia ditarik ke atas sesuai dengan pengkhianatannya. Ingatlah
tidak ada pengkhianat yang lebih jahat daripada pemimpin rakyat yang berkhianat."
Karena jahatnya sifat
khianat itu maka dalam sebuah haditsnya Nabi menetapkannya sebagai bagian dari
tanda-tanda orang munafik yang dijanjikan Allah untuk mereka tempat yang paling
bawah dari neraka. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِىْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آَيَةُ الْمُنَافِقُ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَثَ كَذَبَ
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (متفق
عليه)
"Dari
Abu Hurairah r.a berkata: Rasuluilah SAW. bersabda: Tanda orang munafiq itu ada
tiga: jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya
berkhianat." (H.R. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain dikatakan bahwa ada empat hal
yang dapat menjadikannya orang sebagai
munafik. Hadits itu berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْنِ
الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : أَرْبَعُ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةً مِنْهُنَّ كَانَ
فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ (متفق
عليه)
"Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Rasulullah SAW.
bersabda: Ada
empat hal yang barangsiapa terjerumus ke dalamnya maka dia adalah munafik sejati,
dan barangsiapa terjerumus ke dalam salah satu dari empat hal tersebut berarti
dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai dia mau meninggalkan
sifat itu. Lalu dia menyebutnya: Apabila dipercaya dia berkhianat, apabila
berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila
bermusuhan dia berbuat jahat. (HR. Bukhari Muslim)
Nifaq
adalah sifat yang sangat dibenci Allah, karena sifat itu dapat membawa bencana
besar bagi pihak yang dikhianati. Dalam peperangan misalnya, ketika terjadi
pengkhianatan oleh salah satu pihak yang bertikai, maka akan dapat mendatangkan
bencana bagi pihak yang dikhianati.
Bab
8

A.
Pengertian Ukhuwwah
Ukhuwwah berasal dari bahasa Arab yang artinya
adalah saudara. Ukhuwwah berarti persaudaraan. Dimaksudkan
dengan saudara adalah bukan terbatas pada saudara kerabat yang masih ada
hubungan kekeluargaan, akan tetapi saudara seiman, sehingga tidak dibatasi oleh
sekat-sekat keturunan, kebangsaan, kedaerahan dan lain-lain.
Hal itu
karena Al-Qur'an mengatakan : Setiap mukmin adalah saudara yang diperintahkan
Allh untuk saling mengikrarkan perdamaian dan berbuat kebajikan di antara satu
dengan yang lainnya, dalam rangka taat kepada-Nya. Firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
"Setiap mukmin adalah saudara, maka damaikanloah antara dua
saudaramu itu dan takutlah kepada Allah semoga engkau mendapat rahmat."
(QS. Al-Hujuraat : 10)
B.
Perintah Silaturrahmi
Silaturrahmi
adalah istillah yang cukup akrab dan populer di dalam pergaulan umat manusia
sehari-hari. Istilah itu sesungguhnya berasal dari kata bahasa Arab yang
artinya menyambung tali kasih sayang, yang merupakan kebutuhan setiap makhluk
hidup termasuk di dalamnya binatang.
Kasih
sayang merupakan sifat Allah yang sangat banyak disebutkan dalam Al-Qur'an.
Sebagai orang yang percaya kepada-Nya tentau harus berupaya untuk meneladani
sifat keutamaan Allah tersebut dalam menjalani kehidupannya, karena sesuai
janji-Nya Allah akan menjadikan kasih sayang ada di dalam hati orang-orang
beriman dan beramal shaleh. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh,
Yang Maha Rahman (Allah) akan mengadakan bagi mereka perasaan kasih sayang bagi
sesamanya." (QS. Maryam : 96)
Berangkat dari ayat Al-Qur'an di atas secara
logika setiap mukmin seharusnya hidup berdampingan dengan penuh kasih, akan
tetapi di dalam realitanya kehidupan masa kini penuh dengan permusuhan,
pertikaian, perselisihan, pertengkaran, adu domba, dan sifat-sifat tidak
terpuji lainnya yang semuanya menunjukkan kering dan minimnya sifat kasih sayang
terhadap sesama. Sedangkan Islam dalam berbagai ayat Al-Qur'an maupun hadits
Nabi sebagai sumber ajarannya telah banyak menganjurkan pentingnya kasih sayang
terhadap sesama, serta melarang setiap sifat yang berbau permusuhan dan
pertikaian.
Perintah untuk saling mengasihi itu ditunjukkan
Nabi SAW. melalui sabdanya :
عَنْ سَهَلِ بْنِ سَعِدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِرْحَمْ مَنْ فِى
اْلأَرْضِ يَرْحَمْكَ مَنْ فِى السَّمَاءِ (حديث حسن روه الطبرانى)
"Dari Sahal bin Sa'ad RA. Berkata : Nabi SAW. bersabda :
Sayangilah penduduk bumi niscaya menyayangimu yang ada di langit." (HR.
Tirmidzi)
Hadits di atas memerintahkan kepada kita untuk
menyayangi semua yang hidup di bumi termasuk di dalamnya binatang dan
tumbuh-tumbuhan, karena jika kita manusia dapat melakukan hal itu, maka Allah
dan para malaikat akan menyayangi kita. Sebaliknya jika manusia saling benci di
antara sesama makhluk hidup, dan tidak menyayangi lingkungan, maka tidak
menutup kemungkinan Allah juga tidak akan menyayangi mereka.
Sedangkan Allah, apabila telah menyayangi dan
mencintai hamba-Nya, maka akan menaruh cinta-Nya itu di hati para Malaikat, dan
demikian pula apabila Dia membenci hamba-Nya, maka akan menaruh kebencian-Nya
itu di hati para Malaikat kemudian menaruhnya di hati semua anak Adam. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَحَبَّ اللهُ
عَبْدًا قَذَفَ حُبَّهُ فِى قُلُوْبِ الْمَلاَئِكَةِ، وَإِذَا أَبْغَضَ اللهُ
عَبْدًا قَذَفَ بُغْضَهُ فِى قُلُوْبِ الْمَلاَئِكَةِ ثُمَّ يَقْذِفُهُ فِى
قُلُوْبِ اْلآدَمِيِّيْنَ (رواه ابن نعيم فى الحلية)
"Dari Anas RA. Berkata : Nabi SAW. bersabda : Apabila Allah
telah mencintai seorang hamba, Dia menaruh cinta-Nya di hati para Malaikat, dan
apabila Allah membenci seorang hamba,
Dia menaruh kebencian-Nya di hati para Malaikat kemudian menaruhnya di hati
anak Adam." (HR. Ibnu Na'im dalam kitabnya Al-Hilyah)
Karena itu jika seseorang memiliki sifat kasih
sayang terhadap sesama, maka Allah akan mengasihinya dan kasih Allah tersebut
akan diletakkan di hati para malaikat dan semua manusia akan mengasihi orang
yang memberikan kasihnya kepada orang lain, dan demikian sebaliknya.
Kaish sayang akan sanggup menjadi perekat tali
persaudaraan antar sesama, dan sebaliknya permusuhan dan kebencian akan menjadi
penyebab terputusnya tali persaudaraan dan persahabatan yang dilarang oleh
agama.
Karena itu menyambung tali persaudaraan akan
dapat menjadi sarana kelapangan rizki dan panjangnya umur. Hal itu sebagaimana
hadits Nabi :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثُرِهِ فَالْيَصِل رحمه (متفق
عليه)
"Dari Anas RA. Dia berkata : Barangsiapa ingin ingin
dilapangkan rizkinya dan ditangguhkan atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah
dia menyambung tali kasih dengan keluarganya." (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits riwayat Bukhari dikatakan bahwa
menyambung tali persaudaraan atau kekeluargaan bukanlah sekedar mengimbangi
kebajikan yang telah dilakukan sanak keluarga akan tetapi penyambung tali
kekeluargaan adalah orang yang ketika ada keluarga –yang karena suatu sebab-
memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya, dia sanggup dan bersedia untuk
memperbaiki dan menyambung tali yang telah diputuskan tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari
Muslim dikatakan bahwa Rahim/kasih sayang atau kekeluargaan itu tergantung di
Arsy, siapa yang menyambungnya dengan dia, Allah akan menyambungnya dan siapa
yang memutuskannya, Allah akan memutuskannya. Bunyi hadits
itu sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ
بِالْعَرْشِ تَقُوْلُ : مَنْ وَصَلَنِى وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِى قَطَعَهُ
اللهُ (متفق عليه)
"Dari Aisyah RA. dari Nabi SAW. bersabda : Rahim/kekeluargaan
itu tergantung di Arsy. Rahim itu berkata : Barangsiapa menyambungku Allah akan
menyambungnya, dan barangsiapa memutuskanku, maka Allah akan memutuskan
hubungan dengannya." (HR. Bukhari
Muslim)
Manusia hanya akan jadi seperti apa yang dia
usahakan, demikian pula dengan jalinan kasih dalam pergaulan, ketika seseorang
mempererat tali kekeluargaan, maka tali itu akan menjadi lekat dan kuat, akan
tetapi sebaliknya ketika dia mengupayakan untuk memutuskan tali tersebut, maka
akan hilanglah keharmonisan sebuah persahabatan atau persaudaraan, sehingga
yang tinggal hanyalah kegalauan dalam hidup karena ketika dia putuskan hubungan
dengan keluarga, maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Ketika Allah telah memutuskan hubungan dengan
hamba-Nya, maka tidak ada yang lain yang terjadi dalam diri hamba itu kecuali
penderitaan, dan jika seorang hamba memiliki hubungan yang harmonis dengan
Allah sebagai pencipta dan pemiliknya, maka hanya kebahagiaan dan ketentraman
yang dia rasakan. Karena itu ketika seorang sahabat meminta kepada Nabi untuk
ditunjukkan terhadap amalan yang dapat memasukkannya ke surga, Nabi mengatakan
bahwa salah satunya adalah menyambung tali persaudaraan. Tentang
hal ini Nabi bersabda :
عَنْ أَبِى اَيُّوبَ خَالِدِ بْنِ
زَيْدٍ الأَنْصَارِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِم (متفق عليه)
"Dari Abu Ayub Khalid bin Zaid RA. bahwa seseorang telah
berkata : Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku tentang amalan yang dapat
memasukkanku ke surga! Maka Nabi SAW. bersabda : Engkau sembah Allah dan jangan
engkau sekutukan Dia dengan sesuatu pun, engkau dirikan shalat, engkau bayarkan
zakat, dan engkau sambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas secara tegas Nabi
menyampaikan bahwa silaturrahmi termasuk amalan yang dapat memasukkan orang ke
dalam surga Allah, apabila orang itu beriman, mendirikan shalat, dan memberikan
hak fakir miskin dengan mengeluarkan zakat.
C. Larangan Memutuskan Tali
Kasih
Nabi SAW.
bersabda :
عَنْ جَابِرْ بِنْ مُطْعِمْ قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
قَاطِعٌ وَيَعْنِى قَاطِعُ الرَّحْمِ (متفق عليه)
"Dari Jabir bin Muth'im berkata : Rasulullah SAW. bersabda
: Tidak masuk surga orang yang memutuskan, yaitu memutuskan hubungan
persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang memutuskan hubungan persaudaraan
berarti dia telah berbuat maksiat karena telah melanggar perintah Allah dan
Rasul-Nya tentang kewajiban umat Islam untuk menyambung tali persaudaraan.
Bahkan sekedar menjauhi dan meninggalkan saudaranya lebih dari tiga malam
dengan niat memutuskan hubungan persaudaraaan pun tidak dibenarkan. Sebagaimana sabda Nabi :
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِى
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
: لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
يَلْتَقِيَانِ فَيَعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُ هُمَا الَّذِى يَبْدَأُ
بِالسَّلاَمِ.
"Dari Abu Ayub Al-Anshari RA. bahwa Rasulullah SAW.
bersabda : Tidak dihalalkan bagi seseorang meninggalkan saudaranya sampai lebih
dari tiga malam, keduanya beremu dan saling berpaling, sedangkan yang terbaik
di antara keduanya adalah yang memulai dengan salam." (Husain bin
Al-Mubarak dalam At-Tajriid ash-Shariih)
Dalam sabdanya yang lain Nabi mengatakan :
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ
أَعْمَالَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عِشْيَةَ الْخَمِيْسِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، فَلاَ
يَقْبَلُ عَمَلَ قَاطِعُ الرَّحْمِ (رواه البخارى)
"Dari Abu Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda :
Sesungguhnya amal umatku dilaporkan (kepada Allah) pada hari Kamis malam
Jum'at, maka tidaklah diterima amal orang yang memutuskan hubungan
persaudaraan." (HR. Bukhari)
وَعَنْ إِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ مُغْلَقَةً دُوْنَ قَاطِعُ
الرَّحْمِ (رواه الطبرانى)
"Dari Ibnu Mas'ud RA. berkata : Nabi SAW. bersabda :
Sesungguhnya pintu-pintu langit itu tertutup untuk orang yang memutuskan
hubungan persaudaraan." (HR. Thabrani)
Dua hadits di atas memperjelas betapa Nabi
telah mengutuk perbuatan dari orang-orang yang memutuskan tali silaturrahmi
atau hubungan persuadaraan, yang secara tegas diperintahkan Allah untuk
senantiasa menyambungnya, sehingga dikatakan bahwa amal seseorang yang dalam
keadaan memutuskan hubungan persaudaraan tidak diterima oleh Allah, dan oleh
karenanya dikatakan pula bahwa
pintu-pintu langit yang di sana penuh dengan berkah juga tertutup untuk
orang-orang yang memutuskan hubungan tali persaudaraan.
Hal itu dapat dipahami karena kecintaan
seseorang terhadap saudaranya merupakan bukti dari keimanan seseorang, sehingga
ketika seseorang telah memutuskan hubungan kasih sayang terhadap sesama sebagai
bentuk persaudaraan, maka dia telah kehilangan sebagian dari keimanannya,
karena keimanan yang sempurna menuntut kecintaan terhadap sesama muslim
sebagaimana cintanya terhadap diri sendiri. Sabda Nabi :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى
بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
(متفق عليه)
"Dari Anas RA. dari Nabi SAW. bersabda : Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah sempurna keimanan seorang hamba sehingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari
Muslim)
Cinta
akan selalu melahirkan perhatian dan kepedulian, cinta juga akan membuat
seseorang rela berkorban, karena itu untuk mewujudkan rasa cinta terhadap
sesama. Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menolong saudaranya baik dalam
keadaan dhalim atau madhlum. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُنْصُرْ أَخَاكَ
ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ
مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ : تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيِ (تَمْنَعُهُ
عَنِ الظُّلْمِ بِالْفِعْلِ إِنْ لَمْ
يَمْتَنَعُ بِالْقَوْلِ)
"Dari Anas RA. berkata : Rasulullah SAW. bersabda :
Tolonglah saudaramu dalam keadaan menganiaya atau teraniaya. Meraka berkata :
Wahai Rasul Allah ini kami tolong karena teraniaya, bagaimana kami menolong
orang yang aniaya? Nabi bersabda : Engkau cegah dari kedhaliman dengan tangan kalau tidak
bisa dengan lisan." (Musthafa Muhammad dalam Jawahirul Bukhari)
Pepatah
mengatakan bahwa teman sejati adalah orang yang bisa membuatmu menangis bukan
yang membuatmu tertawa. Nasehat atau peringatan adalah sesuatu yang terkadang
menyakitkan, akan tetapi sebenarnya dia merupakan bentuk dari kasih sayang,
karena membiarkan orang yang melakukan kesalahan sama dengan menjerumuskannya.
Karena itulah jagalah persaudaraan dan pertemanan dengan bersedia saling tolong
menolong dalam kebaikan agar selamat dalam menjalani kehidupan.
Bab 9

A. Pengertian
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar berasal dan kata bahasa Arab. أَمْرٌ/اْلأَمْرُ merupakan mashdar atau kata dasar dan fi'il atau
kata kerja أَمَرَ yang artinya memenintah
atau menyuruh. Jadi أَمْرٌ/اْلأَمْرُ
artinya perintah. مَعْرُوْفٌ artinya
yang baik atau kebaikan/kebajikan. Sedangkan اْلأَمْرُ الْقَبِيْحُ = اَلْمُنْكَرُ yaitu perkara yang keji.’
Memerintahkan
untuk suatu kebajikan dan melarang terhadap suatu kemungkaran adalah penintah
agama, karena itu ia wajib dilaksanakan oleh setiap umat manusia. Allah
berfirman :
Mahasiswa
menyadari bahwa sebagai orang beriman dirinya memiliki kewajiban untuk beramar
ma’ruf dan bernahi mungkar, kemudian berdasarkan kesadarannya itu dia berusaha
untuk dapat melakukannya dalam realitas kehidupan.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Jadilah di antara kalian suatu umat yang mengajak kepada
kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf/kebajikan dan melarang terhadap
yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan."
(QS. Ali Imran : 104)
Orang-orang
yang taqwa kepada Allah akan selalu mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang
terhadap yang mungkar, mereka itu akan mendapat limpahan rahmat dari Allah,
karena mereka itu adalah sebaik-baik umat manusia. Firman Allah:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللهِ
وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi
manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, sehingga
beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran : 110)
Allah
telah mengabadikan bagaimana seorang Luqman al-Hakim di dalam memberikan
nasehat dan pendidikan kepada anaknya, di mana setelah melarang anaknya untuk
berbuat syirik, kemudian memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua,
Luqman juga menganjurkan kepada anaknya untuk menyuruh manusia berbuat
kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Firman Allah itu adalah:
يَا
بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الأُمُورِ.
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) untuk
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dan perbuatan yang mungkar serta
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diinginkan (oleh Allah)." (QS. Luqman : 17)
Di
dalam firman-Nya yang lain Allah juga memerintahkan hambanya untuk menjadi
pemaaf dan menyuruh kepada kebaikan, firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ.
"Jadilah engkau seorang yang pemaaf dan perintahkanlah
kepada manusia untuk mengerjakan kebajikan serta jauhilah orang-orang yang bodoh."
(QS. Al-A'raf : 199)
Firman-Nya
yang lain pula:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ.
"Dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan sebagian
mereka adalah menjadi penolong atas sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan)
kebajikan dan mencegah dari yang mungkar." (QS. At-Taubah : 71)
B. Keutamaan Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Di
dalam menyampaikan kebenaran manusia dituntut untuk dapat memulainya dan diri
sendiri untuk melakukannya, dan baru kemudian mengajak kepada orang terdekat,
kaum kerabat, tetangga dan seterusnya untuk melakukan dan amal kebajikan
sebagaimana dia telah melakukannya. Demikian pula ketika seseorang melarang
terhadap suatu kemungkaran atau tindak kejahatan, maka tentu harus dimulai dan
dirinya terlebih dahulu untuk meninggalkan kejahatan tersebut, kemudian baru
mengajak kepada orang lain untuk meninggalkannya sebagaimana dia telah
meninggalkannya, dengan demikian dakwah yang disampaikannya akan menjadi
efektif dan dia akan terlepas dan cela dan dosa.
Amar
ma’naf dan nahi mungkar merupakan perintah agama yang wajib untuk dilaksanakan
oleh semua umatnya. Dalam kaitannya dengan keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar
sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat al-Qur’an di atas, Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَبِى
سَعِيْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَأى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَالْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ فَذَالِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (رواه مسلم)
"Dari Aim Said berkata bersabda Nabi SAW.: Barangsiapa melihat
kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya,
jika tidak bisa maka dengan hatinya, dun yang demikian itu adalah selemah-lemah
iman." (HR. Muslim)
Dalam
kaidah ushul dikatakan bahwa al-amru lil wujub perintah itu wajib (untuk dikerjakan),
artinya meninggalkannya akan berakibat dosa. Dan kaidah tersebut dapat dipahami
bahwa membiarkan kemungkaran tanpa adanya upaya untuk menghentikan membawa
risiko mendatangkan dosa, karena mengubah atau menghentikannya mempakan suatu
kewajiban, baik melalui tindakan, lisan ataupun setidaknya dengan hati, artinya
hati merasa tidak rela dan sedih ketika melihat tindak kemungkaran atau
kejahatan, dan upaya melarang atau menghalangi kemungkaran dengan cara yang
terakhir itu merupakan indikator dan lemahnya keimanan seseorang, karena
terindikasi bahwa dia tidak berani melawan kejahatan secara terang-terangan.
Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan bahwa pada hari kiamat Allah akan menanyakan
tentang sebab orang yang melihat kemungkaran dan mengingkarinya. Hadits itu berbunyi:
عَنْ أَبِى
سَعِيْدٍ اَلْحُذْرِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلَ الْعَبْدَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلُ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟
فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ، قَالَ : يَا رَبِّى رَجَوْتُكَ وَفَرِقْتُ
مِنَ النَّاسِ. (رواه ابن ماجه وابن حبان)
"Dan Aim Sa’id al-Hudzriyi r.a. Saya mendengar Rasulullah SAW.
bersabda: Sesungguhnya Allah pasti akan bertanya kepada hamba-Nya pada hari
kiamat dengan pertanyaan: Siapa yang menghalangimu jika engkau melihat
kemungkaran untuk mengingkarinya? Maka jika Allah menuntun alasan kepada hamba-Nya dia akan
berkata: Wahai Tuhan aku telah mengharapkan-Mu dan aku memisahkan diri dari
manusia." (H.R. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Hadits
di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak menghalangi atau
melarang perbuatan mungkar, karena membiarkannya merupakan bagian dan perbuatan
mungkar itu sendiri, karena jika seseorang mendapatkan petunjuk Allah maka
ketika melihat sebuah kemungkaran, minimal dia akan menjauhi dan meninggalkan
perbuatan mungkar tersebut dan dengan itu dia mengharapkan Allah akan
merahmatinya. Dalam sabdanya yang lain Nabi menjelaskan bahwa orang yang menunjukkan
kepada kebajikan itu akan mendapatkan pahala dan Allah seperti orang yang
melakukannya. Nabi bersabda:
عَنْ إِبْنِ
مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ
دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ (حديث
حسن رواه احمد فى مسنده ومسلم ووأبو داوود والترميذى)
"Dan Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah SAW.
bersabda: Barangsiapa menunjukkan kepada kebajikan maka baginya pahala seperti
orang yang melakukannya." (Hadits hasan Riwayat Ahma, Muslim, Aim Dawuud
dan Tirmidzi).
Demikian
besar keutamaan beramar ma’ruf sehingga Nabi menyatakan bahwa pahala menyuruh
kepada kebaikan itu sepadan dengan pahala orang yang melakukannya. Demikian
pula dalam sabdanya yang lain Nabi menegaskan bahwa pahala orang yang
memerintahkan kepada kejahatan juga sepadan dengan orang yang melakukannya.
Bahkan dalam sabdanya yang lain Nabi menegaskan orang yang membiarkan kejahatan
itu dikhawatirkan akan turut mendapat imbasnya. Dalam hal ini Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ
الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا
عَلَى يَدَيْهِ اَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مَنْهُ (رواه أبو داوود
والترمذى والنسائ)
"Dan Abu Bakar r.a. berkata. Saya
mendengar Rasulullah SAW. bersabda Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang
berbuat aniaya dan mereka tidak mencegahnya, dikhawatirkan Allah akan meratakan
siksanya disebabkan perbuatan tersebut."
Tindak kedhaliman merupakan kejahatan kemanusiaan
yang harus diberantas dan muka bumi ini, karena di samping merugikan diri sendiri
kejahatan tersebut juga membawa kerugian bagi orang lain. Karena
itu hadits-hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa dakwah atau
ajakan untuk meninggalkan kemungkaran dan menegakkan kebenaran di muka bumi merupakan
pekerjaan mulia yang harus diapresiasi dan dilaksanakan oleh seluruh umat
Islam. Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan, jika kemungkaran sudah
merajalela dan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar sudah tidak lagi dilaksanakan
selain kehancuran dan robohnya tatanan kehidupan dunia ini.
Oleh karena
itu, sebagai mukmin kita wajib untuk selalu mengajak manusia kepada kebajikan,
di samping diri sendiri telah melakukan, karena jika kemungkaran dibiarkan dan
kebajikan tidak dikumandangkan untuk dilaksanakan guna mengisi dan mewarnai
kehidupan ini maka apa yang akan terjadi hanyalah kehancuran dunia in Lebih dari
itu dikhawatirkan orang yang membiarkan kemungkaran akan turut mendapatkan
siksa dari kejahatan orang lain. Oleh karenanya maka kita harus mencegah atau
menghalanginya jika melihat atau mengetahui seseorang melakukan kemungkaran,
karena jika tidak dikhawatirkan akan turut terkena imbas dosa dan siksanya.
Bab 10

A. Pengertian Jujur
Kejujuran
merupakan modal utama untuk menjadi manusia baik. Kata jujur sendiri memiliki
pengertian terjadinya keselarasan dan kesesuaian antara apa yang ada di dalam
hati dan yang terungkap melalui lisan maupun perbuatan. Atau dengan kata lain satunya kata hati, kata
lisan dan perbuatan.
Jujur berkonotasi dengan benar yang dalam bahasa
Arab diistilahkan dengan Shidiq اَلصِّدْقُ yang bisa
berarti kebenaran dan bisa juga diartikan sebagai kejujuran, hal itu karena
orang yang jujur akan selalu mengatakan yang sebenar-benarnya.
Dalam
alam global seperti sekarang mi, di mana persaingan dalam segala bidang menjadi
pola hidup yang tidak dapat dihindarkan, kejujuran kemudian menjadi seperti
barang antik yang sulit didapatkan. Setiap hari kita dengar berita tentang
penipuan, perampokan, pencurian, penggelapan, pemalsuan, korupsi, manipulasi,
dan aksi-aksi lain yang bersumber dari tidak adanya kejujuran seseorang
terhadap dirinya sendiri. Sebab jika orang mau jujur terhadap diri sendiri,
bersedia mendengarkan suara hati nurani, pasti akan mengatakan bahwa semua
tindakan di atas bertentangan dengan panggilan hati nurani yang tidak pernah
membenarkan aksi-aksi terkutuk itu. Karena suara hati nurani adalah hidayah
Allah yang dikaruniakan kepada manusia dan menyatu dengannya.
Tidak
adanya kejujuran akan menimbulkan krisis kepercayaan yang pada gilirannya akan
melahirkan krisis multi dimensi, yang dapat menghancurkan sendi-sendi
kehidupan, baik pada tingkat kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun
sampai pada tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila manusia sudah
meninggalkan apa yang disebut “kejujuran”. Karena itu Allah perintahkan kepada
hamban-Nya yang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dan senantiasa berlaku jujur
(berkata benar). Firman Allah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَقُولُوْا قَوْلاً سَدِيداً.
"Hal orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan
berkatalah dengan perkataan yang benar (berkatalah yang sebenarnya)." (Al-Ahzab
: 70)
Ayat di
atas secara tegas memerintahkan kepada manusia untuk berlaku jujur (berkata
tentang sesuatu sesuai dengan fakta yang ada), karena lanjut ayat tersebut bahwa
kejujuran akan mendatangkan kebaikan dari Allah dan menjadi penyebab
terampuninya dosa-dosa. Dan jika dipahami dengan logika terbalik maka akan
dinyatakan bahwa kedustaan akan mendatangkan kejahatan dan melahirkan
dosa-dosa, sedangkan tindak kejahatan dan perbuatan dosa akan mendatangkan
kemarahan dan kutukan Allah.
Karena
itu di dalam firman-Nya yang lain Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوْا مَعَ الصَّادِقِينَ.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakawalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu sekalian bersama orang-orang yang benar."
(At-Taubah : 119)
Ayat di
atas menunjukkan bahwa kejujuran merupakan barang mahal yang hanya dimiliki
oleh orang yang taqwa kepada Tuhan, dan sebaliknya kedustaan adalah sifat
rendah dari orang-orang jahat, yang akan mengantarkannya kepada kesengsaraan
dunia akhirat.
B. Perintah Nabi Untuk Berlaku Jujur
Karena
itu Nabi memerintahkan umatnya untuk senantiasa berlaku jujur. Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّهُ
مَعَ البِرِّ، وَهُمَا فِى الْجَنَّةِ، وَاِيَّاكُمْ
وَالْكِذْبَ
فَإِنَّهُ مَعَ الفُجُوْرِ وَهُمَا فِى النَّارِ، وَاسْأَلُوا اللهَ الْيَقِيْنَ
وَالْمُعَافَاةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُؤْتَ أحَدٌ بَعْدَ الْيَقِيْنِ خَيْراً مِنَ الْمُعَافَاةِ،
وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاْ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا، وَكُونُوْا عِبَادَ
اللهِ اِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ. (رواه أحمد والبخارى وابن ماجه)
Dari Abu Bakr R.A. berkata:
Rasulullah SAW. : Hendaklah kamu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran
itu bersama dengan kebaikan, dan keduanya ada di surga, dan hendaklah kamu
menjauhi kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu bersama kejahatan, dan
keduanya ada di dalam neraka, dan bertanyalah kamu kepada Allah tentang
keyakinan dan pemberian maaf, karena sesungguhnya tidak ada kebaikan yang dapat
ditunjukkan seseorang setelah keyakinan, kecuati pemberian maaf. Karenanya
janganlah engkau saling dengki, jangan saling membenci, jangan saling
memutuskan tali persaudaraan, dan jangan saling membelakangi, serta jadilah
kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana Allah penintahkan
kepadamu. (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah)
Dan
sabda Nabi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan yang
dapat diukir dan diciptakan melalui kedustaan, karena dan satu kata “dusta”
akan dapat terlahir berbagai macam tindak kejahatan sehingga dalam suatu
riwayat dikatakan, bahwa ketika Nabi kedatangan seorang kafir Quraisy yang
dalam pengakuannya telah melakukan semua larangan Allah, tetapi dia tidak tahu
bagaimana cara bertaubat, sedangkan dia ingin bertaubat. Maka ketika itu Nabi
hanya mengajukan satu syarat untuk dipenuhinya jika dia benar-benar mau
bertaubat, syarat itu adalah “jujur” Dan sini dapat dipahami bahwa kejujuran
merupakan pangkal segala kebaikan.
Islam
yang dibawa Muhammad SAW. memiliki konsep akhlak yang sangat indah untuk
diaplikasikan dalam kehidupan yang semuanya merupakan pancaran cahaya hidayah al-Qur’an
yang terejawantahkan dalam perilaku sehari-hari Rasulullah SAW., karena akhlak
Rasul adalah al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dikatakan ‘Aisyah istri Nabi ketika
ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka dia menjawab: Akhlaknya adalah
al-Qur’an. Itu artinya bahwa apa yang dikerjakan dan ditinggalkan Nabi dalam perjalanan
hidupnya senantiasa dilandasi dan berpijak kepada petunjuk al-Qur’an, maka
tidaklah mengherankan jika Allah telah memuji keagungan akhlak Nabi dengan
firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ.
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
memiliki akhlak yang agung."
Sebagai
umat Muhammad yang baik pasti kita akan berusaha untuk meneladani
sifat-sifatnya terlebih kejujurannya, karena itu Allah perintahkan kepada orang
beriman untuk berada bersama orang-orang yang benar (jujur), dan menjauhi
orang-orang kafir yang mendustakan kebenaran karena mereka itu adalah orang
yang paling aniaya. Kejujuran harus ditegakkan dan dilaksanakan oleh setiap
orang jika mereka menginginkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Kejujuran akan
mendatangkan kebajikan dan sebaliknya kebohongan akan mendatangkan bencana.
Nabi bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَالْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى
الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّبًا (متفق
عليه)
"Dari Abdullah bin
Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Hendaknya kalian senantiasa jujur
karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan dan kebajikan itu membawa
ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur maka akan
ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kedustaan karena
kedustaan itu akan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan membawa ke
neraka. Selama seseorang itu sering dusta dan membiasakan berdusta maka akan
ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Muslim)
Dusta
merupakan bagian dari sifat atau tanda orang munafik, sebagaimana sabda Nabi
yang berbunyi:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (متفق عليه)
"Tanda orang munafik itu ada tiga: bila
berkata berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat."
Dusta
merupakan bagian dari tanda orang munafik karena karakter orang munafik itu
adalah bermuka dua atau lain di mulut lain pula di hatinya dan bahkan dalam
tindakannya. Orang berdusta adalah orang yang mengatakan atau melakukan sesuatu
yang sebenarnya berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya, atau mengatakan
sesuatu yang sebenarnya hatinya mengatakan lain, barangkali karena sesuatu yang
dikatakan itu tidak ada atau tidak terjadi, sehingga dia telah mengelabuhi
orang lain dan bisa jadi mencelakakan orang lain. Karena itu Allah sangat
membenci kepada orang-orang munafik yang memiliki tiga ciri sifat jahat yang
satu sama lain biasanya saling terkait. Allah berjanji akan menempatkannya di
bagian bawah dari jurang neraka, sebagaimana firman-Nya:
Dalam
hadits lain Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بِنْ عَلِى
بِنْ أَبِى طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعْ مَا
يُرِيْبُكَ
إِلَى مَالاَ يُرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رَيْبَةٌ.
(رواه الترمذي)
"Dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali
bin Abi Thalib r.a. berkata: Saya telah menghafal dari Rusulullah SAW.:
Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa-apa yang tidak
meragukanmu, karena sesungguhnya kejujuran itu menimbulkan ketenangan dan
kedustaan itu menimbulkan keraguan." (HR. Tirmidzi)
Orang
yang berkata apa yang sebenarnya (jujur) hatinya akan tenang karena dia berada
pada jalan yang benar, akan tetapi orang yang berdusta pasti akan merasa gundah
gulana, hatinya was-was dan tidak tenang sebab dia sedang berada di luar
rel/ketentuan hukum Allah, sebab dusta perbuatan yang dilarang Allah, dan orang
beriman akan merasa gembira dengan amal baiknya, dan merasa sedih dengan amal
jahatnya. Karena dusta adalah amal jahat maka orang mukmin akan resah hatinya
ketika berdusta. Karena itu secara tegas Nabi melarang umatnya untuk berdusta
dengan mengatakan:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ مُجَانِبٌ لِلإِيْمَانِ (رواه أحمد)
"Dari Abu Bakar r.a berkata:
Rasulullah SAW. bersabda: Jauhilah olehniu dusta, karena sesungguhnya dusta itu
menjauhkan dari iman." (HR. Ahmad).
Dalam
sabdanya yang lain Nabi memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur dengan
mengatakan sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ صَخْرَ بْنِ حَرْبٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ حَدِيْثِ طَوِيْلٍ فِيْ قِصَةِ هِرَاقُلَ قَالَ هِرَاقُلَ:
فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ يَعْنِى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ
أَبُوْ سُفْيَانَ: قُلْتُ: يَقُوْلُ اُعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ
شَيْئًا، وَاتْرَكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ
وَالْعِفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
Dari Abu Sufyan Shakhr bin
Har ra. di dalam haditsnya yang panjang tentang cerita pertanyaan Heraklius
kepadanya. Heraklius berkata: Apa yang Nabi perintahkan untukmu? Abu Sufyan
berkata Nabi bersabda : Sembahlah Allah yang Esa jangan engkau sekutukan Dia
dengan sesuatu pun, tinggalkan ajaran nenek moyangmu, dan memerintahkan kami untuk
mendirikan shalat, jujur, pemaaf dan menyambung tali sillaturrahim." (HR.
Bukhari Muslim)
Dusta merupakan perbuatan yang mengandung dosa
yang dapat memberikan madharat baik bagi diri pelakunya maupun bagi orang lain,
karena itu dalam banyak haditsnya, Nabi senantiasa melarang perbuatan dusta dan
menganjurkan kepada kejujuran, karena jujur pangkal kesuksesan dan dusta sering
menjadi sumber malapetaka. Karena itu dusta juga
dikatagorikan sebagai perbuatan maksiat yang dapat mengurangi keimanan
seseorang, karena iman seseorang akan bisa bertambah dan bisa juga berkurang.
Bertambah dengan banyaknya amal kebajikan/amal shaleh dan berkurang dengan
banyaknya maksiat kepada Allah.
C. Dusta
yang Diperbolehkan
Dusta memang merupakan perbuatan tercela dan dilarang oleh agama, namun
demikian sebagaimana hukum selalu ada istitsna’ atau perkecualiannya, maka
demikian juga halnya dengan dusta.
Dalam
hal-hal tertentu yaitu dalam tiga situasi dan kondisi yang telah ditentukan,
Nabi memperbolehkan umatnya untuk berdusta. Dusta yang diperbolehkan itu adalah
sebagairnana dikatakan Nabi dalam sabdanya:
عَنْ اُمِّ
كُلْثُوْمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ
النَّاسِ فَيَنْمِى خَيْرًا وَيَقُوْلُ خَيْرًا (مُتَفَقٌّ عَلَيْهِ) وَزَادَ
مُسْلِمٌ فِى رِوَايَةِ : قَالَتْ اُمُّ كُلْثُوْمٍ : وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ
فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُوْلُ النَّاسُ
كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ، يَعْنِي: اَلْحَرْبُ، وَاْلإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ،
وَحَدِيْثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيْثُ
الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.
"Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ía
mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Tidaklah dinamakan berbohong orang yang
mendamaikan sengketa di antara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau
mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan." (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan
bahwasanya Ummu Kultsum berkata: Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW.
memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin) kecuali dalam
tiga hal. Yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa
di antara manusia, dan pembicaraan laki-laki terhadap istrinya dan istri
terhadap suaminya. Pada dasarnya semua kebohongan itu dilarang tetapi dalam
tiga hal sebagaimana tersebut di atas berbohong diperbolehkan, karena dalam
hal-hal di atas kejujuran justru dikhawatirkan akan mendatangkan madharat.
Seperti orang muslim yang ditanya tentang keberadaan pihak musuh yang sedang
dicari di dalam peperangan, kalau dia tahu dan jujur, maka tentu pihak lawan
akan mendapatkan musuh itu dan akan dibunuhnya. Demikian pula orang yang
mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, jika untuk bisa mendamaikan
keduanya harus menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak terjadi, maka
kebohongan untuk kebaikan itu diperbolehkan. Sama halnya pembicaraan antara
suami istri yang dimaksudkan untuk menimbulkan kebaikan, misalnya istri masak
tidak enak dan keasinan, lalu ketika sedang makan suami ditanya tentang
masakannya dan dia menjawab enak dan tidak keasinan. Kabohongan-kebohongan di
atas diperbolehkan karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar.
Bab 11

A. Pengertian Sedekah
اَلصَّدَقَةُ هِيَ عَطِيَّةٌ يُرَادُ
بِهَا الْمَثْوَبَةَ لاَ الْكَرَامَةَ.
Sedekah
yaitu suatu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala bukan untuk
suatu kehormatan atau kemulyaan. Sedekah merupakan bentuk kepedulian seseorang
terhadap orang lain untuk turut meringankan beban yang sedang dideritanya.
Kepedulian berasal dan kata peduli. Ia merupakan bagian dari sifat
terpuji yang patut untuk mendapatkan apresiasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Peduli memiliki pengertian; mengindahkan, memperhatikan, atau menghiraukan, yang pada umumnya memiliki konotasi dengan hal-hal positif. Seperti, peduli terhadap penderitaan orang lain, peduli terhadap nasib rakyat miskin, dan lain sebagainya.
Peduli memiliki pengertian; mengindahkan, memperhatikan, atau menghiraukan, yang pada umumnya memiliki konotasi dengan hal-hal positif. Seperti, peduli terhadap penderitaan orang lain, peduli terhadap nasib rakyat miskin, dan lain sebagainya.
Kepedulian
hanya akan lahir dan orang-orang yang hatinya masih hidup. Karena di jaman
seperti sekarang ini banyak orang-orang yang masih hidup dengan segala
kemewahannya, namun sesungguhnya hati mereka telah “mati”. Mata hati mereka
tidak lagi dapat melihat penderitaan dan kesulitan saudara-saudaranya yang miskin,
telinga mereka tidak lagi dapat mendengar jerit tangis anak-anak yatim yang
kelaparan, rintihan orang-orang miskin yang hidup serba kekurangan, lantaran
hati mereka sudah terkunci mati, tertutup kabut keserakahan, silau terhadap
kemilau harta dunia.
Orang-orang
yang hatinya telah terkunci mati tidak pernah mau mengerti bahwa di dalam harta
yang mereka kumpul-kumpulkan itu terdapat hak orang miskin dan anak yatim yang
tidak berdaya, dan lebih dari itu sesungguhnya semua yang telah dikumpulkan itu
akan ditinggalkan dan tidak akan dapat memberikan faedah apa-apa dalam
kehidupan abadinya di akhirat nanti bahkan akan menjadi bara api neraka yang
membakarnya sampai ke dalam hatinya.
B. Perintah untuk Bersedekah sebelum Hari Kiamat
Harta
yang menjadi hak milik hakiki adalah harta yang dibelanjakan di jalan Alah,
sedangkan semua harta yang masih dalam genggamannya adalah titipan Allah yang
sewaktuwaktu dapat diambil kembali.
Karena
itu Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menafkahkan sebagian
rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya sebelum kiamat datang sebagai wujud
kepedulian terhadap sesama. Perintah itu disampaikan Allah melalui flrman-Nya:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّّ
بَيْعٌ فِيْهِ وَلاَ
خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ
وَالْكَافِرُوْنَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ.
"Wahai orang-orang yang beriman!
Belanjakanlah sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepadamu, sebelum datang hari
yang tidak ada lagi jual beli pada hari itu tidak ada lagi persahabatan dan
tidak ada lagi pertolongan (yaitu hari kiamat,). Dan orang-orang kafir itu mereka
orang-orang yang aniaya." (QS. Al-Baqarah
: 254)
Orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan balasan yang berlipat
ganda dari-Nya. Firman Allah:
مَثَلُ
الَّذِيْنَ
يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ
سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ
وَاللهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah seperti sebuah biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, pada setiap
tangkai ada seratus butir dan Allah melipatgandakan bagi siapa yang
dikehendaki-Nya, Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui."
Ayat di atas menginspirasikan kepada kita bahwa
harta yang dibagi kepada orang yang lebih memerlukan dengan niat tulus karena
tunduk perintah Allah itu pada dasarnya tidaklah hilang, akan tetapi justru
akan menjadi berlipat ganda dengan kehendak Allah, karena menolong orang lain
berarti menolong Allah, dan Allah pasti akan menolongnya.
Karena itu Nabi memerintahkan agar kita rajin
bersedekah selagi hayat masih dikandung badan Sebab akan datang suatu hari di
mana orang tidak lagi memerlukan sedekah. Nabi bersabda:
عَنْ
حَارِثَةَ بْنِ وَهَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوْا فَسَيَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانًا يَمْشِى
الرَّجُلُ بِصَدَقَتِهِ فَيَقُولُ الَّذِى يَأْتِيْهِ بِهَا: لَوْ جِئْتَ بِهَا
الأَمْسِ لَقَبِلْتُهَا فَأَمَّا الآنَ فَلاَ حَاجَةَ لِيْ فِيْهَا، فَلاَ
يَجِدُ مَنْ يَقْبَلُهَا.
"Bersedekahlah kalian karena akan datang kepadamu suatu
masa di mana seorang berjalan dengan membawa sedekahnya, maka berkatalah orang
yang mau diberinya itu: Andaikata engkau datang kemarin niscaya aku terima
sedekahmu itu, adapun sekarang maka aku tidak memerlukannya lagi, maka tidak
dia dapati orang yang mau menerimanya. (HR. Bukhari Muslim)
Islam
mengajarkan kepada manusia untuk memiliki kepedulian terhadap sesama, karena
pada hakekatnya semua anugerah yang dimiliki seseorang itu adalah amanah dari
Allah untuk ditasharufkan sesuai dengan kehendak-Nya, di mana di dalam harta
orang kaya terletak hak orang miskin yang harus diberikan kepada mereka. Karena
itu dengan tegas, melalui firman Allah dalam al-Quran Islam telah menetapkan
orang-orang yang tidak mempedulikan anak-anak yatim dan membiarkan serta
menterlantarkan orang-orang miskin sebagai pendusta agama, lantaran mereka
mengkhianati amanah Allah yang diberikan kepadanya.
Ketetapan
Allah itu tertuang di dalam Firman-Nya:
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ
بِالدِّيْنِ (1) فَذَالِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ (2) وَلاْ يَحُضُّ
عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
"Apakah engkau tahu orang yang mendustakan agama (1) Dia
itulah orang yang membiarkan (menterlantarkan) anak yatim (2) Dan tidak
membantu memberi makan orang-orang miskin(3)." (QS. Al-Maa'uun : 1-3)
Ayat-ayat
di atas memberikan kita pelajaran bahwa kepedulian merupakan sesuatu yang
niscaya bagi orang-orang yang menamakan dirinya muslim. Karena hilangnya
kepedulian terhadap beban anak-anak yatim yang terlantar, dan penderitaan
orang-orang miskin yang kelaparan, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap
Islam, yang pada saatnya akan mendapatkan perhitungan dan Allah.
Begitu
agung dan mulia perbuatan menyantuni anakanak yatim, terutama mereka para yatim
yang miskin dan terlantar, mereka tidak tahu kemana harus menyandarkan
hidupnya, sehingga Nabi bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ
سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِى الْجَنَّةِ (رواه أحمد
والبخارى وأبو داوود والترمذى) حديث صحيح
"Dari
Sahal bin Said ra. berkata: Nabi SAW. bersabda: Aku dan orang yang menyantuni
anak yatim ada di Surga. (H.R. Arba’ah: Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan
Tirmidzi)
Apabila
umat Islam khususnya di Indonesia, yang merupakan kelompok mayoritas ini secara
individual, mereka yang merasa mampu sanggup mengamalkan satu hadis Nabi saja
sebagaimana tercantum di atas, barangkali realitas kehidupan bangsa ini akan
menjadi lain adanya. Panti-panti asuhan yatim (PAY) sebagai bentuk dan
kepedulian sebagian umat Islam harus diakui memang sudah ada, bahkan bisa
dibilang sudah banyak, namun itu belum dapat mencukupi jumlah yatim yang
memerlukan santunan, baik dan sisi kehidupan sehari—hari maupun terlebih dan
sisi kebutuhannya akan pendidikan. Sebuah pertanyaan yang jawabannya ada pada
setiap orang yang memproklamirkan dirinya sebagai muslim, “Siapakah yang
berdosa jika di negara yang mayoritas penduduknya mengaku muslim ini masih
banyak anak-anak yatim yang tidak bisa menikmati dunia pendidikan, dan tidak
sedikit orang-orang miskin yang kelaparan”? Karena itu kesadaran umat secara
individual untuk mengembangkan kepedulian sebagaimana diajarkan Islam rupanya
perlu mendapatkan perhatian semua pihak demi meningkatkan taraf hidup mereka
yang masib dalam bahkan di bawah garis kemiskinan.
C. Sedekah Dapat Menghapus Dosa
Membantu
sesama yang sedang dalam kesulitan merupakan bentuk dan sikap peduli yang
diperintahkan agama yang dapat menghapus dosa dan kesalahan. Nabi bersabda:
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ
بِتَمْرٍ فَإِنَّهَا تَسُدُّ مِنَ الْجَائِعِ وَ
تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ (حديث حسن رواه ابن
مبارك)
"Bersedekahlah kalian walaupun hanya
dengan sebuah kurma, karena sesungguhnya dia akan mencukupi bagi orang yang
lapar dan akan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api." (HR.
lbnu Mubarak).
Perintah sedekah yang lain tertera dalam hadits Nabi:
تَصَدَّقُوْا فَإِنَّ الصَّدَقَةَ
فَكَاكُمْ مِنَ النَّارِ (رواه الطبرانى)
"Bersedekahlah kalian karena sesungguhnya
sedekah itu akan membebaskanmu dari api neraka. (HR. Thabrani)
Mempersiapkan kehidupan jangka panjangadalah
tindakan bijak, dan meratapi dan tenggelam dalam penyesalan panjang adalah
tindakan bodoh. Karena itu agar umatnya tidak menyesal pada han kiamat nanti,
Nabi menganjurkan untuk bersedekah selagi masih ada yang mau menerimanya. Nabi bersabda:
عَنْ
حَارِثَةَ بْنِ وَهَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوْا فَسَيَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانًا يَمْشِى
الرَّجُلُ بِصَدَقَتِهِ فَيَقُولُ الَّذِى يَأْتِيْهِ بِهَا: لَوْ جِئْتَ بِهَا
الأَمْسِ لَقَبِلْتُهَا فَأَمَّا الآنَ فَلاَ حَاجَةَ لِيْ فِيْهَا، فَلاَ
يَجِدُ مَنْ يَقْبَلُهَا.
"Bersedekahlah kalian karena akan
datang kepadamu suatu masa di mana seorang berjalan dengan membawa sedekahnya,
maka berkatalah orang yang mau diberinya itu: Andaikata engkau datang kemarin
niscaya aku terima sedekahmu itu, adapun sekarang maka aku tidak memerlukannya
lagi, maka tidak dia dapati orang yang mau menerimanya." (H.R. Bukhari
Muslim)
Hadits di atas mengingatkan kita bahwa menunda-nunda amal shaleh akan
dapat berakibat fatal bagi seseorang, karena ajal yang kita semua akan
menemuinya merupakan misteri yang tidak pernah dapat diprediksi dengan alat
secanggih apapun, sementara itu orang sering terlena dengan kesibukan
mengumpulkan bahkan menumpuk-numpuk harta dunia tanpa sering menyadari bahwa
kematian selalu mengintai dan setiap saat akan menjemputnya, sedangkan ketika
ajal sudah tiba penyesalan tidak lagi ada gunanya, harta yang dengan susah
payah dikumpulkan dengan segala cara selama di dunia tidak akan dapat menolong
dan menyelamatkan dari siksa api neraka, bahkan orang bakhil akan didoakan
malaikat agar hartanya binasa. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ يَوْمٍ
يُصْبِحَ الْعِبَادُ فِيْهِ اِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ
اَحَدُهُمَا: اَللّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقَا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللّهُمَّ
أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفًا. (متفق عليه)
"Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW.
bersabda Tidak ada hari di mana searang hamba berada di pagi hari kecuali turun
dua malaikat yang, lalu yang satu berkata: Ya Allah berikanlah ganti kepada orang
yang menafkakkan hartanya, dan yang lain berkata: Ya Allah binasakanlah harta
orang yang bakhil." (HR. Bukhari Muslim)
Hadits di atas sesuai dengan firman Allah dalam
al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya
di jalan Allah seperti sebuah biji yang tumbuh menjadi pohon yang bercabang
tujuh dan pada masing-masing cabang atau tangkainya itu tumbuh seratus biji,
atau dengan kata lain harta yang dibelanjakan di jalan Allah akan
dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali, bahkan sampai tak terhingga jika Allah
menghendaki. Sedekah akan dapat meringankan beban sesama dan memberikan manfaat
untuk umat dan kemanusiaan, karena itu Islam adalah agama yang sangat
menganjurkan umatnya untuk suka bersedekah karena sedekah adalah sebaik-baik pintu
kebajikan. Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: خَيْرُ أَبْوَابِ الْبِرَّ الصَّدَقَةَ (حديث صحيح رواه الطبرانى فى الكبير)
"Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullak SAW. bersabda:
Sebaik-baik pintu kebajikan adalah sedekah." (H.R. Thabrani)
Dalam
hadits lain Nabi bersabda :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ
وَالْمَسْأَلَةَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ
السَّائِلَةُ
(رواه البخارى ومسلم)
"Dan Ibnu Umar r.a. berkata: Bahwa
Rasulullah SAW. bersabda sedangkan dia berada di atas mimbar dan menyebut
sedekah dan meminta-minta, maka nabi bersabda; Tangan yang di atas lebik baik
daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas itu yang memberi dan tangan
yang di bawah itu yang meminta. (HR.
Bukhari Muslim)
Sabda nabi di atas dapat secara mudah dipahami
bahwa orang yang memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain tentu lebih utama
daripada orang yang menerima manfaat dan orang lain. Karena
jika ibadah sosial lebih untuk kepentingan individu, maka ibadah sosial seperti
sedekah, memberi manfaat kepada orang lain.
Di
dalam kaidah ushuliah dikatakan bahwa kebajikan yang bersifat sosial itu lebih
utama daripada kebajikan yang bersifat individual, sedangkan sedekah jelas
merupakan kebajikan yang bersifat sosial, karena itu dia merupakan pintu kebajikan
yang paling utama, sebab dengan kesadaran untuk berbagi kepada sesama,
kehidupan akan menjadi bahagia, dan harta yang ditasharrufkan di jalan Allah
akan mendapatkan ganti yang berlipat ganda dari-Nya. Setiap manusia tentu
menginginkan dirinya menjadi yang terbaik di anatara yang lainnya, dan untuk
dapat mencapai keinginan itu nabi telah menunjukkan jalannya melalui sabdanya:
عَنْ جَابِرْ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ.
"Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya."
Dari
hadits di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat
menganjurkan kepada manusia untuk memiliki kepedulian terhadap sesama terutama
orang yang sedang memerlukan uluran tangan kita, karena kesalehan sosial itu
lebih utama daripada kesalehan individual. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah
ushuliah bahwa:
Kebajikan
yang menyangkut orang banyak itu lebih utama daripada kebajikan individual.
Demikian pula halnya dengan sedekah yang manfaatnya bisa dinikmati orang lain,
di samping oleh orang yang mengeluarkan sedekah.
Sedekah
di samping bisa meringankan beban orang lain juga dapat mengantarkan pelakunya
masuk ke dalam surga Allah, karena sedekah dapat menghapus dosa seseorang, dan
ketika orang sudah terhapus dosanya maka ke mana lagi dia akan kembali kalau
tidak ke surga Allah. Nabi bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَيـُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ،
وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ،
وَصلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَـنَّةَ بِسَلاَمٍ (رواه الترمذى)
"Dari ‘Abdullah bin Salam ra. berkata: Rasulullah SAW.
bersabda: Wahai sekalian manusia! Tebarkanlah perdamaian, sambunglah tali
persaudaraun, berilah makanan kepada orang lapar dan dirikanlah shalat malam di
tengah manusia tidur nyenyak, engkau akan masuk surga dengan selamat."
(HR. Tirmidzi)
Kedamaian dan ketenteraman adalah dambaan setiap orang. Dengan gemar
bersedekah, menyambung tali persaudaraan/bershilaturrahim dan mendirikan shalat
malam di tengah orang tidur nyenyak kedamaian dan ketenteraman hidup akan bisa
didapatkan.
Dari paparan tentang keutamaan sedekah di atas, dapat diperoleh
nilai-nilai pendidikan yang menyangkut pentingnya kepedulian sosial dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena pada dasamya manusia adalah
makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa orang lain. Karena itu
tolong-menolong terhadap sesama, saling berbagi, saling memberi dan menerima
adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia di dunia.
Bab 12

A. Fungsi
Pakaian
Sesuai
dengan ajaran agama, fungsi utama dan pakaian adalah untuk menutup aurat. Namun
demikian pakaian juga sebagai simbul suatu kebudayaan di samping sebagai
pengejawantahan dan tingkat penghayatan keberagamaan.
Pakaian
akan merepresentasikan karakter dan kepribadian pemakainya. Cara berpakaian yang
sopan sesuai dengan norma-norma agama dan norma sosial yang ada akan
menggambarkan kondisi psikologis pemakainya, dan demikian pula sebaliknya cara
berpakaian yang tidak teratur dan tidak memenuhi kriteria kepantasan juga akan
menunjukkan bahwa seperti itulah sebenarnya kondisi kejiwaan pemakainya, karena
apa yang nampak secara Iahiriah itu sesungguhnya menunjukkan apa yang tersimpan
di dalam hatinya,
Karena
fungsi pakaian yang sebenarnya adalah untuk menutup aurat, sementara menurut
beberapa referensi hukum Islam/fiqh terdapat perbedaan batas aurat antara kaum
laki-laki dan perempuan maka perlu kiranya disinggung perbedaan batas aurat
antara laki-Iaki dan perempuan. Aurat bagi kaum perempuan meliputi seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sedangkan bagi kaum laki-laki
hanya sebatas antara lutut dan pusar.
Di
samping berfungsi sebagai penutup aurat, pakaian juga berfungsi untuk memperjelas
identitas agar orang mudah dikenal, serta untuk memelihara manusia dari panas
matahari Allah berfirman:
يَآ اَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ
عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَالِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ
غَفُورًا رَحِيمًا.
"Katakanlah kepada istri-istri kamu,
anak-anak perempuan kamu, dan perempuan-perempuan mukminin, supaya mereka
menutupkan baju ke seluruh tubuhnya. Yang demikian itu lebih mudah untuk
mengenal mereka, sehingga mereka tidak diganggu (disakiti), dan adalah Allah
itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih." (QS. Al-Ahzab : 59)
Maksud dan tujuan dari perintah di atas tidak
lain adalah untuk menjaga kaum perempuan sendiri dan gangguan laki-laki iseng
yang akan menjahatinya, mengingat laki-laki, terutama laki-laki bangsa Arab
yang hidup di padang pasir dengan kebiasaan mengkonsumsi daging yang cukup,
akan sangat mudah terangsang syahwatnya apabila melihat aurat perempuan, karena
itu bagi mukminat yang ingin selamat dari gangguan laki-laki jahat tentulah
akan memanjangkan pakaiannya dan menutup seluruh aurathya. Pakaian juga dapat
melindungi manusia dan terik matahari. Firman Allah:
وَاللهُ جَعَلَ
لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلاَلاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيْلَ تَقِيْكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيْلَ
تَقِيْكُمْ
بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُوْنَ.
"Dan Allah jadikan bagimu pakaian
untuk memeliharamu dan panas dan (pakaian besi) untuk menjaga kamu dan
peperangan. Demikian Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, mudah-mudahan
kamu berserah din kepada-Nya." (QS. An-Nahl : 81)
Allah
tahu persis kebutuhan hamba-Nya, termasuk kebutuhannya untuk berpakaian. Karena
itu di samping untk menutup aurat fungsi pakaian juga dapat melindungi orang dari
kepanasan. Bisa kita bayangkan orang-orang yang bekerja seharian di bawah tenik
matahari seperti petani, buruh bangunan, dan orang-orang yang kerja di lapangan
lainnya tentu tidak akan tahan jika mereka tidak mengenakan pakaian.
B. Pakaian Terbaik adalah Takwa
Macam-macam fungsi pakaian di samping sebagai
penutup aurat, sebagai pelindung manusia dari kepanasan, pakaian juga sebagai
hiasan bagi pemakainya. Namun demikian Allah menegaskan bahwa pakaian takwa itulah pakaian yang paling
baik untuk dimiliki dan dikenakan seorang hamba, sebagaimana firman Allah:
يَا
بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي
سَوْءَاتِكُمْ وَرِيْشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ آيَاتِ اللهِ لَعَلَّكُمْ يَذْكُرُوْنَ.
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami
(Allah) telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian
indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik." (QS. Al-A'raf
: 26)
Jika pakaian berfungsi untuk menutup aurat
pemakainya, maka pakaian takwa berfungsi untuk menutup api neraka agar tidak
membakar pemakainya, karena orang yang bertakwa sebagaimana janji Allah akan
dimasukkan ke dalam surga-Nya, karena itu otomatis dia akan terjauh dari siksa
api neraka.
Hanya
saja berkaitan dengan batas aurat antara laki-laki dan perempuan, mengapa hal
itu berbeda? Menurut hemat penulis permasalahannya kembali kepada faktor
maslahat dan madlarat bagi keduanya. Dilihat dari sisi nafsu biologis laki-laki
lebih mudah terangsang daripada perempuan, sehingga ketentuan untuk menutup
aurat secara lebih rapat bagi perempuan adalah untuk kepentingan kaum perempuan
sendiri, yaitu agar mudah dikenali bahwa mereka adalah muslimah sehingga dapat
terjaga dari dan terpelihara dari gangguan orang jahat yang ingin menggodanya,
karena perempuan dititahkan lebih lemah dan sekaligus lebih lembut dari kaum
laki-laki, sehingga rentan terhadap gangguan dan godaan dari lain jenis. Karena
itu rnelalui firman-Nya Allah memerintahkan kepada Muhammad agar menyampaikan
kepada para istri dan perempuan-perempuan mukmin untuk memanjangkan pakaian
mereka.
Maksud
dan tujuan dari perintah Allah itu tidak lain adalah untuk menjaga kaum
perempuan sendiri dari gangguan laki-laki iseng yang akan menjahatinya,
mengingat laki-laki, terutama laki-laki bangsa Arab yang hidup di padang pasir
dengan kebiasaan mengkonsumsi daging yang cukup, akan sangat mudah terangsang
syahwatnya apabila melihat aurat perempuan, karena itu bagi mukminat yang ingin
selamat dari gangguan laki-laki jahat tentulah akan memanjangkan pakaiannya dan
menutup seluruh auratnya.
C. Pakaian Nabi
Kalau
cara berpakaian menunjukkan kepribadian pemakainya, lalu bagaimana dengan
pilihan warna dari sebuah pakaian? Dalam hal warna pakaian ini Rasulullah pemah
menganjurkan umatnya untuk menggunakan baju putih. Perintah itu tertuang dalam
sabdanya:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
: اِلْبَسُوْا ثِيَابِكُمُ
الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ
وَفِى رِوَايَةٍ : فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفَّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ
(رواه ابو داوود والترمذى)
"Dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata:
Rasulullah SAW. Bersabda: Pakailah olehmu pakaian berwarna putih karena
sesungguhnya dia adalah sebaik-baik pakaianmu, dan dalam riwayat lain;
sesungguhnya dia lebih bersih dan lebih baik. Dan kafanilah orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
kain putih.
Perintah
nabi untuk memakai pakaian berwarna putih menurut hemat penulis merupakan suatu
himbauan, dan bukan perintah untuk wajib dilakukan. Hal itu lebih disebabkan
karena wama putih menginspirasikan kebersihan dan kesucian, sehingga pemakainya
pun akan lebih menjaganya dari kotoran, dan demikian pula terhadap hati dan
jiwanya, karena putih simbul kesucian maka dengan mengenakan pakaian berwarna
putih diharapkan pemakainya dapat menjaga dirinya dari setiap yang mengotori
hati dan jiwanya.
Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa nabi pernah memakai baju hijau bahkan juga merah
sebagaimana dikatakan Abu Ramtsah:
عَنْ اَبِى رَمْثَةْ
رِفَاعَةَ التَيْمِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ اَحْضَرَانِ (رواه ابو داوود
والترمذى)
"Dari Abu Ramtsah Rifa’ah at-Taimi
r.a. berkata: Saya melihat Rasulullah SAW. memakai dua baju hijau." (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hadits
lain yang diriwayatkan Bukhari Muslim mengatakan :
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا وَلَقَدْ
رَاَيْتُهُ فِى حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ (متفق عليه)
Dari Barra’ bin ‘Azib r.a.
berkata: Rasulullah SAW. berukuran badan sedang, dan aku telah melihatnya
mengenakan kain merah, sama sekali aku belum pernah melihat orang yang lebih
tampan dari beliau." (HR. Bukhari Muslim)
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa Nabi tidak melarang kaum laki-laki memakai pakaian
warna-warni karena yang paling esensial dari pakaian adalah untuk menutup aurat,
sedangkan persoalan warna hanyalah persoalan selera, yang masing-masing orang
memiliki selera yang tidak selalu sama. Hanya saja nabi lebih menganjurkan
orang untuk mengenakan pakaian putih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Bagaimana
dengan model pakaian Nabi yang merepresentasikan laki-laki? Kesederhanaan Nabi
dalam berpakaian perlu mendapatkan apresiasi kita sebagai umatnya. Dalam hal
pakaian Nabi tersebut Abu Burdah pernah berkata bahwa suatu hari ‘Aisyah
menunjukkan baju tebal yang paling disukai Nabi. Hal itu menunjukkan
kebersahajaan dan kesederhanaan Nabi di dalam berpakaian. Kesederhanaan Nabi
dalam berpakaian itu tergambar dalam hadits ‘Aisyah dari Abu Burdah di bawah
mi:
حَدِيْثُ
عَائِشَةَ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ قَالَ : أَخْرَجَتْ إِلَيْنَا عَائِشَةُ كِسَاءً وَإِزَارًا غَلِيْظًا
فَقَالَتْ : قُبِضَ رُوْحُ النَّبِيِّ فِى هَذَيْنِ (أخرجه البخارى)
"Hadits ‘Aisyah, dari Abu Burdah r.a.
berkata: ‘Aisyah r.a. telah menunjukkan kepada kami baju dan kain yang tebal,
lalu dia berkata: Nabi telah meninggal dunia dengan dua pakaian ini."
(Bukhari Muslim)
Hadits
tersebut di atas mengandung pengertian bahwa; karena cintanya nabi dengan
pakaian tersebut maka beliau meninggal dunia juga sedang dalam keadaan memakai
pakaian tebal yang dikatakannya sebagai sangat sederhana tersebut.
Syari’at
agama memang telah membedakan batasan antara aurat laiki-laki dan perempuan,
dan oleh karena fungsi pakaian sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menutup
aurat, maka secara otomatis cara berpakaian laki-laki dan perempuan juga
berbeda sesuai aurat mana yang wajib untuk ditutupnya.
Namun
demikian terdapat hal penting yang harus diingat, yaitu bahwa: Walaupun Allah
telah memerintahkan kepada para hamba-Nya (kaum perempuan) untuk memanjangkan
pakaiannya, namun panjangnya pakaian sampai menutup seluruh aurat juga bukan jaminan
bahwa cara berpakaian tersebut sudah mendapatkan ridla dari Allah lantaran
memenuhi perintah-Nya. Sebab cara menutup aurat dengan memanjangkan pakaian
yang didasari perasaan ingin menyombongkan diri, merupakan perbuatan yang tidak
disukai Allah, di mana hal demikian disampaikan Nabi SAW. melalui sabdanya:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : لاَ
يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ (أخرجه
البخارى)
"Ibnu Umar r.a. berkata:
Rasulullah SAW. bersabda Allah tidak melihat (dengan rahmat-Nya) orang yang
memanjangkan kainnya sampai di bawah mata kaki karena sombong." (Bukhari
Muslim).
Demikian pula sabdanya dalam Sunan Abu Dawud:
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ
ابْنِ أَبِى رُوَادِ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلإِسْبَالُ فِى اْلإِزَارِ وَالْقَمِيْصِ
وَالْعِمَامَةِ، مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه أبو داوود)
Dari ‘Abdul ‘Aziz bin Abuu
Ruwad, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dan Nabi SAW. bersabda : Hendaknya
dipanjangkan sarung, baju dan surban, barangsiapa memanjangkan sesuatu darinya
karena sombong Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat." (HR.
Abu Dawuud).
Disebutkan pula dalam hadits
yang lain:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
(متفق عليه)
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata:
Rasulullah SAW. bersabda: Pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat orang
yang menurunkan kainnya di bawah mata kaki karena sombong." (HR. Bukhari
Muslim)
Dan beberapa hadits nabi di atas dapat dipahami
bahwa faktor niat yang memotivasi lahirnya suatu perbuatan memegang peranan
penting dalam setiap langkah yang diambil seoraang pelaku, sehingga perbuatan
yang secara lahiriah menjalankan perintah agama seperti berpakaian untuk
menutup aurat misalnya, akan tetapi jika dilakukan dengan niat yang keliru atau
dengan motif-motif tertentu yang menyimpang dan ketentuan Allah -seperti untuk
menyombongkan diri bukan karena patuh dan taat kepada perintah-Nya, maka nilai
amalnya tidak akan sampai kepada Allah dan tidak akan mendapatkan balasan
kebaikan dari-Nya, karena hanya dengan niat yang tulus karena Allah, suatu amal
perbuatan akan memiliki ruhnya dan akan diterimaa sebagai amal shaleh di sisi
Allah. Sebagaimana kata orang bijak:
اَلْعَمَلُ جِسْمٌ رُوْحُهُ
اْلإِخْلاَصُ.
"Perbuatan atau amal lahiriah itu
ibarat jisim atau badan, dan ruh jiwanya adalah ketulusan, sehingga amal tanpa
ketulusan adalah bagaikan jasad tanpa ruh."
Jasad
yang tanpa nih tidak akan bermakna apa-apa bagi pemiliknya, demikian pula amal
yang dilakukan tanpa ketulusan hati semata-mata karena Allah, tidak akan dapat
memberikan banyak manfaat bagi pelakunya, oleh karena nilai kebajikannya tidak
akan sampai kepada Allah.
Bab 13

A. Pengertian Tanggungjawab
Tanggungjawab merupakan suatu kondisi wajib
menanggung segala sesuatu sebagai akibat dan keputusan yang diambil atau
tindakan yang dilakukan (apabila terjadi sesuatu dapat dipersalahkan).
Tanggungjawab menurut hemat penulis juga dapat diartikan sebagai suatu
kesediaan untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya terhadap tugas yang
diamanatkan kepadanya, dengan kesediaan menerima segala konsekuensinya.
Guru atau pendidik sebagai orang tua kedua dan
sekaligus penanggungjawab pendidikan anak didiknya setelah kedua orang tua di
dalam keluarganya merniliki tanggungjawab untuk memberikan pendidikan yang baik
kepada peserta didiknya. Apabila kedua orang tua menjadi penanggungjawab utama
pendidikan anak ketika dia di luar pendidikan formal sekolah, maka guru pendidik
merupakan penanggungjawab utama pendidikan anak melalui proses pendidikan
formal anak yang berlangsung di sekolah, karena tanggungjawab merupakan
konsekuensi logis dan sebuah amanat yang dipikulkan di atas pundak para guru
dan pendidik di lingkungan sekolahnya.
B. Pahala Mengajar Diberikan Semenjak
di dalam Kubur
Mengajar
dan mendidik adalah pekerjaan mulia yang oleh karenanya maka pahala kebaikannya
akan diberikan Allah semenjak yang bersangkutan berada di dalam kuburnya (sebelum
datangnya hari kiamat). Nabi SAW. bersabda:
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَبْعَ يَجْرِى لِلْعَبْدِ
أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْماً، أَوْ أَجْرَى
نَهْراً، أَوْ حَفَرَ بِئْراً، أَوْ غَرَسَ نَخَلاً، أَوْ بَنَى مَسْجِداً، أَوْ وَرَثَ
مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بعد موته (رواه البزان)
"Dari Anas r.a berkata Nabi
SAW. bersabda : Ada tujuh hal yang pahalanya mengalir kepada seorang hamba
semenjak dia di dalam kubur setelah kematiannya. Yaitu orang yang mengajarkan
suatu ilmu, atau mengalirkan sungai (memberikan pengairan), atau menggali
sumur, atau menanam pohon kumna, atau membangun masjid, atau mewariskan mushaf,
atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun kepadanya setelah kematiannya."
Hadits
di atas memberi kita pelajaran bahwa kebaikan yang menyangkut kepentingan orang
lain lebih baik daripada kebaikan individual, artinya kebaikan yang dilakukan
untuk dirinya sendiri. Sebab mengajar, menyalurkan air untuk kepentingan umum,
menanam kurma untuk generasi berikutnya, membangun masjid untuk tempat
peribadatan umum, serta mewariskan al-Qur’an untuk dibaca dan diamalkan banyak
orang, semuanya itu merupakan amal sosial yang kemaslahatannya dapat dinikmati
orang lain.
Ilmu yang bermanfaat dengan cara diajarkan
kepada orang lain juga akan menjadi jariyah (pahala yang terus mengalir) sampai
pelakunya meninggal dunia. Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
Jika seorang manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu:
Sedekah (yang masih mengalirkan manfaat), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh
yang mendoakan kepadanya."
Karena itu sebagai orang yang mengemban amanat
profesi mulia, seorang guru yang adalah pemimpin dan sekaligus pelayan bagi
peserta didiknya itu memiliki kewajiban untuk memimpin dan melayani terhadap
peserta didiknya dengan sebaik-baiknya, karena pada saatnya akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut. Nabi
bersabda:
عَنْ إِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: كُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَاْلإِمَامُ
رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ
زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ
أَبِيْهِ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (حديث صحيح رواه الخكمسة)
"Setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya: Maka
seorang imam adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya,
seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan dia bertanggungjawab
atas kepemimpinannya, perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia
bertanggungjawab atas kepemimpinannya, pembantu adalah pemimpin/ penanggungjawab
terhadap harta tuannya dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang
anak adalah pemimpin terhadap harta ayahnya dan dia bertanggungjawab atas
kepemimpinannya, maka setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu
bertanggungjawab atas kepemimpinannya."
Dan hadits di atas dapat dipahami bahwa
tanggungjawab merupakan kewajiban individu sebagai hamba Allah yang kepadanya
dititipkan amanat untuk menjadi pemimpin atau penguasa, baik pemimpin dirinya
sendiri maupun pemimpin terhadap apa dan siapapun yang menjadi
tanggungjawabnya.
Jika kedua orang tua adalah pendidik
puta-putrinya dalam segala bidang pendidikan yang bersifat non formal, maka
guru/pendidik merupakan pemimpin bagi peserta didiknya dalam hal pendidikan
formal, yang sebagaimana kedua kedua oang tuanya, dia memiliki tanggungjawab
penuh dalam pengembangan potensi atau bakat peserta didiknya, karena
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa semenjak kelahirannya kepada
seorang anak telah diilhamkan dua kecenderungan baik dan buruk atau positif dan
negatif, karena itu menjadi tugas dan kewajiban para orang tua/orang dewasa dan
pendidik untuk mengoptimalkan pengembangan potensi baik anak, serta menghambat
dan menekan berkembangnya potensi buruk dalam diri peserta didik, agar anak
besar dan berkembang dengan potensi baiknya.
Menurut Hurlock sekolah merupakan faktor
penentu bagi perkembangan kepribadian peserta didik baik dan segi cara
kerpikir, bersikap maupun berperilaku, karena di sekolah itulah anak
mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, pengetahuan serta berbagai pengalaman
yang cukup memberi pengaruh terhadap kematangan kepribadannya. Karena itu menurutnya sekolah berperan sebagai subtitusi keluarga dan
guru subtitusi orang tua.
C. Etika Seorang pendidik
Sebagai subtitusi orang tua, guru berkewajiban
membawa peserta didiknya ke arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dan sesuai
dengan apa yang dia lakukan itulah nantinya seorang guru akan mendapatkan
balasannya, karena pada dasarnya setiap individu pada telah tergadai dengan apa
yang diusahakannya. Firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
رَهِيْنَةٌ.
Bahwa setiap jiwa itu telah tergadai (terikat)
dengan apa yang dikerjakannya. Karena itu sudah seharusnya sebagai pemimpin dan
sekaligus pelayan, seorang guru bekerja secara profesional, memberikan
pelayanan yang optimal kepada peserta didiknya, dan bekerja dengan penuh
kesabaran dalam membawa peserta didiknya menuju cita-dta pendidikan. Karena Nabi
memerintahkan kepada para pendidik untuk tidak mempersulit dan membuat mereka
riang. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: عَلَّمُوْا وَيَسَّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشَرُوْا
وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَإِذَا غَضِبَ اَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ (حديث صحيح رواه أحمد
والبخارى)
"Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
Ajarilah olehmu dan mudahkanlah, jangan mempersulit, dan gembirakanlah jangan
membuat mereka lari, dan apabila salah seorang di antara kamu marah maka
diamlah!" (HR. Ahmad dan Bukhari)
Perintah Nabi di atas memberikan pelajaran
kepada para pendidik bahwa di dalam melaksanakan tugas pendidikan para
guru/pendidik dituntut untuk menciptakan suasana yang kondusif dan
menyenangkan, berupaya membuat peserta didik untuk merasa betah dan senang
tinggal di sekolah bersamanya, dan bukan sebaliknya justru memberikan kesan
seram agar para siswa takut dan segan kepadanya, karena sikap demikian justru
akan membuat siswa tidak betah tingal di sekolah dan sekaligus akan sulit untuk
bisa mencintai para guru beserta semua ilmu ataupun pendidikan yang diberikan
kepada mereka.
Dalam hadits yang lain tentang bagaimana guru harus
bersikap dan memperlakukan murid-muridnya, Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: عَلَّمُوْا وَلاَ تُعَنِّفُوْا فَإِنَّ الْمُعَلِّمُ خَيْرً مِنَ
الْمُعَنِّفِ (رواه البيهقى)
"Jangan engkau berlaku kejam bengis, karena sesungguhnya
guru itu lebih baik daripada orang yang bengis." (HR. Baihaqi).
Sebagai pemimpin dan sekaligus pelayan bagi
peserta didiknya, guru yang baik akan berlaku adil dan memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada peserta didiknya, karena di samping sikap yang
demikian akan mengundang simpati dari peserta didik, pemimpin yang adil juga
akan mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari di mana tidak ada
perlindungan selain dari Allah. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَبْعَةُ يُظِلُهُمُ
اللهُ فِيْ ظِلِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ، إِمَامُ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ
فِيْ عِبَادَةِ اللهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ إِذَا خَرَجَ
مِنْهُ حَتَّى يَعُوْدُ إِلَيْهِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَا فِى اللهِ فَاجْتَمَعَا عَلَى
ذَالِكَ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهُ خَالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ،
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةً ذَاتَ مَنْصَبٍ وَجَمَالَ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ
اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى
لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ بِيَمِيْنِهِ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Ada tujuh golongan manusia
yang akan mendapatkan perlindungan Allah pada hari tidak ada perlindungan
selain dari perlindungan-Nya. Mereka itu adalah: Pemimpin yang adil. Pemuda
yang giat beribadah kepada Allah, orang yang jika keluar dart masjid hatinya
masih tergantung padanya sampai dia kembali lagi ke masjid, dua orang yang
saling mengasihi karena Allah, sehingga keduanya berkumpul karena Allah dan
berpisah juga karena Allah, seorang yang mengingat Allah dalam kesunyian sampai
berlinang airmata, orang yang diajak berbuat dosa oleh perempuan bangsawan
cantik maka dia mengatakan: Sesungguhnya aku takut kepada Allah semesta alam,
dan orang yang bersedekah dengan suatu pemberian, maka dia menyembunyikannya
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan
kanannya."
Tujuh orang sebagaimana tersebut di atas
termasuk di dalamnya adalah imam yang dapat dikonotasikan dengan pendidik,
karena pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap jalannya proses
pendidikan dan oleh karenanya pertangungjawaban itu nantinya akan dipertanyakan
di hadapan pengadilan Allah pada hari perhitungan. Oleh karena itu seorang
pendidik yang bersikap adil dan bijaksana di dalam rnengasuh, membimbing dan
mengelola peserta didiknya sebagaimana juga diungkapkan Nabi tentang seorang
pemimpin yang adil, tentu bagi mereka layak untuk mendapatkan perlindungan
Allah di hari kiamat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk
mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari kiamat di mana tidak ada
perlindungan selain dari perlindungan-Nya, maka seorang pemimpin sebagaimana
pula pendidik dituntut untuk berlaku adil terhadap siapapun yang berada dalam
wilayah kepemimpinannya.
Bab 14

A. Pengertian Infak
Infak berasal dan kata bahasa Arab نفق yang bersinonim
dengan صرف kemudian dibentuk dengan wazan afala
merupakan bentuk dan wazan fi’il muta’addi yang memiliki pengertian
mengeluarkan atau membelanjakan. Maksudnya adalah أَنْفَقَ
مَالَهُ فِى سَبِيْلِ اللهِ (membelanjakan hartanya di jalan Allah). Infak juga bisa disinonimkan dengan sedekah, artinya mendermakan
sebagian harta kepada orang lain yang memerlukan semata-mata karena Allah.
Harta
adalah amanah yang dititipkan Allah kepada hambanya dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana telah ditetapkan dalam al-Qur’an, bahwa dalam harta orang kaya
terdapat sebagiannya milik fakir miskin. Karena itu mengeluarkan hak fakir miskin
adalah menjadi kewajiban orang yang diamanati banyak harta oleh Allah. Allah
berfirman:
وَفِى اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُوْمٌ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ.
"Dalam harta mereka (orang-orang
faqwa) itu ada hak bagi orang miskin, baik yang meminta man pun yang tidak
meminta."
Hak orang miskin itu menjadi kewajiban bagi
orang kaya untuk memberikannya, dengan kata lain sebagian harta wang kaya
terdapat di dalamnya milik orang miskin yang harus di keluarkan, baik diminta
ataupun tidak diminta.
B. Sedekah Dapat Menutup Pintu
Kejahatan
Menyedekahkan
sebagian harta kepada orang miskin dapat menutup pintu-pintu kejahatan. Nabi
bersabda:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اَلصَّدَقَةُ تَسُدُّ سَبْعِيْنَ بَابًا
مِنَ السُّوْءِ (رواه الطبرانى)
"Dari Rafi’ bin Khadiij berkata
Rasulullah SAW. bersabda : Sedekah itu dapat menutup tujuh puluh pintu
kejahatan."
Dalam riwayat lain dikatakan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مَيْتَةَ السُّوْءِ.
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah SAW. bersabda : Sedekah
ini dapat menghalangi dan kematian yang jelek."
Orang
yang banyak sedekah akan terhindar dan memasuki pintu-pintu kejahatan, karena
70 pintu kejahatan akan ditutup dengan sedekahnya, dan dia juga akan terhindar
dan kematian yang jahat, maksudnya bahwa dia akan meninggal dengan husnul
khatimah.
Namun
demikian terdapat kriteria terhadap nilai, kemaslahatan, dan keutamaan suatu
sedekah. Ada sedekah yang dapat mendatangkan kebaikan yang sempurna dan ada
pula yang tidak.
Hal itu
dikarenakan, adakalanya orang memberikan sesuatu setelah dirinya merasa tidak
lagi membutuhkannya, dengan kata lain barang yang disedekahkan itu barang yang
sudah tidak disukainya lagi, dan sedekah yang demikian tidak dicatat sebagai
amal kebajikan yang sempurna di sisi Allah.
C. Infak Yang Utama
Infak yang
dapat mendatangkan kebajikan yang sempuma bagi pelakunya adalah infak terhadap
sesuatu yang dicintai, bukan infaq sesuatu yang sudah tidak disukai dan
dibutuhkan lagi. Allah berfirman :
لَنْ تَنَالُوْا حَتَّى تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ.
"Sekali-kali kamu tidak akan
mendaptkan kebajikan yang sempuma sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai." (QS. Ali Imran : 92)
Harta adalah ujian dan melalui harta itu
manusia diuji ketaatannya kepada Allah, adakah mereka mencintai Allah di atas
segalanya ataukah harta mereka telah membuatnya melupakan
segalanya. Karena itu dalam ayat yang lain Allah memerintahkan kepada
orang-orang mukmin untuk menafkahkan sebagian harta yang mereka baik-baik yang
mereka senangi. Firman Allah:
يَآ
اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ
مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوْا
الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوْا
فِيْهِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ.
"Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
sebagian yang baik-baik dan apa-apa yang kamu usahakan dan apa-apa yang Kami
tumbuhkan dan bumi untukmu, dan janganlah kamu sengaja menafkahkan yang jelek
yang kamu tidak suka untuk mengambilnya kecuali dengan memejamkan mata, dan
ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Mahaa Terpuji." (QS.
Al-Baqarah : 267)
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya yang
beriman untuk membelanjakan sebagian harta amanat dari-Nya yang disukai, karena
menginfakkan sebagian dan barang yang disukai merupakan bentuk dan ketaatan
seorang mukmin terhadap Allah sebagai Tuhan dan Penciptanya.
Dalam
kaitannya dengan infaq harta yang disukai ini, diriwayatkan bahwa setelah
mendengar firman Allah tentang infaq yang mendatangkan kebajikan yang sempurna
itu suatu hari seorang anshar terkaya di Madinah bernama Abu Thalhah
menginfakkan kebun yang paling dicintainya bernama kebun Bairuha’.
Kisah
tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam hadits Nabi SAW. di
bawah ini :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَكْثَرَ اْلأَنْصَارِ بِالْمَدِيْنَةِ مَالاً مِنْ نَخْلٍ، وَكَانَ أَحَبَّ أَمْوَالِهِ
إِلَيْهِ بَيْرَحَاءَ، وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيْهَا
طَيِّبٍ. قَالَ أَنَسٌ : فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآَيَةُ : "لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ"، قَامَ أَبُوْ طَلْحَةَ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ :"لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ"، وَإِنَّ أَحَبَّ مَالِيْ إِلَيَّ بَيْرَحاَءَ،
وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ ِللهِ تَعَالَى أَرْجُوْ بِرِّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللهِ تَعَالَى،
فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، وَقَدْ
سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّيْ أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى اْلأَقْرَبِيْنَ. فَقَالَ
أَبُوْ طَلْحَةَ : أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَسَّمَهَا أَبُوْ طَلْحَةَ فِيْ
أَقَارِبِهِ، وَبَنِيْ عَمِّهِ. (متفق عليه)
"Dan Anas r.a.berkata: Abu Thalhah ra.
adalah orang anshar yang paling kaya di Madinah lantaran banyak kebun kurmanya,
dan kebun kurma yang paling disukainya adalah Bairaha’, yang terletak
berhadapan dengan masjid, dan Rasul SAW. sering masuk dan minum air bersih yang
ada di dalamnya. Anas berkata: ketika turun ayat: لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا
تُحِبُّونَ Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW. dan berkata: Wahai Rasulullah!
sesungguhnya Allah berfirman: لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ dan harta yang
paling aku sukai adalah kebun Bairaha’, maka sesungguhnya kebun itu aku
sedekahkan karena Allah Ta’ala dengan harapan dapat men jadi kebajikan dan
simpanan di sisi-Nya, maka pergunakanlah wahai Rasulullah sesual petunjuk Allah
kapadamu.
Maka Rasulullah SAW. bersabda:
Bagus, itulah harta yang beruntung, itulah harta beruntung, dan aku telah
mendengar apa yang engkau katakan, karena itu aku berpendapat agar engkau
membaginya kepada sanak kera bat. Maka Abu Thalhah berkata: Saya akan
laksanakan wahai Rasulallah, maka Abu Thalhah membaginya kepada sanak kerabat
dan anak-anak pamannya. (HR. Bukhari Muslim)
Memberikan sesuatu yang dicinta adalah pengorbanan
yang paling berat, karena kecenderungan manusia adalah selalu dekat, tetap
memiliki dan tidak mau kehilangan apa yang dicintainya. Sementara itu kebajikan
dari Allah hanya akan diperuntukkan bagi orang-orang yang mau mengorbankan
sebagian yang dicintainya untuk orang lain yang memerlukannya.
Terkait dengan hal-hal sebagaimana
tersebut di atas, Kuntowijoyo Intelektul muslim yang sejarahwan itu telah
menawarkar metode-metode reinterpretasi dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an
sebagai landasan dasar dan ajaran Islam, dengan mengubah pemahaman general
normatif menjadi pemahaman yang spesifik dan empiris. Seperti
ayat yang mengecam bentuk sirkulasi ekonomi, di mana kekayaan hanya beredar di
kalangan orang-orang kaya saja, sebagaimana tersebut dalam ayat:
آَمِنُوْا بِاللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَأَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ
فِيهِ
فَالَّذِيْنَ آَمَنُوْا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوْا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيْرٌ.
"Berimanlah kamu sekalian
kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkan sebagian harta, yang kamu dijadikan
Allah penguasa pada harta itu. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian hartanya), untuk mereka itu pahala yang besar." (QS.
Al-Hadid : 57)
Manusia memang diberi hak oleh Allah untuk
menguasai harta, akan tetapi sikap monopoli adalah sifat yang dikecam oleh
Islam. Oleh karena itu agar harta memiliki efek yang
aktual maka larangan yang bersifat general dan normatif itu harus dipahami
dalam pengertian yan spesifik dan empiris. Itu artinya bahwa ayat tersebut harus
diterjemahkan secara historis dengan melihat, memperhatikan dan
mempertimbangkan fenomena kontemporer tentang sistem ekonomi dan politik.
Perlu
diingat bahwa walaupun penerjemahan tersebut lebih bersifat struktural daripada
individual, namun bukan berarti bahwa pengaruhnya terhadap individu menjadi
tidak ada atau tereduksi, sebab dalam konteks ini ia akan berfungsi sebagai
kontrol dari dalam yang bersifat ideologis. Sebab jika tidak ada kontrol dari
dalam diri manusia sendiri, maka kesempatan untuk menumbuh kembangkan nafsu
keserakahan manusia akan semakin terbuka lebar, karena mentalitas manusia
seseorang akan sangat ditentukan oleh ideologinya.
Mencintai
harta dunia tidak dapat dipungkiri merupakan sifat dasar manusia, akan tetapi
Islam telah memberikan rambu-rambu agar manusia tidak terjerumus ke dalam
lembah kenistaan lantaran hartanya. Karena orang yang senantiasa
menumpuk-numpuk dan menghitung-hitung dengan tanpa mengeluarkan sebagiannya yang
menjadi hak fakir miskin yang terdapat di dalamnya, karena itu sedekah yang
utama, maka sesungguhnya api neraka sedang menunggunya.
Oleh
karena itu ketika seorang sahabat bertanya tentang sedekah yang utama, Nabi menganjurkan
agar sedekah itu dilakukan ketika masih sehat dan kaya. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ
حَرِيْصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى
الْفَقِيْرُ وَلاَ تَمَهَّلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمِ.
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata seorang
laki-laki datang kepada Nabi SAW. dan berkata; Ya Rasulullah sedekah mana yang
paling utama? Nabi bersabda; Hendaknya engkau sedekah ketika engkau masih
sehat, masih berharap dan bermimpi kaya serta takut miskin, dan jangan menunda
sampai ruh sudah berada di tenggorokan (hampir keluar)." (Jawahirul
Bukhari : 309)
Di atas sudah disinggung bahwa tidak akan
mendapatkan kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan apa-apa yang kamu
suka. Terkait dengan hadits di atas bahwa orang yang sudah
mendekati ajalnya tentu tidak lagi membutuhkan dan mencintai hartanya, maka
sedekah orang yang demikian sama dengan menyedekahkan sesuatu yang sudah tidak
dibutuhkan, dan tentu memiliki nilai yang berbeda dengan sedekah ketika orang
masih sangat membutuhkan dan menyukainya. Karena itu, Nabi berpesan agar mengeluarkan
sedekah selagi masih sehat dan menyintai harta,
Bab 15

A. Nafsu Mengajak kepada Kejahatan
Berbeda
dengan malaikat, manusia manusia merupakan makhluk yang dikaruniai Allah nafsu
di samping akal sehatnya, sedangkan nafsu itu senantiasa mengajaknya kepada
kejahatan.
Firman Allah:
Firman Allah:
وَمَا أُبَرِّئُ
نَفْسِى إِنَّ النَّفْسَ َلاَمَارَةٌ بِالسُّوْءِ.
"Aku (Muhammad) tidak melepaskan hawa
nafsuku karena nafsu itu senantiasa menyuruh untuk melakukan kejahatan." (QS.
Yusuf : 53)
Karena nafsu itu diberikan Allah kepada manusia
dan dia selalu mengajaknya untuk melakukan kejahatan, maka Allah menunjukkan
cara-cara bagaimana mengekang hawa nafsu agar tidak menjadi liar seperti nafsu
binatang.
Manusia dikaruniai Allah berbagai macam petunjuk
agar dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan kehendak-Nya. Di antara petunjuk itu adalah, hati nurani, akal sehat dan agama. Hati
nurani manusia akan selalu mengatakan akan mengajak kepada yang benar, karena
pada hakekatnya suara hati manusia itu bersifat universal dengan suatu syarat
apabila manusia sehat telah mencapai titik fithrah dan terbebas dan segala
belenggu dan paradigma.
Maka
ketika manusia mampu mendengarkan dan kemudian mengikuti suara hati nuraninya
dia akan terselamatkan dan panggilan dan ajakan hawa nafsunya untuk melakukan
perbuatan jahat, temasuk di dalamnya mengikuti nafsu amarah. Marah merupakan
pekerti negatif yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya.
B. Orang Takwa Dapat Mengendalikan
Amarali
Marah
adalah perbuatan syetan, karena marah adalah perbuatan jahat dan tidak terpuji,
dan syetan selalu mengajak kepada kejahatan itu. Akan tetapi orang-orang yang
bertakwa diberikan kekuatan oleh Allah untuk dapat mengendalikan amarahnya,
sebagaimana firman Allah:
وَسَارِعُوْا إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ* الَّذِيْنَ يُنْفِقُونَ
فِى السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ*
"Bersegeralah kamu menuju ampunan
Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi disediakan untuk
orang-arang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang membelanjakan hartanya dalam
keadaan senang dan susah, orang-orang yang dapat menahan amarah, dan
orang-orang yang memberikan maaf kepada manusia, Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran : 133-134)
Menyembunyikan
kemarahan dan memberi maaf adalah dua pekerti mulia yang sering tidak mudah
untuk dilakukan, kecuali oleh orang-orang takwa yang senantiasa mendapat
petunjuk dan bimbingan dari Tuhannya.
Jika
menyembunyikan atau menahan kemarahan dan memberi maaf atas kesalahan orang
lain merupakan pekerti mulia, maka perbuatan marah merupakan tindakan tidak
terpuji, karena dia dilakukan di luar kontrol akal sehat yang menjadi petunjuk
bagi manusia untuk memilah dan memilih setiap langkah yang akan ditempuh dan
setiap tindakan yang akan dilakukan.
Karena
itu ketika Nabi dimintai fatwa oleh seorang sahabat maka Nabi berpesan “Jangan
marah” sampai berkali-kali. Selengkapnya pesan itu adalah:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصَنِى. قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مَرَارًا
قَالَ لاَ تَغْضَبْ.
"Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya
seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW.; Berilah saya pesan, Nabi bersabda;
Jangan marah! Maka diulang berkali-kali, Jangan marah." (Jawahirul Bukhari
: 448)
Dalam
haditsnya yang lain Nabi mengatakan:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِى يَمْلِكُ
نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
"Dan Abu Hurainah ra. berkata:
Rasulullah SAW. bersabda: Orang kuat itu bukan arang yang kuat bengulat, akan
tetapi orang kuat adalah orang yang kuat inenahan amarah."
Dari dua hadits di atas jelas bahwa Nabi mengecam
perbuatan “marah”, karena marah adalah perbuatan syetan, dan orang marah
sesungguhnya orang yang sedang tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan
kestabilan jiwanya, sehingga semakin kuat tenaga dia keluarkan untuk
melampiaskan kemarahannya sesungguhnya semakin menunjukkan kelemahan jiwanya.
Karena
marah adalah perbuatan tercela, maka dalam sebuah khutbah yang dimuat dalam
Musnad Tirmidzi Nabi SAW. pernah mengatakan bahwa: Sebaik-baik orang adalah
yang tidak cepat marah dan cepat rela (memberi maaf), dan sejahat-jahat orang
adalah yang cepat marah dan tidak cepat rela (sulit untuk memberi maaf).
Kemarahan
merupakan perbuatan tercela yang selalu berakhir dengan penyesalan, sebagaimana
pepatah Arab mengatakan bahwa:
أَوَّلُ الْغَضَبِ جُنُوْنٌ وَآخِرُهُ
نَدَامٌ.
"Awal dan kemarahan itu gila dan
akhirnya adalah penyesalan."
C. Beberapa Cara Meredam Kemarahan
Dalam kondisi kejiwaan yang sedang tidak terkontrol orang yang sedang
marah biasanya melontarkan kata-kata kotor yang seyogyanya tidak perlu
diucapkan. Karana itu untuk meredam kemarahan serta menghindari terucapnya
kata-kata kotor yang bisa jadi menyinggung pihak lawan, yang bisa berakibat
terjadinya pertengkaran, maka Nabi SAW. mengajarkan kepada umatnya agar jika
seorang sedang marah maka hendaknya dia diam. Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَسْكُتْ (حديث حسن رواه أحمد)
"Dari Ibnu Abbas r.a. berkata:
Rasulullah SAW. bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu sekalian marah,
maka hendaklah diam." (HR. Ahmad)
Diam merupakan cara ampuh untuk meredam kemarahan,
dengan diam orang memiliki peluang untuk merenung dengan menggunakan akal
sehatnya, karena orang marah dia sedang mengikuti panggilan hawa nafsunya dan
mengesampingkan panggilan akal sehatnya. Di samping itu mengapa Nabi memerintahkan
diam kepada orang yang sedang marah, karena lisan adalah sesuatu yang kecil
tetapi dapat mendatangkan bahaya yang besar, sehingga jika orang sedang marah
maka lisan menjadi lepas kontrol dan kata-kata apa saja bisa keluar dari
lisannya. Padahal orang bisa mati karena tergelincir
lisannya, sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
يَمُوْتُ
الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةٍ بِلِسَانِهِ #
وَلَيْسَ يَمُوْتُ الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةِ الرَّجُلِ.
"Seseorang bisa mati karena
tergelincir lisannya #
Dan tidaklah orang
meninggal karena tergelincir kakinya."
Tidak sedikit peristiwa pertumpahan darah yang
diawali dengan penggunaan lisan yang tidak terkontrol yang membuat orang lain
tersinggung dan mengakibatkan pertikaian. Karena itu
tepatlah jika Nabi menganjurkan diam kepada orang yang sedang marah. Namun jika
diam belum bisa meredam kemarahan seseorang, bahkan bisa jadi melampiaskan kemarahannya
dengan kekuatan tangan atau kakinya, sehingga apa yang ada di depannya bisa
melayang, maka Nabi SAW. memberikan cara lain untuk meredam kemarahan tersebut
melalui sabdanya:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ
فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ.
"Dan Abu Dzar r.a. berkata: Rasulullah
SAW. bersabda: Jika seseorang di antara kamu marah, maka duduklah jika itu
menghapuskan kemarahan, dan jika tidak, maka berbaringlah. (HR. Ahmad, Abu
Dawuud dan Ibnu Hibban)
Dalam hadits di atas seolah tidak terdapat
korelasi antara marah, berdiri, duduk, dan terbaring, akan tetapi jika
dicermati sabda Nabi tersebut sangatlah masuk di akal, karena ketika orang
dalam posisi berdiri maka kekuatannya akan menjadi optimal sehingga memberi
peluang untuk memperparah kemarahannya, akan tetapi dengan duduk kemampuan
berbuat menjadi lebih terbatas sehingga diharapkan dapat meredam kemarahan, dan
jika dengan duduk pun marah belum reda maka dengan terbaring keleluasaan untuk
melakukan sesuatu menjadi semakin terbatas, sehingga nafsu amarah pun akan
menjadi semakin terkekang.
Marah
adalah perbuatan yang lahir dan campur tangan syetan, dan syetan itu tercipta
dan api, sedangkan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Karena itu Nabi SAW.
memberikan cara lain untuk meredam kemarahan yakni dengan berwudlu. Nabi
bersabda:
عَنْ
عَطِيَّةَ اَلْعُوْفِى رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ
وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا
تُطْفِئُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غُضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأَ.
"Dari Athiyah al-Ufi ra., dari Nabi SAW.
Bersabda : Sesungguhnya marah itu dari syetan, dan sesungguhnya syetan itu
diciptakan dan api, dan api itu hanya dapat dipadamkan dengan air, maka jika
salah seorang di antara kamu marah berwudlulah!" (HR. Ahmad dan Abu Dawuud)
Marah
adalah perbuatan syetan, karena itu tidak ada sesuatupun yang dapat dipetik
manfaatnya dan perbuatan marah, dan oleh karena marah hanya akan melahirkan
kerugian baik bagi pelakunya maupun bagi pihak lain, maka dalam sebuah sabdanya
Nabi pernah berpesan kepada umatnya dengan mengatakan: jangan marah, jangan
marah, jangan marah! sampai tiga kali.
Karena
itu beberapa kiat untuk meredam dan mengatasi kemarahan telah diajarkan Nabi,
dan jika dicermati perintah Nabi untuk berwudlu bagi orang yang sedang marah
itu adalah sangat fantastis dan filosofis. Sebab sebenarnya masalahnya bukan
sesederhana itu, akan tetapi yang terjadi sebenarnya, ketika orang yang sedang
marah mau pergi untuk mengambil air wudlu dan kemudian berwudlu, maka secara
psikologis sesungguhnya dia sedang memproses kembalinya kesadaran diri, sebab
orang marah itu kesadarannya terlepas dan kendali, sehingga apa yang
dilakukannya jauh dan pertimbangan akal sehat dan perhitungan untung rugi. Karena
itu mengatasi kemarahan dengan berwudlu barangkali merupakan kiat yang paling
efektif sebab berwudlu juga memiliki arti mensucikan diri, sehingga di samping
air wudlu konon dapat memadamkan api yang merupakan bahan baku syetan, air juga
merupakan salah satu sarana bersuci, dan kesucian manusia secara lahiriah
diharapkan mampu mempengaruhi dan menembus kesucian bathiniyahnya.
Bab 16

A. Makna dan Tujuan Pernikahan
Pernikahan
merupakan suatu ikatan perjanjian antara dua insan laki-laki dan perempuan
dengan syarat-syarat adanya ijab kabul, dua saksi, mahar dan wali nikah.
Menikah merupakan perintah agama dan sunnah Rasul yang patut untuk dipatuhi dan
diteladani, karena sangat banyak hikmah dan manfaat yang dapat dipetik dan
sebuah pernikahan. Manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan agar dengan itu
manusia dapat saling menyayangi, saling menerima dan memberi antara satu dengan
yang lainnya, untuk memperoleh ketenteraman jiwa dalam rangka menunjang penghambaan
kepada Allah. Allah berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِيْ ذَلِكَ َلآَيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
"Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya bahwa
Dia menciptakan jodoh untukmu dan dirimu agar supaya kamu bersenang-senang kepadanya,
dan Dia menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang, Sungguh pada yang
demikian itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir." (Ar-Ruum :
21)
Jika pernikahan dilaksanakan atas dasar mengikuti
perintah agama dan mengikuti sunnah Rasul maka sakinah mawaddah dan rahmah yang
telah Allah ciptakan untuk manusia dapat dinikmati oleh sepasang suami istri.
Melaksanakan
pernikahan adalah melaksanakan perintah agama dan sekaligus mengikuti jejak dan
sunnah para rasul Allah. Karena itu jika seseorang sudah mencukupi persyaratan
untuk menikah maka dia diperintahkan untuk melaksanakannya, karena dengan
menikah hidupnya akan menjadi lebih sempurna. Perintah itu disampaikan Nabi
melalui sabdanya :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجَ؛ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a berkata Rasulullah SAW. bersabda
: Wahai para pemuda, barangsiapa telah sanggup memikul beban perkawinan, maka hendaklah
kawin, dan siapa yang belum sanggup maka hendaknya benpuasa, sesungguhnya hal
itu untuk menahan syahwat dan dosa." (HR. Bukhari Muslim)
Dalam riwayat lain dikatakan:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجَ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
"Wahai para pemuda, barang siapa telah sanggup memikul
beban perkawinan, maka hendaklah kawin, maka sesungguhnya itu dapat menundukkan
pandangan dan menjaga faraj." (HR. Bukhari Muslim)
Dan hadits di atas dapat dipahami bahwa
pemikahan dapat menekan dan mengurangi terjadinya perbuatan dosa lantaran
gejolak nafsu syahwat yang menggeloran dalam diri seorang pemuda, karena itu Nabi
menganjurkan untuk berpuasa sebagai solusi sementara untuk mengatasinya. Puasa
merupakan solusi darurat untuk meredam nafsu syahwat bagi orang yang belum
memiliki kemampuan atau belum memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
pemikahan. Namun demikian Nabi tetap menekankan pernikahan dengan mengatakan
bahwa: Nikah itu sunnahku dan barang siapa benci (tidak suka) terhadap sunnahku
maka dia tidak termasuk golonganku. Ancaman nabi tersebut menunjukkan bahwa
betapa pernikahan merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan tentang tiga
orang yang datang kepada istri Nabi untuk menanyakan tentang ibadah Nabi, dan
setelah dijelaskan panjang lebar mereka bertanyatanya lalu di mana posisi kita ini
dan nabi yang telah diampuni semua dosa-dosanya? Maka
berkatalah salah seorang di antara mereka: Adapun saya maka saya selamanya
shalat malam, dan yang lain berkata, saya puasa sepanjang tahun, dan tidak
berbuka, dan yang lain lagi berkata, saya menjauhi perempuan, maka saya tidak
menikah selamanya.
Di
tengah-tengah pembicaraan itu tiba-tiba Nabi datang dan bersabda: Kalian berkata
ini dan itu, sedangkan aku demi Allah aku lebih takut kepada Allah daripada
kamu, tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku juga tidur, dan
aku juga menikahi perempuan, maka barang siapa benci terhadap sunnahku dia bukanlah
termasuk golonganku.
Jika dicermati kisah di atas dapat ditarik
suatu kongklusi bahwa orang yang menjauhi perempuan dan tidak mau menikah
karena alasan yang tidak jelas, walaupun dia ahli shalat malam ataupun ahli
puasa, maka Nabi memberikan kesan tidak menyukainya, karena di akhir perkataannya
Nabi mengatakan bahwa orang yang tidak mau menikah artinya tidak mengikuti
sunnahnya dan bukan termasuk dari golongannya.
B. Kriteria Calon Pasangan Hidup
Adalah
menjadi naluri setiap manusia mencintai keindahan, karena Allah indah dan Dia
mencintai setiap yang indah. Namun demikian dalam masalah perjodohan keindahan
wajah tidak seharusnya menjadi prioritas utama di dalam menentukan calon
pasangan hidup karena keindahan yang satu ini tidak abadi dan akan sirna
bersama berlalunya waktu. Sementara pernikahan seharusnya memiliki dua tujuan.
Yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari
sebuah pernikahan adalah kesejahteraan dan kebahagiaan dunia, dan tujuan jangka
panjangnya adalah kebahagiaan abadi setelah mati. Karena itu sangatlah tepat
jika Nabi menganjurkan agar agama menjadi prioritas utama di dalam menentukan
pilihan calon pasangan. Nabi pernah mengatakan bahwa sebaik-baik perhiasan
dunia adalah wanita shaleh, dan kesalehan adalah menyangkut faktor keberagamaan
seseorang. Akan tetapi jika keempatnya itu ada dalam did seseorang maka
barangkali itulah surga dunia.
Nabi
bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا:
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. : Perempuan itu dinikah karena
empat hal. Karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya, maka pilihlah karena agamanya niscaya engkau selamat."
Melalui sabdanya di atas Nabi menganjurkan agar
di dalam memilih calon pasangan hidup seseorang mengutamakan masalah agama,
karena jika tidak maka harta, nasab dan kecantikan yang tidak dimanage dan
dikelola dengan agama yang benar justru akan mendatangkan malapetaka bagi
keutuhan rumah tangga.
Menikah berarti menyatukan dua hati manusia
yang memiliki karakternya masing-masing, yang belum tenth satu sama lain
sejalan dan seirama, oleh karena itu persiapan dan kematangan jiwa perlu
menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang mau melaksanakannya. Toleransi,
kesetiaan, kesediaan untuk mengerti dan memahami pasangannya seperti adanya,
serta kesediaan untuk berkorban terhadap pasangannya, semuanya menjadi
prasyarat bagi terwujudnya kehidupan yang sakinah mawaddah dan penuh rahmah.
C. Suami Istri Saling Memiliki Hak dan Kewajiban
Sepasang
suami istri keduanya saling memiliki hak dan kewajiban yang harus diterima dan
ditunaikan. Suami memiki kewajiban memberi nafkah serta mempergauli istri
secara ma’ruf. Nabi bersabda:
عَنْ عَلِىِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ، مَا أَكْرَمَ
النِّسَاءَ
إِلاَّ كَرِيْمٌ وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَِيْمٌ (رواه إبن عساكر)
"Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah SAW.
bersabda: Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku (Nabi)
baik terhadap keluargaku. Tidak akan memuliakan perempuan kecuali orang yang
mulia dan tidak akan menghinakan perempuan kecuali orang yang hina. (HR. Ibnu
Asakir)
Dalam
hadits lain Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِلنِّسَاءِ (رواه الحاكم)
"Sebaik-baik kamu adalah yang baik
terhadap perempuan. (HR. Al Hakim)
Dalam
dua hadits di atas Nabi secara jelas menganjurkan kepada kaum laki-laki untuk
mempergauli secara ma’ruf terhadap kaum perempuan yang secara lebih spesifik
dapat dipahami “para istri” di dalam rumah tangga, sebagaimana dicontohkan Nabi.
Secara tegas Nabi mengatakan bahwa hanya orang mulia yang bisa
memuliakan/menghormati perempuan, dan hanya orang hina yang
menghinakan/merendahkan kaum perempuan.
Istri
memiliki kewajiban tunduk dan patuh terhadap perintah suami (selama bukan
perintah untuk bermaksiat). Nabi bersabda:
عَنِ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: لَوْ
كُنْتُ آَمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةُ أَنْ
تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا (حديث صحيح رواه أحمد والترمذى)
"Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
Seandainya aku diperintahkan untuk menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang
niscaya aku perintahkan kepada perempuan untuk bersujud kepada suaminya."
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dalam
riwayat lain dikatakan:
عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ
رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: لَوْ كُنْتُ آَمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ ِلأَزْوَاجِهِنَّ
لِمَا جَعَلَ اللهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ (حديث
صحيح رواه ابو داوود والحاكم)
"Dari Qais bin Sa’ad r.a. berkata: Rasulullah SAW.bersabda :
Seandainya aku diperintahkan untuk menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang
niscaya aku perintahkan kepada para perempuan untuk bersujud kepada para suami
mereka karena Allah telah menjadikan ada hak kaum laki-laki pada kaum perempuan.
(HR. Abu Dawuud dan Hakim)
Kata “seandainya” dalam hadits di atas
merupakan kata pengandaian yang tentu tidak riel, karena dalam realitasnya Nabi
tidak pernah diperintahkan untuk menyuruh manusia sujud kepada manusia, karena
manusia hanya berkewajiban untuk sujud kepada Allah, Tuhan semesta alam. Karena itu menurut hemat penulis hadits tersebut tidak perlu
diperdebatkan karena hanya sebuah pengandaian. Hanya saja hadits tersebut
mengandung pesan sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perempuan/istri
memiliki kewajiban-kewajiban terhadap suami yang hadits ditunaikan, selagi
suami juga memenuhi kewajibannya terhadap istri dan suami berada di jalan yang
benar.
Demikian
kompleksnya permasalahan rumah tangga sehingga Nabi pernah mengatakan bahwa
menikah itu menyempurnakan separuh dari agama. Hal itu dapat dipahami karena
melalui pernikahan banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at agama
yang ketika sendiri orang belum bisa melaksanakan, tetapi melalui pernikahan di
dapat melakukannya.
Islam
memberi batasan-batasan syar’i di dalam memilih pasangan hidup. Allah
mengingatkan kepada orang-orang beriman agar kaum laki-laki tidak menikahi
perempuan musyrik sebelum dia beriman, dan orang tua tidak menikahkan putrinya
dengan laki-laki musyrik sebelum dia beriman. Firman Allah:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وََلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ
مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ
آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ.
"Janganlah kamu nikahi perempuan-peremuan musyrik sampai
dia beriman. Sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada
perempuan yang musyrik walaupun dia mengagumkan kamu dan janganlah kamu
nikahkan (perempuan-perempuan muslim) dengan laki-laki musyrik sehingga mereka
beriman, dan adalah hamba sahaya yang beriman lebik baik daripada laki-laki
musyrik walaupun dia mengagumkan kamu. Mereka itu menyeru ke dalam neraka dan
Allah menyeru ke surga dan ampunan dengan ijin-Nya. Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya
untuk manusia semoga mereka menerima peringatan.' (QS. Al-Baqarah : 221)
Musyrikun
adalah orang-orang yang menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya, karena
sebenarnya dia menduakan atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain.
Orang-orang yang tidak beriman Tuhan mereka adalah thaghut yang menjerumuskan
manusia dan mengajaknya untuk bersama-sama kelak di akhirat di dalam neraka,
karena surga Allah hanya disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang di dalam hatinya
ada iman. Sementara Allah menunjukkan jalan-Nya yang lurus yang mengantarkan
manusia sampai ke dalam surgan-Nya.
Dalam Islam
pemikahan bukan sekedar untuk menuruti kehendak nafsu belaka, akan tetapi harus
memiliki nilai ibadah kepada Allah, karena menurut Islam menjalankan perintah
agama dengan penuh ketulusan hati dan dengan niat mengharap ridla-Nya adalah
sebuah bentuk peribadatan.
Karena
itu mengutamakan agama di dalam memilih calon pasangan hidup merupakan langkah
tepat bagi orang yang menginginkan rumah tangga yang dibangunnya penuh dengan
kedamaian, kasih sayang dan limpahan rahmat.
Bab 17

A. Definisi Ilmu
Ilmu
menurut etimologi berasal dari kata bahasa Arab عَلِمَ artinya mengetahui. Sedangkan
pengertiannya menurut istilah:
اَلْعِلْمُ صِفَةٌ
يَنْكَشِفُ بِهَا الْمَطْلُوْبْ اِنْكِشَافًا تَامًا.
Ilmu
adalah suatu sifat yang dengan sifat tersebut sesuatu yang dituntut bisa
terungkap dengan sempurna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan
sarana untuk mengungkap, mengatasi, menyelesalkan dan menjawab persoalan yang
sedang dihadapi dalam hidup dan kehidupan manusia.
Ilmu dapat membedakan nilai manusia di hadapan
Allah. Firman-Nya:
أَمَّنْ هُوَ
قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ اْلآَخِرَةَ وَيَرْجُوْا
رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى
الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا
اْلأَلْبَابِ.
"Adakah orang yang patuh pada waktu malam dengan sujud dan
berdiri, takut dengan siksa akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya -sama
dengan orang yang durhaka - Katakanlah
(Muhammad) adakah sama arang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak
berilmu? (tentu
tidak). Hanya orang-orang berakal yang dapat menerima peringatan." (QS. : 9)
Ayat di
atas menjelaskan betapa Allah telah membedakan antara orang-orang yang berilmu
dan orang-orang yang tidak berilmu, karena dengan ilmunya orang akan dapat memikirkan semesta dengan segala
ke-Mahakuasaan Penciptanya. ilmu juga meruakan sarana untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat.
Nabi SAW.
pernah mengatakan dalam sebuah haditsnya:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا
فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ
أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (رواه البخارى)
"Barangsiapa menghendaki dunia maka
hendaknya dia berilmu, barang siapa menghendaki akhirat maka hendaknya dia
berilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu
pula."
B. Menuntut ilmu Kewajiban Individual
Karena
ilmu menjadi sarana bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun
akhirat maka mencarinya wajib hukumnya. Nabi bersabda:
عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ (رواه الطبرانى) وَفِى رِوَايَةٍ : طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنْ طَالِبَ الْعِلْمِ
يَسْتَغْفِرُ لَـهُ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْحِيْتَـانِ فِى الْبَحْرِ (حديث صحيح
لإبن عبد البر فى العلم).
Dari Anas r.a. berkata: Rasululah SAW.bersabda:
Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Thabrani) Dalam riwayat
lain dikatakan: "Mencari ilmu itu wajib bagi kaum muslimin, dan sesungguhnya
pencari ilmu itu dimintakan ampunan oleh setiap sesuatu, sampai kepada ikan di
lautan."
Mengkaji
ilmu itu merupakan pekerjaan mulia karenanya maka orang yang keluar dan
rumahnya untuk mengkaji dan mencari ilmu dengan didasari iman kepada Allah,
maka semua yang ada di bumi mendoakannya, termasuk ikan yang ada di lautan.
Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan perjuangan fisik dan akal,
maka Nabi pernah mengatakan bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu akan
mendapatkan pertolongan dan Allah, karena Allah suka menolong orang yang mau bersusah
payah dalam menjalankan kewajiban agama. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
وَاللهُ يُحِبُّ إِغَاثَةَ اللَّهَفَانِ (حديث صحيح للبيهقى)
"Dan Anas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Mencari
ilmu ihi wajib bagi setiap muslim, dan Allah suka menolong orang-orang yang
bersusah payah. (HR. Baihaqi)
Mencari ilmu berarti melaksanakan perintah
agama yang memerlukan peijuangan, ketabahan, keuletan, keija keras dan dan
kesabaran, karena itu Nabi pernah menyampaikan bahwa orang yang keluar untuk
mencari ilmu adalah di jalan Allah sampai menemui ajalnya. Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
مَنْ
خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ
اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ (حديث صحيح رواه الترمذى)
"Dari Anas r.a berkahr
Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia
berada di jalan Allah sampai meninggal dunia." (HR. Tirmidzi)
Karena
hanya dengan ilmu dunia dan akhirat dapat digapai maka Allah memerintakhan
hamban-Nya untuk memperluas majlis-majlis kajian ilmu dan Dia berjanji akan
mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dan beriman. Firman Allah:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ
آَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍط وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
"Wahai orang-orang yang beriman
apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah di dalam majlis, maka
berlapang-lapanglah! Niscaya Allah akan
melapangkan untukmu. Dan apabila dikatakan bangun/berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa-apa
yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah : 11)
Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah untuk
mencari ilmu, sebab perintah untuk berlapang-lapang dalam majlis maksudnya
adalah majlis di mana di sana dikaji suatu ilmu, sehingga ayat di atas
mengajarkan kita bahwa iman itulah yang akan mendorong manusia untuk
menghidupkan hati untuk berdiri dan taat menjalankan perintah Allah, dan ilmu
yang membimbing dan mendidik hati sehingga menjadi lapang dan tunduk, keduanya
itulah yang disebutkan dalam ayat di atas sebagai akan menyampaikan kepada
derajat yang tinggi.
Allah
sangat menganjurkan manusia untuk mencari ilmu karena dengan ilmu orang akan
menjadi takut kepadaNya. Firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ
وَالدَّوَابِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا
يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ.
"Manusia, serangga dan binatang ternak
bermacam-macam pula warnanya, Sesungguhnya hanya hamba Allah yang berilmu yang
takut kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS.
Al-Fathir : 28)
Ilmu
adakalanya dapat menjadikan manusia dekat dengan Allah, akan tetapi juga bisa
menjadikannya jauh dari-Nya. Ilmu tanpa iman justru dapat mendatangkan petaka
baik bagi pemiliknya maupun bagi kemanusiaan, namun juga sebaliknya iman tanpa
ilmu akan membawa kepada kejumudan, Orang yang bertambah ilmunya tetapi tidak
mendapatkan petunjuk dari Allah maka ilmunya hanya akan menambah jauh antara
dirinya dengan Allah.
عَنْ عَلِىٍّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
مَنِ
ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ فِى الدُّنْيَا
زُهْدًا لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا (رواه الديلمى فى مسند
الفردوس) وفى رواية : مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ
يَزْدَدْ هُدَى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا.
"Dari Anas r.a. berkata Rasulullah SAW.
bersabda: Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah zuhudnya di
dunia maka ilmunya hanya akan menambah jauh dan Allah. (H.R Dailami dalam
Musnad Firdaus) Dalam riwayat lain dikatakan: Barang siapa bertambah ilmunya
dan tidak bertambah petunjuknya inaka ilmunya hanya akan menambah jauh dari
Allah."
Islam
mengajarkan agar muslim selalu memohon petunjuk kepada Allah, di mana secara
jelas diperintahkan dalam salah satu ayat dan surah al-Fatihah dengan
firman-Nya:
إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
"Tunjukkan kami jalan yang lurus.
Petunjuk Allah itulah yang akan membawa keselamatan kepada manusia dalam
menjalani hidupnya."
Sebab apapun prestasi yang diraih manusia
termasuk bidang ilmu pengetahuan, jika manusia tidak mendapatkan
hidayah/petunjuk dari Allah maka semuanya hanya akan membawa kepada
kesengsaraan, kalau tidak di dunia tentu di akhirat nantinya. Karena itu ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dengannya orang akan
bertambah dekat dan takwa kepada Allah.
Daftar
Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, Mesir: Al-Mathba'ah al-Utsmaniyah, 1933)
Ahmad Daudi, Kuliah Akidah Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1997.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia,
Yogyaklarta: 1984.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Fuad Amsyari, Reorientasi Cara Berpikir,
Bersikap, dan Bertindak Umat, dalam Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali,
1986.
Hasbi ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits,
Jakarta: Bulan Bintang, 1955.
Hurlock, dalam Syamsu Yusuf, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rusdakarya, 2008.
Ibnu Hamzah al-husaini ad-Damsyiqi, Asbab
al-Wurud Latar Belakang Historis timbulnya Hadits-hadits Rasul, Terj. Suwarta
Wijaya dan Safrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
an-Nawawi, Riyadlush Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani,
1994.
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Jami'
ash-Shaghir fii Ahaadiits al-Basyiir an-Nadhiir, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Juwariyah, Pendidikan moral dalam Puisis
Imam Syafi'i dan Ahmad Syauqi, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Lauis Ma'luf, Al-Munjid Mu'jam al-Lughah
al-Arabiyah, Bairut: Mathba'ah al-Katulikiyah, 1951.
Mahmud Yunus, Terjemah al-Qur'an al-Karim,
Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1987.
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abu
Dawuud, Mesir: Mathba'ah Mushthafa Ali, t.t.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' wa
al-Marjan Himpunan Hadits-hadits Shahih Yang Disepakati oleh Bukhari dan
Muslim, Terj. Salim Bahresyi, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996.
Mushthafa Muhammad 'Imarah, Jawahirul
bukhari wa Syarhul Qisthalani 700 Haditsul Masyruuhah, Mesir: Mathba'ah
al-Istiqamah, 1359 H.
Nizar bin Abdul Karim bin Sulthan Muhamdani,
Ar-Rahmatu al-Muhdatu Muhammad Rasulullah, Makkah al-Mukarromah: Rabithah
al-Islami, 1417 H.
As-Sayyid al-Imam muhammad bin Ismail
al-Kahlani, Subulussalam, Syarh Bulugh al-Maram min Jami' al-Adillati al-Ahkam,
Mesir: Maktabah Mushthafa al-babi al-Halabi, 1950.
Syaikh Musthafa al-'Adawi, Kumpulan
Hadits-hadits Qudsi, Terj. Mastiah, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2008.
Yahya bin Yahya bin Katsir al-Andalusi,
Al-Muwatha' lil al-Imam Malik bin Anas, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.



Pria
bernama lengkap Drs. KH. Abd. Choliq Ms, SH., S.Pd., M.Si. ini lahir di
Lamongan, 12 Oktober 1963. Sekarang berdomisili sekaligus menjadi pengasuh di
Pondok Pesantren Putri Al-Wardiyyah Bahrul ’Ulum dan Pondok Pesantren
As-Sa’idiyyah Tiga Putra Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang. Alumnus Pesantren
Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang ini menamatkan pendidikan S1 di Universitas
Darul ’Ulum Jombang pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan di
Universitas Wisnu Wardhana Malang pada Fakultas Hukum. Juga menamatkan
pendidikan di Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Wisnuwardhana Malang tahun 2004.
Penyusun meraih gelar S2-nya di Universitas
Wijaya Putra pada jurusan Magister Administrasi Publik tahun 2001. Saat ini disamping kesibukannya di bidang penulisan, beliau juga
mendarmabaktikan ilmunya dengan menjadi
dosen di STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang.
Aktivitas
lain yang dijalani sekarang di antaranya adalah sebagai pengurus Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Jombang dan sebagai Ketua I IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia) Kabupaten Jombang, di samping juga aktif menjadi Khatib di berbagai
masjid di Kabupaten Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar