Selasa, 17 Oktober 2017

HIKMAH PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


Oleh : Drs. KH. Abd. Choliq Ms, SH., S.Pd., M.Si.

Pada bulan ini kita berada dalam suasana khidmat memperingati satu masa yang amat penting dalam sejarah hidup, yaitu lahirnya seorang pemimpin dunia Muhammad SAW. tepatnya pada hari Senin 12 Robiul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April 517 Masehi. Setiap pribadi muslim mencatat sejarah ini dengan sebutan yang umum dengan Maulid Nabi.
Kelahiran beliau ini merupakan nikmat yang paling besar bagi umat seluruh alam. Meskipun beliau dilahirkan di Mekkah, namun risalahnya tidak terbatas bagi bangsa Arab saja, akan tetapi menyeluruh ke seluruh alam. Ajaran-ajaran yang dibawanya pun untuk mengatur tata kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan Sang Pencipta Allah SWT. ataupun yang berhubungan dengan makhluk-Nya, sehingga manusia bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akherat.
Sejarah mencatat perbandingan antara keadaan sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dengan keadaan sesudah datangnya Islam. Sebelum Islam datang masyarakat cenderung melakukan sesuatu dengan seenaknya sendiri tanpa memperhitungkan baik buruknya, sehingga yang terjadi banyak sekali dijumpai pemerasan, pembunuhan, perampokan, mabuk-mabukan, judi, mencuri dan sikap perilaku yang tidak terpuji. Namun setelah Islam menyinari kehidupan mereka, masyarakat semakin beradab, mempunyai akhlaq yang mulia, menjalani kehidupan dengan baik dan benar, mempunyai martabat dan harga diri serta sifat-sifat yang terpuji.
Beliau lahir menjadi rasul untuk membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, bangsa, asal daerah dan suku sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ (الأنبياء : 107)
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya : 107)

Muhammad diutus oleh Allah untuk seluruh bangsa di dunia dengan menjalankan pimpinan dan petunjuk dari Allah Yang Maha Esa. Beliau adalah manusia biasa tidak untuk disembah, namun beliau dijadikan rasul untuk diikuti dan ditaati semua ajaran yang dibawanya, sebagaimana firman Allah :
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللهِ (النساء : 64)
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa’ : 64)

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah agama yang benar dan penuh dengan kelengkapan dan keutamaan. Agama Islam berisi ajaran yang lengkap karena menyempurnakan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi terdahulu. Agama Islam mengajarkan segala aspek kehidupan manusia yang berupa ubudiyah, muamalah, mu’asyarah yaumiyah (pergaulan sehari-hari), munakahat, jinayat sampai pada permasalahan yang kecil pun Islam memperhatikan dan mengaturnya. Allah SWT. berfirman :
هُوَ الَّذِىْ اَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (الصف : 9)
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia memenangkan-nya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (As-Shaff : 9)

Dari ayat  di atas menunjukkan bahwa kerasulan Muhammad adalah benar. Beliau membawa dan menunjukkan kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran yang datang dari Allah SWT.
Beliau mempunyai sifat-sifat terpuji yang selalu melekat pada dirinya, di antaranya adalah adil dan jujur, sehingga yang ditegakkan dan diperjuangkan beliau di  tengah-tengah masyarakat adalah keadilan dan kejujuran. Hal ini dibuktikan dengan para pengikut beliau tidak pernah dikecewakan oleh sifat adil dan jujurnya. Sikap dan perilaku beliau yang lemah-lembut, ramah, santun, ringan tangan, suka membantu dan menolong kaum dhuafa’, tidak congkak dan tidak sombong, membuat kawan-kawannya bahkan lawan-lawannya bertekuk lutut untuk mengikuti kenyataan ajarannya.
Dengan kenyataan sejarah yang tidak diragukan lagi kebenarannya, maka dengan peringatan Maulid Nabi ini, mari kita jadikan Muhammad sebagai figur yang patut kita teladani segala sikap dan perilakunya yang penuh dengan akhlaqul karimah sebagaimana firman Allah :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلاٰخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا (الأحزاب : 21)
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan bagimu yang baik, yaitu orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Akhir dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab : 21)

Di antara ajaran-ajaran beliau yang harus kita ikuti adalah semangat beliau dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan akherat dan juga tidak melupakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia. Meskipun beliau seorang rasul namun beliau termasuk orang yang rajin bekerja untuk memberi nafkah kepada anak-anak dan istrinya, bahkan pekerjaan-pekerjaan kecil pun beliau lakukan sendiri tanpa menyuruh orang lain seperti menjahit bajunya sendiri yang robek, memperbaiki sandalnya yang rusak. Ajaran beliau yang selalu mengajak untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat terungkap dalam hadits :
اَصْلِحُوْا دُنْيَاكُمْ وَاعْمَلُوْا ِلاٰخِرَتِكُمْ كَاَنَّكُمْ تَمُوْتُ غَدًا (رواه الديلمى)
“…Perbaikilah keadaan duniamu dan beramallah untuk akheratmu seakan-akan engkau mati besok.” (HR. Addailami)

Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendukung etos kerja demi  tercapainya kebahagiaan hidup di dunia, Islam melarang orang yang bermalas-malasan bekerja, bahkan Islam sangat mengecam orang yang sehari-harinya hanya beribadah dengan berdzikir saja tanpa mau bekerja. Akan tetapi Islam sangat menganjurkan adanya keseimbangan antara kepentingan dunia dan juga kepentingan akherat.
Dengan adanya Maulid Nabi ini tentunya kita bisa  mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya di antaranya adalah :
1.      Bahwa lahirnya Muhammad sebagai tonggak sejarah di dalam menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan serta menjadikan masyarakat yang sebelumnya tidak bermoral menjadi masyarakat yang beradab dan berakhlaqul karimah.
2.      Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Muhammad adalah ajaran yang lengkap dan sempurna mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga tata kehidupan manusia menjadi lebih baik.
3.      Islam yang dibawa oleh Muhammad mengajarkan umatnya untuk bersemangat melaksanakan ibadah untuk mencapai kebahagiaan hidup di akherat, dan juga bersemangat bekerja untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia.
Mudah-mudahan khutbah ini bisa mengetuk hati kita untuk kembali kepada jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Amin.

(Penyusun adalah Pengasuh Ribath Al-Wardiyyah Bahrul ‘Ulum dan Ribath As-Sa’idiyyah Tiga Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang)

BUKU HADITS TARBAWI

Bab 1
ZIARAH KUBUR

A. Pengertian Ziarah
Secara bahasa ziarah artinya berkunjung. Secara istilah adalah mengunjungi makam orang yang sudah meninggal untuk mendo’akannya, bertabaruk, I’tibar ataupun mengingat untuk mengingat. Hari akhirat.
Amalan-amalan yang telah dilakukan saat ziarah berbeda-beda yang umum dilakukan yaitu membaca Al-Qur’an, tahlil, solawat dan berdo’a kepada Alloh semata.

B.  Hukum ziarah kubur
Ziarah kubur adalah sebuah amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah”

Diantara dalil-dalil Sya’i tentang disunahkannya ziarah adalah sebagaimana hadist-hadist berikut.
عَنْ بَرِيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِىْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمَّةِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةِ.(رواه الترمذي.٩٧٠)
“Dari Buraidah, ia berkata Rosululloh SAW bersabda “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.

Disebut dalam kitab Kasyf As-Syubuhat, hlm 39 :
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ وَسَبْعِيْنَ يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلاَ صَاحِكَةٌ تَأْتِى قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ وَاْلخَمِيْسِ فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.
Hadist dari Hisyam bin Salim:setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal, Fathimah tidak lagi murung,ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil berucap: disini makam Rosululloh.

Dalam Kasyf as-Syubuhat, hlm 39 disebutkan dalam hadist sebagai berikut :
وَرَوَى اَيْضًا الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ وُجُوْهُهُمْ بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.
"Sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul, hadist dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakaknya, dia mengatakan bahwa Rosululloh bersabda: Bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada Alloh setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih berseri."

Dalam kitab Kasyf as-Syubuhat as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi hlm. 129 diterangkan tentang ziarah dan amalan-amalannya:
(قَالَ النَّوَاوِيُّ) فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ اْلاَمْوَاتِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَاب
"Dalam Syarh al-Muhadzdzab imam an-Nawawi berkata adalah disunahkan bagi seorang yang berziarah kepada orang mati agar membaca alat-alat Al’quran sekadarnya dan berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya."

Dalam kitab Nahjal al-Balaghah, hlm. 394-396 disebutkan sebuah hadist Nabi :
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ وَقُبُوْرَ اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ بِمَا تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.(
"Rosululloh berziarah ke makam Syuhada ( orang-orang mati sahid ) dalam perang uhud dan makam keluarga Baqi’ dia mengucapkan salam dan mendo’akan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)."

Disebutkan dalam kitab I’anat at-Thalibin juz II hlm.142:
فَقَدْ رَوَى اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ قَبْرَ اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.
"Hadist riwayat hakim dari Abu Hurairah Rosululloh bersabda: Siapa ziarah kemakam orang tuanya setiap hari Jum’at, Alloh pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua."

Kemudian kaitannya dengan hadist Nabi SAW yang secara tegas menyatakan perempuan berziarah kubur:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ اْلقُبُوْرِ (رواه احمد ٨٠٩٥)
“Dari Abu Hurairah R.A bahwa sesungguhnya Rosululloh SAW melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad :8095 )

C.  Bolehkah Wanita Berziarah Kubur?
Para ulama berselisih dalam hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini :
-   Disunnahkan seperti laki-laki
-   Makruh
-   Mubah
-   Haram
-   Dosa besar
Ringkasnya, pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam- adalah wanita juga diperbolehkan untuk berziarah kubur asal tidak sering-sering. Hal ini berdasarkan beberapa alasan :
Pertama: Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.
Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih shahih daripada hadits yang melarang wanita berziarah. Hadits yang melarang wanita berziarah tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أن رسول الله لعن زوّارات القبور
“Rasulullah melaknat wanita yang sering berziarah kubur”

Ketiga: Lafazh زوّارات dalam hadits di atas menunjukkan makna wanita yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Al Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan untuk para wanita yang sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan lafazh hiperbolik tersebut (yakni زوّارات )”. Oleh karena itu, wanita yang sesekali berziarah tidaklah masuk dalam ancaman hadits ini.
Keempat: Persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya memberikan peringatan kepada wanita tersebut seraya berkata,
اتقى الله و اصبرى
“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah!”

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari perbuatan wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah.
Kelima: Wanita dan laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal tersebut adalah alasan disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya, wanita juga boleh berziarah kubur
Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk berziarah kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi Mulaikah :
أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم المؤمنين من أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر، فقلت لها: أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها
“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku bertanya padanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab : “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya : “Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian beliau memerintahkan untuk berziarah”
Ketujuh: Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah,
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Ya Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian”

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam At Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah kubur bagi wanita”
Dengan berbagai argumen di atas jelaslah bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak sering-sering. Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al ‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, dan lainnya rahimahumullah.

D.  Hikmah Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah amalan yang sangat bermanfaat baik bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Bagi orang yang berziarah, maka ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, membuat air mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat zuhud terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلاَ فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ، وَلاَ تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan janganlah kalian mengucapkan al hujr"

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah kubur. Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan bernasib sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur kaku tak berdaya. Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia menyadari batas waktu untuk mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang sangat panjang yang tiada akhirnya adalah hanya sampai ajalnya tiba saja. Maka ia akan mengetahui hakikat kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana nasibnya nanti di sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah wal ‘aafiyah.
Selain itu, ziarah kubur juga bermanfaat bagi mayit yang diziarahi karena orang yang berziarah diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan ampun untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن أدعو لهم
“Nabi pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka ‘Aisyah menanyakan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka”

Adapun jika mayit adalah musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan dan memintakan ampunan untuknya berdasarkan sabda beliau,
زار النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي، فزوروا القبور فإنها تذكر الموت
“Nabi pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu beliau menangis. Tangisan beliau tersebut membuat menangis orang-orang disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian”

Maka ingatlah hal ini, tujuan utama berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak berdaya lagi.
E.  Adab Islami Ziarah Kubur
Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :
Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarah. Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.
Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) : “Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka  ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at”
Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاًّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha”

Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan. “Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”

Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan. Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,
يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya”

Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًلأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”

Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim. Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.
Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka. Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.
Kedelapan: Tidak mengucapkan al hujr. Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”
Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit. Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.

F.   Rambu-Rambu Untuk Para Peziarah
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur ini agar ziarah kubur yang dilakukan menjadi amalan shalih, bukan menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :
·         Hikmah disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “(Hendaknya) tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat, dan mendo’akan mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan kubur,  atau melakukan ritual penyembelihan di sana, dan meminta mayit untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari kesulitan, maka ini ziarah yang bid’ah lagi syirik”
·         Tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena hal itu tidak ada dalilnya. Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka berziarahlah. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
·         Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan menabur bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih madzhab syafi’i- berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah menaburkan/meletakkan bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena hanya buang-buang harta”
Selesailah pembahasan tentang ziarah kubur ini. Semoga  Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan amal ini sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak  dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya.

Bab 2
JILBAB DAN CADAR

Jilbab merupakan pakaian wanita pada kehidupan umum/keluar rumah: pasar, jalan dsb. Jilbab merupakan pakaian longgar yang menutupi pakaian keseharian wanita di rumah. Hal ini bisa difahami dari hadits Ummu ‘Athiyah ra.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا.
Artinya: Dari Ummu Athiyah berkata: Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari Fithri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, Wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meningggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim . Aku bertanya, “Wahai Rasulullah salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” rasulullah saw menjawab: Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya (HR Muslim).

Berbagai bukti menunjukkan bahwa jilbab bukan adat kebiasaan/budaya orang arab adalah pertama, asbabun nuzul Surat An Nur ayat 31. Diriwayatkan bahwa Asma’ binti Murtsid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang, sehinggga kelihatan gelang-gelang kakinya, dada dan sanggul. Selanjutnya Asma, berkata “Alangkah buruknya pemandangan ini, maka turunlah ayat ini (surat AnNur[24];31) sampai auratinnisa‘ berkenaan dengan peristiwa tersebut yang memerintahkan kaum mu’minat menutup aurat (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdillah)
Dari asbabun nuzul  surat An Nur ayat 31 tersebut jelas sekali bahwa dikatakan gelang-gelang kaki, dada, sanggul perempuan arab saat itu terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu dia belum memakai jilbab. Jika rambut, dada dan kaki tidak dikatakan sebagai aurat tentu saja tidak perlu lagi perintah menutup aurat .
Kedua, asbabun Nusul Surat Al Ahzab[33] ayat 59. Diriwayatkan bahwa  isteri-isteri Rasulullah pernah keluar malam untuk qadla hajat buang air). Pada waktu itu kaum munafiqin menganggu mereka dan menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah Saw, sehingga Rasul menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab: “kami hanya mengganggu hamba sahaya”. Turunlah ayat (surat Al Ahzab[33];59) sebagai perintah untuk berpakaian tertutup agar berbeda dari hamba sahaya. (diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam at Thabaqat yang bersumber dari Abi malik. Diriwayatkan pula Ibnu Sa’d yang bersumber dari Hasan dan Muhammad bin Ka’b al Quradli)
Dari bukti-bukti tersebut diatas, jelas bahwa orang yang mengatakan: jilbab adalah produk budaya Arab atau adat kebiasaan/budaya orang Arab adalah tidak benar. Argumen itu hanyalah dalih untuk menolak  hukum syari’ah yaitu perintah wajib berjilbab bagi muslimah. Kewajiban berjilbab bagi muslimah berdasar pada surat An Nur[24];31, Al-ahzab[33];59 dan hadits Rasulullah Saw bukan yang lain.
Di dalam al Qur,an terpadat pada surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Terdapat qarinah yang jelas dalam kedua surat tersebut bahwa menutup aurat bagi wanita  hukumnya wajib. Hanya saja tidak disebutkan batasannya didalam Al Qur’an. Akan tetapi di dalam hadits diperinci secara jelas batasan aurat wanita, pakaian yang bagaimana yang bisa menutup aurat dan apa yang disebut jilbab serta kapan harus memakai jilbab.
Adapun perbedaan ulama’ tidak mengenai perintah wajibnya karena para ulama’ madzhab sepakat tentang hal itu. Hanya saja mereka berbeda mengenai batasan  aurat dan perbedaannya pada hal yang masih bisa ditolelir: masalah ijtihadi (Dalil dzonni  dilalah : suatu dalil yang mempunyai makna lebih dari satu).
Perbedaan tersebut bersumber dari penafsiran الا ما ظهر منها (kecuali yang biasa nampak) dalam surat An Nur ayat 31.
Jumhur ulama’ tidak berbeda mengenai status hukumnya, bahwa hukum menutup aurat adalah wajib. Hanya saja mereka berbeda mengenai batasan aurat. Sebagian  berpendapat bahwa aurat wanita adalah  seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan yang lain berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Menurut jumhur ulama’ bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Muka dan telapak tangan termasuk punggung tangan bukan aurat  Hal ini berdasarkan: Sabda Rasulullah Saw : “Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).
Dalam riwayat yang lain dikatakan menampakkan kedua tangannya (Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.
Juga terdapat pada hadits shaheh riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
المراءة  عورة
Artinya: Wanita adalah aurat ( HR Ibnu Hibban).
Dan hadits
ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا مفصل
‘Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh  tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud)

Kaki termasuk aurat. Hal ini berdasarkan hadits shahih riwayat Nasa’i dan Tirmidzi.
Dan dari Ibnu Umar ia berkata Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat . Lalu Ummu Salamah bertanya: Lalu bagaimana perempuan harus berbuat terhadap  ekor pakaiannya? Nabi menjawab: Turunkanlah sejengkal. Ummu Salamah berkata;: kalau demikian masih terlihat kaki- kaki  mereka . Hendaklah mereka menurunkannya sehasta, jangan mereka melebihkan dari itu”(HR Nasa’i dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya).
Dan riwayat yang lain:
Sesungguhnya isteri-isteri Nabi Saw . Lalu Nabi Saw menjawab: Turunkanlah ia sejengkal. Kemudian mereka menjawab: kalau sejengkal tidak dapat menutup aurat. Lalu Nabi  menjawab: panjangkanlah ekor kainnya itu sehasta(HR Ahmad)

A.  Menutup Aurat dalam Pandangan Islam itu Wajib
Kalau kita memperhatikan sebelum Alloh memerintahkan menutup aurat yang terdapat dalam surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab 59,  terlebih dahulu Allah memerintahkan menahan pandangan (ghadldlul al Bashar) dalam surat An Nur [24] ayat 30. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara menutup aurat dengan menundukkan pandangan. Surat  an Nur ayat 30:
قُل لِلمُؤمِنينَ يَغُضّوا مِن أَبصٰرِهِم وَيَحفَظوا فُروجَهُم ۚ ذٰلِكَ أَزكىٰ لَهُم ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما يَصنَعونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.

Ayat tersebut  memerintahkan kaum mu’minin untuk menundukkan pandangan terhadap aurat perempuan yaitu selain muka dan telapak tangan. Karena melihat selain muka dan telapak tangan hukumnya haram. Termasuk rambut, leher, kaki, dada, dsb. Bukhari meriwayatkan hadits berkenaan dengan surat An Nur  ayat 31 :
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ لِلْحَسَنِ إِنَّ نِسَاءَ الْعَجَمِ يَكْشِفْنَ صُدُورَهُنَّ وَرُءُوسَهُنَّ قَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ عَنْهُنَّ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ وَقَالَ قَتَادَةُ عَمَّا لاَ يَحِلُّ لَهُمْ.
Artinya: Dan Sa’id nin Abi Hasan berkata kepada Hasan;”Sesungguhnya para wanita non ‘Arab selalu menyingkapkan dada dan rambut mereka”.Mendengar itu Hasan berkata: Palingkan pandanganmu”-Firman Allah: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya dan Qatadah berkata tentang hal itu (aurat wanita) tidak gala bagimu (HR. Bukhari)

Selanjutkan dalam surat An Nur ayat 31 Allah menjelaskan juga batasan aurat yang boleh dilihat yaitu selain muka dan telapak tangan. Dengan demikian haram melihat aurat wanita .Dan boleh melihat selain aurat yaitu  muka dan telapak tangan. Surat An Nur ayat 31
وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam Nidzam Ijtima’i fi Al Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani menyebutkan yang dimaksud dengan kata “Zinah”(perhiasan) adalah “mahalluzzina min a’dho’i al Mar’ati”.
Dengan demikian yang tidak boleh terlihat pada wanita adalah  tempat perhiasan mereka: rambut, leher, tangan dan kaki. Dengan kata lain aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan terlapak tangan   Kalimat ولا يبدين زينتهن   (Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya) dalam Surat an Nur ayat 31. Kata  ولا menunjukkan ath thalabu at tarki (tuntutan untuk meninggalkan).  Kalimat:  واليضربن بخمرهن على جيوبهن (dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kerudung ke dadanya). Lam pada kata   واليضربن merupakan lam amar (perintah menunjukkan ath thalabu al fikli (tuntutan untuk mengerjakan). Dan Kata  يدنين من جلببهن   (mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) dalam surat al Ahzab ayat 59 . Kata  عليهن  menunjukkan ath thalabu al fikli (tuntutan  untuk mengerjakan).
Untuk menunjukkan bahwa tuntutan menutup aurat dalam surat an Nur ayat 31 dan al Ahzab 59 merupakan hukum wajib perlu, ada qarinah yang jazim(indikasi yang pasti) sebagai berikut:
Pertama, adanya pujian bagi orang yang melaksanakan perintah menutup aurat  akhir dari ayat tersebut š لعلكم تفلحون(supaya kamu beruntung) pada akhir Surat An Nur ayat 31 menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan kewajiban. Dan adanya perintah untuk bertaubat:  وتو ب الى الله ( maka bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah) pada akhir surat al Ahzab ayat 59. Hal ini menunjukan bahwa membuka aurat hukumnya haram  dan berdosa. Karena jika anjuran tentu Allah tidak memerintahkan bertaubat.
Kedua, adanya dzam (celaan) bagi orang yang membuka aurat menunjukkan bahwa mentup aurat merupakan kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Ahmad dan Muslim. “Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua macam golongan dari ahli neraka yang tidak kuketahuinya lagi sesudah itu, yaitu perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang yang berpaling dan memalingkan, diatas kepala mereka ada(sanggul sebesar kelasa onta yang bergoyang-goyang, mereka itu tidak dapat melihat surga dan tidak dapat mencium bauhnya. Dan laki-laki  yang selalu membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu dipukulnyalah manusia (HR Ahmad dan Muslim)

Ketiga, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).
Dalam riwayat yang lain dikatakan:
Menampakkan kedua tangannya (Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.
Seluruh tubuh wanita  adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan juga berdasarkan hadits shaheh riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
المراءة  عورة
Artinya: Wanita adalah aurat”( HR Ibnu Hibban).
Dan hadits
ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا مفصل
‘Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh  tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud)

Rasulullah Saw. Bersabda:”Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini” Hadis tersebut menunjukkan tuntutan  meningggalkan (ath thalabu at tarki)/ larangan  bagi wanita untuk menampakkan aurat. Dan larangan ini  kedudukan hukumnya bukan  makruh, akan tetapi haram karena ada qorinah yang pasti  berupa tuntutan untuk meninggalkan disertai dengan kata iman  yaitu:  percaya kepada Allah dan hari kemudian. Karenanya wanita diharamkan menampakkan aurat. Tentu saja hal ini menunjukkan wajibnya wanita menutup aurat.

B.  Faham Tentang Cadar dan Jilbab
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. 
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 76,77
 Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya. 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ: قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ 
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajeleis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”  

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ali Radhiyallahu 'anhu. 
يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
"Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua). [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 77]

Jarir bin Abdullah berkata. 
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
 Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 78] 

Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunnah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” [Adabusy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al-Mar’atil Muslimah, hal. 77]

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata. 
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
"Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. " 

Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat :  
a).    Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi n bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” 
b).    Diriwayatkan oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.” 
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if”. Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syeikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. 
c). Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. 
Jabir bin Abdullah berkata:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ 
"Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya. Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. [HSR Muslim, dan lainnya]

Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59]
 Ibnu Abbas berkata.
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا
"Rasulullah SAW. memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]"

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syeikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”]
 Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
 Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
 Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya.
Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita.
Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.
Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram).
Tetapi Syeikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas.
Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 61-64]

Sahl bin Sa’d berkata. 
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ… 
Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya…tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukminat yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” [Fathul Bari IX/210]

 ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata. 
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ 
"Dahulu wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap. [HR Bukhari dan Muslim]."

Dalam riwayat lain, 
وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.

Dari perkataan ‘Aisyah, “tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap” dapat difahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan, 
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ
Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].

Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nashrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 66-67].
Abdurrahman bin ‘Abis, 
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلاَ مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلاَلٌ إِلَى بَيْتِهِ
Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasehati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai shadaqah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya. [HR Bukhari, Abu Dawud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam kitab Jum’ah]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas –di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam– melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.” 
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah : 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 67, 75]
Dari Subai’ah binti Al-Harits, 
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” [HR Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim].

Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69]
Atha bin Abi Rabah berkata, 
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]

Ibnu Abbas berkata, 
كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ اْلأَوَّلِ لِئَلاَ يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ)
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 70].

Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

Ibnu Mas’ud berkata 
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا 
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu." [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no:235]

Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لاَ تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” [HR Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72]

Berlakunya Perbuatan Ini Setelah Wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah [hal. 96-103].
Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan diantara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’I), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Diantara ulama besar madzhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah t menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 7-9].
 Dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.
 Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat hijab.
Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan dibolehkan membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaedah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapuskannya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.

Bab 3
POTENSI ANAK (FITHRAH)

A.   Pengertian Fithrah
Kata fitrah berasal dari bahasa arab فَطَر yang artinya sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya. (الَّتِى يَتَّصِفُ بِهَا كُلُّ مَوْجُوْدٍ فِى أَوَّلِ زَمَانِ خَلْقَتِهِ الصِّفَةُ) atau bisa juga berarti الدين / الصفة الإنسان الطبيعية sifat dasar manusia / agama. Fithrah juga bisa berarti الإبتداع والإختراء penciptaan.
Fithrah bisa juga memiliki pengertian "agama" maksudnya adalah bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar untuk memiliki kecenderungan beragama tauhid, artinya memiliki kecenderungan dasar untuk meyakini adanya Dzat Yang Maha Esa sebagai Tuhan dan penciptanya yang patut dan wajib disembah dan diagungkan.

B.  Potensi Dasar Anak
Setiap anak yang dilahirkan memiliki sifat dasar tersebut yang dibawanya semenjak awal kejadiannya, sesuai dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur'an sifat dasar itu meliputi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan bertaqwa dan kecenderungan berbuat fujur. Hal itu sebagaimana tercantum dalam firman Allah :
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا.
"Maka diilhamkanlah kepada jiwa manusia yang baik dan yang buruk." (QS. Asy-Syams : 8)

Pada dasarnya semenjak lahir manusia sudah dianugerahi fithrah atau potensi untuk menjadi baik dan jahat, akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa. Oleh karena itu, apabila di kemudian hari dalam perkembangannya anak menjadi besar dan dewasa dengan sifat-sifat buruk, maka hal itu merupakan pendidikan keluarga, lingkungan dan kawan-kawan sepermainannya yang notabene mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat buruk tersebut.
Karena itu, menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan semua orang dewasa untuk memberikan pendidikan dan bimbingan yang baik kepada putra-putrinya, agar kecenderungan takwa dalam diri anak menjadi tumbuh dan berkembang dan bukan sebaliknya. Karena pada dasarnya setiap anak dibekali fithtrah yang sama atau setara, seorang  yang di dalam hatinya ada iman akan dapat merasakan kondisi kejiwaan yang selalu selaras dengan fithrahnya, sebab kecenderungan bawaan yang berupa kecenderungan untuk beragama tauhid dan mengabdi kepada yang diyakininya sebagai Maha Esa, telah dimilikinya. Akan tetapi, orang-orang kafir mareka merasa terasing dari fithrahnya, karena kecenderungan bawaan yang dikembangkannya hanyalah untuk selalu mengabdi kepada segala sesuatu selain Allah, maka potensi-potensi yang positif/potensi takwanya menjadi terkesampingkan dan potensi-potensi negatif (fujurnya) yang menjadi semakin berkembang.
Agar potensi positif tersebut dapat berkembang optimal maka Nabi mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu semenjak dalam buaian, itu artinya bahwa anak harus sudah mulai dididik dan diberikan kepadanya pengetahuan tentang segala sesuatu yang menunjang perkembangan potensi taqwanya semenjak usia dini, bahkan semenjak dalam kandungan, sebagaimana diperintahkan Nabi melalui sabdanya yang artinya : Carilah ilmu semenjak dalam kandungan sampai ke liang lahat.
Perintah Nabi tersebut mengandung pengertian bahwa, adalah menjadi kewajiban orang dewasa untuk mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang mengembangkan kecenderungan potensi taqwa, dan mengendalikan potensi fujur, yang keduanya telah diberikan Allah kepada manusia semenjak kelahirannya, karena pendidikanlah yang akan menentukan masa depan anak menjadi baik atau jahat. Ketika anak dididik dengan pendidikan yang baik yang mengembangkan potensi atau kecenderungan yang baik, maka dia akan menjadi baik, akan tetapi sebaliknya jika dia dididik dengan pendidikan yang cenderung mengembangkan potensi jahatnya, maka dia akan menjadi orang jahat. Ketika kepadanya semenjak kecil diajarkan agama Yahudi maka dia akan menjadi Yahudi, demikian pula jika diajarkan kepadanya ajaran agama Nashrani, maka dia akan menjadi Nashrani dan begitu seterusnya.
Hal itu kembali kepada sabda Nabi bahwa setiap yang terlahir dalam kondisi fithri. Sabda Nabi itu adalah :
عَنِ اْلاَسْوَدِ بْنِ سَرِيْع قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (حديث حسن رواه الطبرانى والبيهقى)
"Setiap yang terlahir dilahirkan dalam keadaan suci (memiliki kecenderungan beragama tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nashrani."

Demikian pula dalam sabdanya yang lain Nabi mengatakan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ : فِطْرَةً اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ. (أخرجه البخارى)

"Dari Abu Hurairah ra. berkata : Bersabda Nabi SAW. : Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fithrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi, bagaikan lahirnya seekor binatang yang lengkap/sempurna."

Kemudian Abu Hurairah membaca :
فِطْرَةً اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ.
"Fithrah yang manusia diciptakan Allah atas fithrah itu, tidak ada perubahan terhadap apa yang diciptakan Allah. Itulah agama yang lurus. (HR. Bukhari)

Fithrah dalam pengertian di atas yang dimaksud adalah bahwa fithrah manusia itu beragama tauhid, makdusnya bahwa pengakuan hati akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan fithrah pembawaannya dari lahir karena manusia memang diciptakan dengan sifat bawaan itu. Sehingga mneurut ayat di atas apabila di kemudian hari manusia kemudian meyakini adanya Tuhan yang berbilang (bukan Tuhan Yang Maha Esa), maka sesungguhnya yang demikian itu telah menyalahi fithrahnya.
Dalam kitab al-Muwatho' karya Imam Malik disebutkan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ. كَمَا تَنْتِجُ اْلإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ؟ قَالُوْا : يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الَّذِى يَمُوْتُ وَهُوَ صَغِير؟ قَالَ : اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِينَ.
"Dari Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda : Setiap yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fithrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nashrani, sebagaimana unta yang dilahirkan sebagai binatang yang sempurna, apakah engkau merasakan di dalamnya ada hidung yang terpotong? Mereka berkata : Wahai Rasulullah bagaimana pendapat baginda terhadap anak yang meninggal waktu masih kecil? Nabi menjawab : Allah lebih mengetahui apa yang telah mereka lakukan."

Mencermati hadits-hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa pendidikan, utamanya pendidikan yang diberikan kedua orang tua terhadap anak-anaknya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan fithrah anak, karena pada dasarnya anak memiliki sifat dasar atau kecenderungan beragama yang lurus yaitu agama tauhid, hanya saja persoalannya kemudian bagaimana kedua orang tua "khususnya" dan lembaga pendidikan/sekolah serta masyarakat lingkungan di mana peserta didik berada memberikan pendidikan kepadanya, karena berbicara masalah pendidikan sesungguhnya terdapat tiga titik sentral dalam arena pendidikan anak, yaitu; keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang ketiganya saling terkait terintegrasi dan tidak mungkin dipisah-pisahkan.
Orang tua sebagai figur pendidik pertama dan utama bagi anak-anak tentu memiliki peran  yang teramat besar dalam memberikan dasar bagi pendidikan putra-putrinya, dan sekolah sebagai penerus pendidikan keluarga juga punya tanggung jawab moral untuk membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia yang baik, sementara masyarakat dimana anak tinggal, punya andil cukup besar di dalam turut memberikan warna dan membentuk karakter kepribadian mereka.
Karena peran keluarga terutama dua orang tua sangat dominan daam pendidikan anak-anaknya, maka adalah merupakan kewajiban keluarga untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagai perkembangan pendidikan putra-putri mereka terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya atau usia pra sekolah, karena masa-masa tersebut adalah masa-masa penting dan paling kritis dalam usia anak, sehingga anak akan selalu memberikan pertanyaan tentang apa saja kepada orang dewasa, dan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan sangat membekas dalam diri anak sehingga tidak mudah untuk dilupakan.


Bab 4
FUNGSI NIAT DALAM PERBUATAN

A.  Pengertian Niat
اَلنِّيَّةُ هِىَ الْقَصْدُ أَوْ عَزْمُ الْقَلْبِ.
"Niat berarti suatu maksud atau keinginan hati."

Niat, kemauan dan tujuan merupakan rangkaian yang terajut dalam satu pengertian, yaitu suatu kondisi dan sifat hati yang menghubungkan dua hal, yaitu ilmu dan amal. Ilmu/pengetahuan mendahului karena dia menjadi dasar dan syarat, sedangkan amal mengikuti karena dia merupakan hasil dari pengetahuan. Setiap aktifitas tidak bisa tidak, pasti memuat tiga unsur pokok, yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan, karena orang tidak menginginkan apa yang dia tidak tahu, tetapi walaupun orang mengetahui namun tidak ada keinginan untuk melakukan aktifitas juga tidak akan terjadi, dan ketika orang dengan pengetahuannya melakukan sesuatu maka dia pasti punya tujuan tertentu.

B.  Pengaruh Niat dalam Amal Ibadah
Niat merupakan  syarat dari sutu pekerjaan yang akan dilakukan seseorang, sehingga suatu perbuatan yang tidak disertai dengan niat terutama apabila perbautan itu wajib hukumnya, kaka dia menjadi tidak sah menurut hukum. Oleh karena niat itu  yang mengarahkan dan memotifasi dilakukannya suatu perbuatan, maka nilai dari suatu perbuatan itu tergantung pada niatnya, jika niat melakukan suatu perbuatan itu tulus karena Allah, maka nilainya akan sampai kepada Allah  dan akan mendapat balasan dari-Nya, tetapi jika niatnya karena sesuatu yang lain, maka akan sampai pula kepada apa yang diniatkan tersebut dan tidak akan sampai kepada Allah.
Karena itu, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya hidup ini secara totalitas hanyalah untuk mengabdi kepada Allah, dan pengabdian yang memiliki nilai dalam pandangan Allah adalah pengabdian yang disertai niat yang tulus karena-Nya. Sebagaimana firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ.
"Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Penghambaan atau amal ibadah itu harus dilakukan dengan penuh ketulusan dan diniatkan semata-mata karena tunduk kepada-Nya, sebab jika tidak, maka kebaikan dari amal yang dilakukannya tidak akan sampai kepada-Nya, sebab Allah hanya memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-Nya dengan tulus demi mengharap keridlaan-Nya, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Bayyinah :
وَمَآ اُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُ اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ.
"Dan hanya mereka diperintahkan untuk menyembah Allah serta mengikhlaskan agama bagi-Nya (beribadah untuk mengharapkan ridla-Nya)." (QS. Al-Bayyinah : 98)

Dengan memahami ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa amal shaleh yang tidak disertai ketulusan semata-mata karena Allah, karena tunduk perintah-Nya, karena yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaannya, buka semata-mata amal lahiriahnya sebagaimana firman Allah yang berkaitan dengan ibadah kurban atau penyembelihan hewan berikut :
لَنْ يَنَالُ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ.
"Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah takwanya." (QS. Al-Hajj : 37)

Jadi ketika seseorang menyembelih hewan untuk berkurban, maka pahala dari Allah bukan terletak pada seberapa besar hewan yang disembelihnya, akan tetapi seberapa besar ketulusan hatinya melakukan amal tersebut.
"Ketulusan Hati" adalah rahasia Allah yang dititipkan kepada hati hamba-Nya yang dicintai. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadits qudsi :
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : اْلإِخْلاَصُ سِرٌّ مِنْ سِرِّى اِسْتَوْدَعْتُهُ قَلْبَ مَنْ أَحْبَبْتُ مِنْ عِبَادِى.
"Dari Hasan ra. Berkata : Nabi SAW. Bersabda : Allah Ta'ala berfirman : Ikhlas itu adalah rahasia dari rahasia-Ku yang Aku titipkan di hati hamba-Ku yang aku cintai." (Ihya' Ulumuddin)

Berkaitan dengan urgensi niat tersebut, maka Nabi SAW. dalam sebuah sabdanya menengaskan :
عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتٍ. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه  البخارى)
"Dari Umar ra. berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu ada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap manusia itu apa yang diniatkan. Maka barangsiapa niat hijrah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrah iu (diterima) oleh Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh kekayaan atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai sesuai niat hijrah yang ia tuju." (HR. Bukhari Muslim)

Hijrah berasal dari kata bahasa Arab هَجَرَ yang artinya berpindah (dari suatu negeri ke negeri yang lain). Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah karena pada masa Nabi terdapat orang-orang munafiq yang mengikuti jihad Nabi untuk berhijrah dan berperang akan tetapi dengan niat untuk mendapatkan harta rampasan atau perempuan cantik untuk dinikahinya, sehingga mereka hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Namun demikian, dalam pengertiannya yang lebih hakiki sesungguhnya hijrah dapat dimaknai berpindah atau meninggalkan yang bathil untuk menuju yang haq, dan menurut hemat penulis itulah hijrah yang sebenar-benarnya karena jika kita merujuk kepada sabda Nabi ketika beliau bersama para sahabat kembali membawa kemenangan dari perang Badar Nabi mengatakan kita kembali dari perjuangan kecil menuju perjuangan besar, lalu sahabat bertanya : apakah perjuangan besar itu Ya Rasulallah? Nabi menjawab : Berjuang melawan hawa nafsu.
Dari sini jelas, bahwa perjuangan melawan hawa nafsu adalah perjuangan yang maha berat, karena lawan atau musuh yang dihadapi tidak nampak, tidak membawa senjata, dan  berada dalam diri manusia itu sendiri. Dan jika kembali kepada niat, maka perjuangan yang secara fisik berat, akan tetapi apabila niatnya salah tidak tulus karena Allah, maka sesuai hadits di atas pelakunya tidak akan mendapatkan sesuatu pun dari Allah karena niat yang tulus karena Allah merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika Mu'adz bin Jabal diutus oleh Nabi SAW. ke Yaman, maka dia memohon nasehat dari Nabi tentang apa yang harus dilakukan, maka Nabi bersabda : Ikhalskan agamamu, maksudnya ikhlaskan imanmu jangan engkau rusak dengan tipuan syahwat, jauhi riya', carilah ridla Allah niscaya akan mencukupimu amal yang sedikit tetapi dilakukan dengan niat yang ikhlas lebih baik daripada amal yang banyak tetapi tidak ikhlas, karena nilai amal perbuatan terletak pada seberapa tingkat keikhlasannya bukan pada seberapa banyak amal yang dilakukannya.
Niat di samping sebagai syarat diterimanya suatu amal kebajikan yang bernilai ibadah juga berfungsi membedakan antara adat dan ibadat, serta antara ibadat yang satu dengan yang lainnya, karena bisa saja suatu perbuatan secara lahiriah sama akan tetapi sesungguhnya memiliki nilai yang berbeda.



Bab 5
BIRR AL-WAALIDAIN

A.  Pengertian Birr al-Waalidain
Birr berasal dari kata bahasa Arab yang berarti taat dengan mempergaulinya secara baik atas dasar cinta dan kasih sayang.
Menurut Imam Nawawi birr al-waalidain itu adalah berbuat baik kepada kedua orangtua, bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal yang dapat membuatnya bahagia serta berbuat baik kepada teman dan sahabat-sahabat keduanya.
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birr al-waalidain itu hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban, yaitu : Pertama, mentaati segala perintah orangtua kecuali maksiat. Kedua, menjaga amanah harta yang dititipkan orangtua, atau diberikan oleh orangtua. Ketiga, membantu atau menolong orangtua apabila mereka membutuhkan.

B.  Birr al-Waalidain adalah Perintah Allah
Birr al-waalidain merupakan perintah Allah yang telah menjadi ketetapan-Nya untuk dilaksanakan oleh setiap anak manusia. Firman Allah :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
"Tuhanmu telah menetapkan supaya jangan kamu sembah selain Dia, dan berbuat baik kepada kedua orangtua (ibu bapak). Jika seorang di antara keduanya telah tua atau kedua-duanya telah tua maka janganlah engkau katakan "cis" kepada keduanya, dan jangan pula engkau hardik keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia (lemah lembut). Rendahkanlah sayap kehinaan (berhina diri) kepada keduanya karena kasih sayang, dan katakanlah; Ya Tuhanku kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihani ketika aku kecil." (QS. Al-Isra' : 23-24)
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ.
"Kami (Allah)  wasiatkan kepada  manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya, jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tiada engkau ketahui, lalu Aku kabarkan kepadamu terhadap apa-apa yang telah engkau kerjakan." (QS. Al-Ankabut : 8)

Menghormati dan menghargai serta berbakti kepada kedua orangtua merupakan kewajiban yang harus dipatuhi, karena begitu besar jasa dan pengorbanan kedua orangtua, sampai Allah berwasiat kepada semua uamt manusia untuk berbuat baik kepada keduanya terlebih ibu.
Dalam ayatnya yang lain Allah mengatakan bahwa ketika kedua oranguta memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya, maka janganlah engkau ikuti dia dan pergaulilah dengan baik selama di dunia, hal itu menunjukkan bahwa kepada orangtua yang syirik pun seorang anak harus berbuat baik selama hidupnya di dunia, terlebih jika kedua orangtuanya orang yang beriman kepada Allah, maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk tidak berbakti kepadanya.

C.  Ridla Allah Terletak Pada Ridla Kedua Orang Tua
Nabi mengutuk perbuatan durhaka kepada orangtua dan memberikan motifasi serta memerintahkan umatnya untuk berbakti kepada kedua orangtua, karena keridlaan Allah berada pada keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan keduanya. Nabi bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِهِمَا (حديث صحيح رواه الطبرانى)
"Dari Ibnu Umar ra. Berkata : Nabi SAW. bersabda :Keridlaan Tuhan berada dalam keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Tuhan berada pada kemarahan keduanya." (HR. Thabrani)

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْن الْعَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَا الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (أخرجه الترمذى وصححه ابن حبان والحاكم)
"Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orangtua, dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orangtua." (Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)

Ridla Allah merupakan puncak pencarian dari seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal shaleh untuk mengharapkan balasan kebajikan dari Allah tidaklah salah, demikian pula mengabdi kepada-Nya untuk mendambakan surganya juga bukan tindkan keliru, akan tetapi tunduk dan patuh kepada Allah untuk mengharapkan ridla-Nya itulah sesungguhnya merupakan tingkat tertinggi dari penghambaan seseorang, karena pada hakekatnya tidak ada kebahagiaan yang melampaui kebahagiaan orang yang mendapatkan ridla Allah, sebagaimana tidak ada kesedihan dan penderitaan yang melampaui kesedihan serta penderitaan seseorang yang mendapatkan murka dari Allah.
Sedangkan Nabi bersabda bahwa ridla Allah terletak pada ridla kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Ungkapan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada umatnya bahwa tidak ada alasan bagi seorang anak manusia untuk tidak taat dan patuh kepada kedua orang tuanya selama keduanya tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.
Sebagai gambaran dan betapa seorang anak wajib tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya itu, sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi untuk ikut berjihad, lalu Nabi bertanya adakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang tadi menjawab: masih ya Rasulullab, maka Nabi menjawab: Berbaktilah kepada keduanya maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman pergi berhijrah kepada Nabi SAW. lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasul Allah saya telah berhijrah. Nabi bersabda : Apakah engkau punya keluarga di Yaman? Orang itu menjawab : Kedua orang tuaku. Nabi bertanya: Apakah keduanya mengijinkanmu? Dia berkata: Tidak. Nabi bersabda: Kembalilah dan mintalah ijin kepada keduanya.

D.  Ibu dan Bapak Tiga Banding Satu
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang betapa berat perjuangan orang tua membesarkan dan mendidik putra-putrinya, terutama ibu yang dengan susah payah telah mengandungnya selama sembilan bulan, kemudian setelah susah payah melahirkan menyusuinya selama dua tahun dengan mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk seorang anak.
Karena begitu berat perjuangan seorang ibu untuk anaknya maka ketika ditanya tentang orang yang pertama-tama harus dihormati Nabi menjawab ibu tiga kali baru bapak. Nabi SAW. bersabda:  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقَّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى؟ قَالَ: "أُمُّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : "أُمُّكَ" قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أُمُّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أَبُوْكَ" (رواه البخارى ومسلم)
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. maka dia berkata: Wahai Rasulullah! Siapakah yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi lain siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi, lain siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi, lalu siapa? Bapakmu. (HR. Bukhari, MusIim)

Seorang ibu di mata anak-anaknya merupakan satu-satunya figur yang paling berjasa dibanding yang lainnya, bagaimana tidak, karena dia telah dengan susah payah mengandungnya selama sembilan bulan, dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, bayi yang masih berada dalam kandungan senantiasa dibawanya ke mana dia pergi dan berada, bahkan tidak jarang seorang ibu yang sedang mengandung muda sampai berbulan-bulan tidak mau makan nasi karena jika hal ini dia lakukan akan kembali keluar/muntah.
Demikian berat perjuangan seorang ibu sampai ketika dia harus melahirkan bayi yang dikandungnya pun dia pertaruhkan semua yang dimilikinya sampai kepada nyawanya sekalipun. Perjuangan itu belum berakhir dengan kelahiran bayi yang telah sembilan bulan dikandungnya, akan tetapi dia masih harus menyusuinya selama kurang lebih dua tahun. Bukan hanya itu perempuan sering dibebani tugas ganda, dimana di samping dia harus mengurus anak-anaknya perempuan harus ngurus semua urusan rumah tangga, belum lagi kalau dia harus pula bekerja untuk membantu suami mencukupi hidupnya.
Karena itu sangatlah tepat jika Muhammad Rasulullah SAW. sosok hamba dan utusan Allah yang sangat peduli terhadap kaum perempuan menetapkan ibu sebagai satu-satunya perempuan yang harus mendapat penghormatan dan penghargaan tiga banding satu dan seorang ayah, karena perjuangannya pun tidak sama beratnya.
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَمِ اْلاُمَّهَاتِ (رواه البخارى)
"Dan Anas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Surga itu di bawah telapak kaki ibu (HR. Bukhari)

Hadits di atas memberikan pengertian kepada kita betapa mulia derajat seorang ibu di mata anak-anaknya, sehingga sebagai konsekuensinya anak wajib menghormati, patuh, tunduk dan berbakti kepadanya selama dia tidak berada dalam jalan yang bertentangan dengan ajaran agama yang benar.
Surga sebagaimana banyak disebutkan di dalam al-Qur’an merupakan tempat segala keindahan dan kenikmatan digambarkan Nabi sebagai berada di bawah telapak kaki ibu. Hal itu mengandung pengertian bahwa ketundukan dan ketaatan serta bakti seorang anak terhadap kedua orang tua terutama ibu akan sanggup mengatakannya ke surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan sebagai balasan atas semua amal kebajikannya. Demikian sebaliknya kedurhakaan seorang anak dalam berbagai bentuknya yang membuat hati orang tua terutama ibu terluka dan menderita akan dapat mengantarkannya masuk ke dalam neraka Allah yang penuh dengan adzab dan penderitaan sebagai balasan atas kejahatan durhaka yang telah dilakukannya.

E.  Ridla Allah Terletak pada Ridla Kedua Orang Tua
Nabi mengutuk perbuatan durhaka kepada orang tua dan memberikan motifasi serta memerintahkan umatnya untuk berbakti kepada kedua orang tua, karena keridlaan Allah berada pada keridlaan kedua orang tua dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan keduanya. Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِهِمَا (حديث صحيح رواه الطبرانى)
"Dari Ibnu Umar ra. Berkata : Nabi SAW. bersabda :Keridlaan Tuhan berada dalam keridlaan kedua orangtua dan kemarahan Tuhan berada pada kemarahan keduanya." (HR. Thabrani)

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْن الْعَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَا الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ الرَّبِّ فِى سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (أخرجه الترمذى وصححه ابن حبان والحاكم)
"Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orangtua, dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orangtua." (Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)

Ridla Allah merupakan puncak pencarian dan seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal shaleh untuk mengharapkan balasan kebajikan dan Allah tidaklah salah, demikian pula mengabdi kepada-Nya untuk mendambakan surganya juga bukan tindakan keliru, akan tetapi tunduk dan patuh kepada Allah untuk mengharapkan ridla-Nya itulah sesungguhnya merupakan tingkat tertinggi dan penghambaan seseorang, karena pada hakekatnya tidak ada kebahagiaan yang melampaui kebahagiaan orang yang mendapatkan ridla Allah, sebagaimana tidak ada kesedihan dan penderitaan yang melampaui kesedihan serta penderitaan seseorang yang mendapatkan murka dan Allah.
Sedangkan Nabi bersabda bahwa ridla Allah terletak pada ridla kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Ungkapan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada umatnya bahwa tidak ada alasan bagi seorang anak manusia untuk tidak taat dan patuh kepada kedua orang tuanya selama keduanya tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.  
Sebagai gambaran dari betapa seorang anak wajib tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya itu, sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi untuk ikut berjihad, lalu Nabi bertanya adakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang tadi menjawab: masih ya Rasulullah, maka Nabi menjawab: Berbaktilah kepada keduanya maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman pergi berhijrah kepada Nabi SAW. lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasul Allah saya telah berhijrah. Nabi bersabda: Apakah engkau punya keluarga di Yaman? Orang itu menjawab: Kedua orang tuaku. Nabi bertanya: Apakah keduanya mengijinkanmu? Dia berkata: Tidak. Nabi besabda : Kembalilah dan mintalah ijin kepada keduanya.


Bab 6
‘UQUUQ AL-WAALIDAINI

A.  Pengertian ‘Uquq al-Waalidaini
‘Uquuq berasal dan kata bahasa Arab عَقَ yang memiliki sinonim عَصَا artinya berbuat maksiat atau durhaka.  إسم المثنى من : الولد : الوالدين artinya ayah/orangtua. عقوق الوالدين berarti berlaku durhaka dengan cara melawan, menyakiti hatinya, atau dengan cara-cara lain yang bersifat maksiat kepada ke dua orang tua.

B.  Durhaka kepada Kedua Orang Tua termasuk Dosa Besar
Jika berbakti kepada kedua orang km merupakan suatu
kewajiban bagi setiap anak, maka durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar setelah syirik.
Karena itu melalui lisan Muhammad saw. Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang baa. NaN bersabda:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتٍ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ (متفق عليه)
"Dari Mughirah bin Syu‘bah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadamu durhaka kepada orang tua, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, memutuskan hubungan, dan membencimu mengatakan “katanya”, dan banyak bertanya (tanpa guna), dan menghambur-hamburkan harta. (HR. Bukhari Muslim)

Allah telah mengharamkan durhaka kepada dua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak untuk menghormati dan mentaati semua perintahnya selagi tidak melaggar ketentuan ajaran agama. Dalam pandangan Allah kedua orang baa adaiah orang yang pertarna-tama wajib dihormati setelah pengabdian kepada Allah. Firman Allah:
وَاعْبُدُوْا اللهَّ وَلاَ مُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا.
"Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua." (QS. An-Nisa' : 36)

Dalam ayat di atas perintah Allah untuk menyembah kepada-Nya langsung diikuti perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan kedua orang tua sangatlah terhormat dalam pandangan Allah. Karena begitu mulia dan agungnya kedudukan kedua orang tua dalam pandangan Allah maka dalam beberapa sabdanya Nabi menyatakan bahwa durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar. Di antara hadits-hadits itu adalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبَّ أَبَاهُ وَيَسَبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَهُ.
"Dari Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah SAW. Bersabda : Adalah termasuk dosa besar seseorang mengutuk kedua orang tuanya; lalu dikatakan; wahai Rasul! Bagaimana seorang bisa mengutuk kedua orang tuanya? Nabi bersabda: Seseorang yang mengutuk ayah orang lain, maka dia sedang mengutuk ayahnya, dan mengutuk ibu orang lain maka dia mengutuki ibunya." (At-Tajrid ash-Shariih : 201)

Dalam hadits lain Nabi bersabda:
أَلاَ أُنَبِّؤُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِثلاثا؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلاَ وَقُوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَازَالَ يُكْرِرُهَا (متفق عليه)
"Maukah kamu aku beritahukan tentang tiga dosa besar? Sahabat menjawab :  Baik ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Menyekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak. Ketika itu Rasul bersandar kemudian duduk dan berkata: Dan perkataan palsu atau saksi palsu, maka Rasul mengulangi persaksian palsu. (HR. Bukhari Muslim)

Senada dengan pengertian hadits di atas tentang besarnya dosa durhaka kepada kedua orang tua, Nabi bersabda:
اَلْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوسُ (رواه البخارى)
"Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh manusia, dan saksi palsu. (HR. Bukhari)

Berbaktilah wahai anak manusia terhadap kedua orang tua yang telah mengantarkan kalian hidup di dunia ini sebab tanpa keduanya maka kita semua tidak akan pemah menikmati kehidupan dunia mi.
Karena berat beban dan perjuangan para orang tua serta besar jasa mereka di dalam mengurus membimbing dan membesarkan putra-putrinya maka kedua orang tua yang wajib dihormati dan haram untuk didurhakai dan dicaci-maki menurut hadits di atas bukan hanya orang tua kandung yang melahirkan dan merawatnya, akan tetapi pengertian dua orang tua adalah orang tua dari seorang anak, sehingga ketika seseorang mengutuk orang tua saudaranya atau kawannya maka perlakuannya itu sama saja dengan perlakuan terhadap kedua orang tuanya.
Jika balasan dan dosa-dosa amal kejahatan lain ditangguhkan Allah sampai hari kiamat, maka balasan dosa durhaka kepada kedua orang tua akan dipercepat oleh Allah semenjak anak masih hidup di dunia. Nabi SAW. bersabda:
كُلُّ الذُّنُوْبِ يُؤَخِّرُ اللهُ تَعَالَى مَا يَشَاءُ مِنْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ عُقُوقِ الْوَالِدَيْنِ فإن الله يُعَجِّلُهُ لَصَّاحِبِهِ فِى الْحَيَاتِ قَبْلَ الْمَمَاتِ (رواه الطبرانى)
"Semua dosa balasannya ditangguhkan Allah menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali dosa durhaka terhadap kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mempercepat balasan dosa bagi pelakunya dalam kehidupan sebelum mati (kehidupan dunia)." (HR. Thabrani)

Anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya adalah anak yang mengingkari kenikmatan dari Allah, dan sekaligus mengingkari kebaikan keduanya, oleh karena itu Allah sangat tidak menyukainya sehingga mempercepat balasan dosanya ketika masih di dunia, agar menjadi pelajaran baginya dan juga bagi yang lainnya bahwa durhaka kepada orang tua itu tenmasuk perbuatan yang sangat dibenci Allah dan balasannya akan diberikan kontan di dunia.
Dalam realitas kehidupan banyak kita dapati anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya selagi masih di dunia mereka hidup sengsara, karena kehidupannya jauh dari restu orang tua dan sekaligus jauh dari ridla Allah, sebab ridla Allah terletak pada keridlaan kedua orang tua dan kemarahan-Nya terletak pada kemarahan keduanya.
Pada bab sebelumnya telah dibahas masalah kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, di mana anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Dengan demikian jika dipahami dengan logika terbalik maka akan dapat dimengerti bahwa durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan dosa, karena meninggalkan kewajiban bakti atau melakukan larangan durhaka kepada keduanya.
Karena itu melalui lisan Muhammad saw. Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang baa. NaN bersabda:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتٍ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ (متفق عليه)
"Dari Mughirah bin Syu‘bah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda : Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadamu durhaka kepada orang tua, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, memutuskan hubungan, dan membencimu mengatakan “katanya”, dan banyak bertanya (tanpa guna), dan menghambur-hamburkan harta. (HR. Bukhari Muslim)

Allah telah mengharamkan durhaka kepada dua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak untuk menghormati dan mentaati semua perintahnya selagi tidak melaggar ketentuan ajaran agama. Dalam pandangan Allah kedua orang baa adaiah orang yang pertarna-tama wajib dihormati setelah pengabdian kepada Allah. Firman Allah:
وَاعْبُدُوْا اللهَّ وَلاَ مُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا.
"Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua." (QS. An-Nisa' : 36)

Dalam ayat di atas perintah Allah untuk menyembah kepada-Nya langsung diikuti perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan kedua orang tua sangatlah terhormat dalam pandangan Allah. Karena begitu mulia dan agungnya kedudukan kedua orang tua dalam pandangan Allah maka dalam beberapa sabdanya Nabi menyatakan bahwa durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar. Di antara hadits-hadits itu adalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبَّ أَبَاهُ وَيَسَبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَهُ.
"Dari Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah SAW. Bersabda : Adalah termasuk dosa besar seseorang mengutuk kedua orang tuanya; lalu dikatakan; wahai Rasul! Bagaimana seorang bisa mengutuk kedua orang tuanya? Nabi bersabda: Seseorang yang mengutuk ayah orang lain, maka dia sedang mengutuk ayahnya, dan mengutuk ibu orang lain maka dia mengutuki ibunya." (At-Tajrid ash-Shariih : 201)

Dalam hadits lain Nabi bersabda:
أَلاَ أُنَبِّؤُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِثلاثا؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلاَ وَقُوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَازَالَ يُكْرِرُهَا (متفق عليه)
"Maukah kamu aku beritahukan tentang tiga dosa besar? Sahabat menjawab: Baik ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Menyekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak. Ketika itu Rasul bersandar kemudian duduk dan berkata: Dan perkataan palsu atau saksi palsu, maka Rasul mengulangi persaksian palsu. (HR. Bukhari Muslim)

Senada dengan pengertian hadits di atas tentang besarnya dosa durhaka kepada kedua orang tua, Nabi bersabda:
اَلْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوسُ (رواه البخارى)
"Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh manusia, dan saksi palsu. (HR. Bukhari)

Berbaktilah wahai anak manusia terhadap kedua orang tua yang telah mengantarkan kalian hidup di dunia ini sebab tanpa keduanya maka kita semua tidak akan pemah menikmati kehidupan dunia mi.
Karena berat beban dan perjuangan para orang tua serta besar jasa mereka di dalam mengurus membimbing dan membesarkan putra-putrinya maka kedua orang tua yang wajib dihormati dan haram untuk didurhakai dan dicaci-maki menurut hadits di atas bukan hanya orang tua kandung yang melahirkan dan merawatnya, akan tetapi pengertian dua orang tua adalah orang tua dari seorang anak, sehingga ketika seseorang mengutuk orang tua saudaranya atau kawannya maka perlakuannya itu sama saja dengan perlakuan terhadap kedua orang tuanya.
Jika balasan dan dosa-dosa amal kejahatan lain ditangguhkan Allah sampai hari kiamat, maka balasan dosa durhaka kepada kedua orang tua akan dipercepat oleh Allah semenjak anak masih hidup di dunia. Nabi SAW. bersabda:
كُلُّ الذُّنُوْبِ يُؤَخِّرُ اللهُ تَعَالَى مَا يَشَاءُ مِنْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ عُقُوقِ الْوَالِدَيْنِ فإن الله يُعَجِّلُهُ لَصَّاحِبِهِ فِى الْحَيَاتِ قَبْلَ الْمَمَاتِ (رواه الطبرانى)
"Semua dosa balasannya ditangguhkan Allah menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali dosa durhaka terhadap kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mempercepat balasan dosa bagi pelakunya dalam kehidupan sebelum mati (kehidupan dunia)." (HR. Thabrani)

Anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya adalah anak yang mengingkari kenikmatan dari Allah, dan sekaligus mengingkari kebaikan keduanya, oleh karena itu Allah sangat tidak menyukainya sehingga mempercepat balasan dosanya ketika masih di dunia, agar menjadi pelajaran baginya dan juga bagi yang lainnya bahwa durhaka kepada orang tua itu tenmasuk perbuatan yang sangat dibenci Allah dan balasannya akan diberikan kontan di dunia.
Dalam realitas kehidupan banyak kita dapati anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya selagi masih di dunia mereka hidup sengsara, karena kehidupannya jauh dari restu orang tua dan sekaligus jauh dari ridla Allah, sebab ridla Allah terletak pada keridlaan kedua orang tua dan kemarahan-Nya terletak pada kemarahan keduanya.  

Bab 7
AMANAH

A.  Pengertian Amanah
Kata amanah berasal dan kata bahasa Arab اَمُنَ - يَأْمُنُ yang merupakan kebalikan dad khianah, artiriya kepercayaan atau bisa juga diartikan sebagai terpercaya.’ Kepercayaan adalah modal utama bagi seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dalam setiap usaha yang dilakukan, dan melaksanakan amanah merupakan bagian dan sifat mulia yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap orang yang ingin teijauh dad ahzab Tuhan.

B.  Perintah Untuk Menunaikan Amanah
Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk melaksanakan amanah kepada yang berhak menerimanya. Firman Allah:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
"Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk melaksanakan/ membayar amanah kepada yang punya, dan apabila kamu memberi hukum di antara manusia maka hendaklah kamu menghukumi secara adil, sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberimu nasehat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An-Nisa' : 58)

Menepati janji bagian dan sifat amanah. Karena itu dengan tegas Allah perintahkan kepada manusia untuk menepati janjinya. Firman Allah:  
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ.
"Wahai orang-orang yang beriman tepatilah olehmu akan janjimu?"

Dalam ayat yang lain Allah mengingatkan bahwa janji itu pada saatnya akan dimintakan pertanggungjawaban. Allah berfirman:
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً.
"Dan tepatilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawaban."

Memenuhi janji yang merupakan bagian dan amanah adalah suatu kewajiban yang disyariatkan agama, sehingga mengingkarinya adalah sebuah perbuatan dosa, karena janji adalah hutang. dan sebagaimana hutang wajib dibayarkan maka demiHan pula janji wajib dibayar dengan cara dipenuhi atau dilaksanakan.
Merujuk kepada perintah untuk melaksanakan amanat dan memenuhi janji, sebagaimana tersebut dalam ayat di atas maka Nabi saw. dalam sebuah haditsnya memerintahkan kita untuk rnenunaikan amanat dan tidak mengkhianati orang yang mengkhianati kita. Sabda Nabi:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ (رواه الترمذى)
"Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayakan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Tirmidzi)

Nabi menyuruh umatnya untuk menunaikan amanat dan melarang untuk mengkhianati orang yang telah mengkhianatainya, karena Allah sudah cukup untuk memberikan balasan terhadap perbuatan khianatnya.
Amanah merupakan sifat yang harus dipegang teguh karena menyia-nyiakannya akan menyebabkan kehancuran.  Nabi bersabda:
إَذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ (متفق عليه)
"Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya."

Dalam sabdanya yang lain Nabi menegaskan bahwa amanah dapat mendatangkan rejeki. Tentang hal tersebut Nabi bersabda:
عَنْ جَابِرش الْقَضَاعِى عَنْ عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اْلأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِزْقَ وَ الخِيَانَةُ تَجْلِبُ الفَقْرَ (رواه الديلمى فى مسند الفردوس)
"Dari Jabir al-Qadla’i dari Ali ra. berkata Rasulullah SAW. bersabda: Amanah itu dapat mendatangkan rizki dan khianat itu dapat mendatangkan kefakiran." (HR. Dailami).

Berbeda dengan pengkhianat yang tidak lagi mendapat kepercayaan di hati orang lain, maka orang yang amanah akan mendapat kepercayaan banyak orang. Karena itu sangatlah masuk di akal jika mengatakan bahwa amanah dapat mendatangkan rizki dan khianat dapat mendatangkan kefakiran.
Sebagai ilustrasi barangkali perlu disampaikan di sini sebuah contoh dari amanah yang mendatangkan rizki : Suatu hari ada pengemis seorang anak jalanan yang meminta ke-. pada orang kaya yang lewat di depannya, maka diberilah oleh orang kaya itu sejumlah uang recehan, tetapi malang nasib si kaya, ketika dia meninggalkan pengemis tersebut jatuhlah dompet orang tersebut, dan pengemis itu lalu mengambilnya dan kemudian mengejar si kaya untuk mengembalikannya seraya berkata: "Tuan ini dompet tuan jatuh, lalu saya pungut dan ini saya kembalikan kepada tuan", maka heranlah orang kaya tersebut atas kejujuran pengemis itu, dan sebagai tanda terima kasihnya orang kaya tersebut menawarkan dua pilihan yaitu sejumlah uang dan pekerjaan, tetapi anak tersebut memilih pekerjaan, maka dibawalah anak tadi ke perusahaan tenun miliknya, lalu bekerjalah dia di sana. Dengan ketekunan dan keuletannya akhirnya dia diangkat sebagai manager dalam perusahaan tersebut, walhasil jadilah dia orang kaya lantaran kejujuran dan amanahnya.

C.  Allah Membenci Pengkhianat
Jika amanah merupakan pekerti mulia yang menjadi bagian dan sifat Nabi yang melekat dalam dirinya, maka sebaliknya khianat merupakan sifat jahat yang sangat dibenci Allah. Karena jahatnya sifat khianat itu maka banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. Di antara firman Allah itu adalah:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِيْنَ.
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (QS. Al-Anfal : 58)
وَلاَ تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ أَنفُسَهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيْمًا.
"Janganlah engkau membela kepada orang-orang yang berkhianat kepada diri mereka sendiri, sesungguhnya Allah tidak menyukui orang yang berkhianat lagi berdosa." (QS. An-Nisa' : 107)
إِنَّ اللهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ.
"Sesungguhnya Allah mempertahankan orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap pengkhianat lagi kafir." (QS. Al-Hajj : 38)

Ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa perbuatan khianat merupakan perbuatan yang sangat dibenci Allah, karena akibat darinya akan dapat merugikan dan menyakiti banyak orang sehingga sangat dimungkinkan pengkhianatan dapat merusak hubungan persaudaraan dan persahabatan yang diperintahkan Allah untuk menjaga dan menjalinnya dengan penuh kasih sayang.
Pada level pemerintahan penghianatan seorang pemimpin terhadap amanah yang diberikan rakyat akan dapat menimbulkan rusaknya tatanan suatu pemerintahan. Karena itu Allah sangat membenci pemimpin yang berkhianat dengan mengatakan:  
عَنْ  مَعْقِلٍ بِنْ يَسَارِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَهُ فِى مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (متفق عليه)
"Dari Ma’qil bin Yasar bahwa Ubaidillah bin Ziyad menjenguknya ketika dia sakit, maka Ma’qil berkata kepadanya: Sesungguhnya aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang telah aku dengar dan Rasulullah SAW. saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Seorang hamba yang diamanati oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak melaksanakannya dengan tuntunan yang baik maka dia tidak akan dapat merasakan bau surga." (HR. Bukhari Muslim)

Pemimpin yang mengkhianati rakyat tidak akan dapat merasakan bau surga. Jangankan masuk, baunyapun tidak bisa merasakan. Hadits mi menunjukkan besarnya bahaya khianat bagi kemaslahatan bersama. Karena itu dengan tegas Allah melarang orang-orang beriman untuk mengkhianati amanah yang dipikulkan di pundaknya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَخُوْنُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ.
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal : 27)

Sebaliknya khianat, karena dia merupakan sifat yang sangat dibenci Allah maka pengkhianat itu akan dimusuhi Allah pada hari kiamat nanti. Hal itu ditegaskan oleh Nabi dalam haditsnya yang berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتِهِ أَجْرَهُ (رواه البخارى)
"Dan Abu Hurairah ra. dan Nabi SAW. bersabda: Allah Ta’ala berfirman : Ada tiga orang yang Aku musuhi kelak di hari kiamat, yaitu: orang yang memberikan janji kepada-Ku kemudian melanggarnya, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan orang yang menyewa buruh lalu buruh itu meminta haknya tetapi dia tidak mau memberikan uang sewanya. (HR. Bukhari).”

D.  Bendera Pengkhianatan
Dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda bahwa pada had kiamat para pengkhianat akan memiliki benderanya masing-masing yang memberikan tanda bahwa dininya seorang pengkhianat. Sabda Nabi SAW. :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَابْنِ عُمَرٍ وَأَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالُوْا : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ (متفق عليه)
"Dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Anas r.a. berkata; Nabi SAW. bersabda : Setiap pengkhianat pada hari kiamat akan memiliki bendera yang bertuliskan: Inilah pengkhianatan Fulan.”

Dalam riwayat lain dari Abi Sa’id dikatakan:
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الْحُذْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًاً مِنْ أَمِيْرِ عَامَّةٍ (رواه مسلم)
"Dari Abu Sa’ad al-Khudzriy bahwasanya Nabi SAW. bersabda setiap pengkhianat pada hari kiamat nanti mempunyai sebuah bendera yang ditancapkan di pantatnya, lantas dengan bendera itu dia ditarik ke atas sesuai dengan pengkhianatannya. Ingatlah tidak ada pengkhianat yang lebih jahat daripada pemimpin rakyat yang berkhianat."

Karena jahatnya sifat khianat itu maka dalam sebuah haditsnya Nabi menetapkannya sebagai bagian dari tanda-tanda orang munafik yang dijanjikan Allah untuk mereka tempat yang paling bawah dari neraka. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آَيَةُ الْمُنَافِقُ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (متفق عليه)
"Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasuluilah SAW. bersabda: Tanda orang munafiq itu ada tiga: jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat."  (H.R. Bukhari Muslim).

Dalam hadits lain dikatakan bahwa ada empat hal yang  dapat menjadikannya orang sebagai munafik. Hadits itu berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَرْبَعُ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةً مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ (متفق عليه)
"Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Ada empat hal yang barangsiapa terjerumus ke dalamnya maka dia adalah munafik sejati, dan barangsiapa terjerumus ke dalam salah satu dari empat hal tersebut berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai dia mau meninggalkan sifat itu. Lalu dia menyebutnya: Apabila dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila bermusuhan dia berbuat jahat. (HR. Bukhari Muslim)

Nifaq adalah sifat yang sangat dibenci Allah, karena sifat itu dapat membawa bencana besar bagi pihak yang dikhianati. Dalam peperangan misalnya, ketika terjadi pengkhianatan oleh salah satu pihak yang bertikai, maka akan dapat mendatangkan bencana bagi pihak yang dikhianati.


Bab 8
MENYAMBUNG TALI UKHUWWAH

A.  Pengertian Ukhuwwah
Ukhuwwah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah saudara. Ukhuwwah berarti persaudaraan. Dimaksudkan dengan saudara adalah bukan terbatas pada saudara kerabat yang masih ada hubungan kekeluargaan, akan tetapi saudara seiman, sehingga tidak dibatasi oleh sekat-sekat keturunan, kebangsaan, kedaerahan dan lain-lain.
Hal itu karena Al-Qur'an mengatakan : Setiap mukmin adalah saudara yang diperintahkan Allh untuk saling mengikrarkan perdamaian dan berbuat kebajikan di antara satu dengan yang lainnya, dalam rangka taat kepada-Nya. Firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
"Setiap mukmin adalah saudara, maka damaikanloah antara dua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah semoga engkau mendapat rahmat." (QS. Al-Hujuraat : 10)

B.  Perintah Silaturrahmi
Silaturrahmi adalah istillah yang cukup akrab dan populer di dalam pergaulan umat manusia sehari-hari. Istilah itu sesungguhnya berasal dari kata bahasa Arab yang artinya menyambung tali kasih sayang, yang merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup termasuk di dalamnya binatang.
Kasih sayang merupakan sifat Allah yang sangat banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Sebagai orang yang percaya kepada-Nya tentau harus berupaya untuk meneladani sifat keutamaan Allah tersebut dalam menjalani kehidupannya, karena sesuai janji-Nya Allah akan menjadikan kasih sayang ada di dalam hati orang-orang beriman dan beramal shaleh. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, Yang Maha Rahman (Allah) akan mengadakan bagi mereka perasaan kasih sayang bagi sesamanya." (QS. Maryam : 96)

Berangkat dari ayat Al-Qur'an di atas secara logika setiap mukmin seharusnya hidup berdampingan dengan penuh kasih, akan tetapi di dalam realitanya kehidupan masa kini penuh dengan permusuhan, pertikaian, perselisihan, pertengkaran, adu domba, dan sifat-sifat tidak terpuji lainnya yang semuanya menunjukkan kering dan minimnya sifat kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan Islam dalam berbagai ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi sebagai sumber ajarannya telah banyak menganjurkan pentingnya kasih sayang terhadap sesama, serta melarang setiap sifat yang berbau permusuhan dan pertikaian.
Perintah untuk saling mengasihi itu ditunjukkan Nabi SAW. melalui sabdanya :
عَنْ سَهَلِ بْنِ سَعِدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِرْحَمْ مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكَ مَنْ فِى السَّمَاءِ (حديث حسن روه الطبرانى)
"Dari Sahal bin Sa'ad RA. Berkata : Nabi SAW. bersabda : Sayangilah penduduk bumi niscaya menyayangimu yang ada di langit." (HR. Tirmidzi)
Hadits di atas memerintahkan kepada kita untuk menyayangi semua yang hidup di bumi termasuk di dalamnya binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena jika kita manusia dapat melakukan hal itu, maka Allah dan para malaikat akan menyayangi kita. Sebaliknya jika manusia saling benci di antara sesama makhluk hidup, dan tidak menyayangi lingkungan, maka tidak menutup kemungkinan Allah juga tidak akan menyayangi mereka.
Sedangkan Allah, apabila telah menyayangi dan mencintai hamba-Nya, maka akan menaruh cinta-Nya itu di hati para Malaikat, dan demikian pula apabila Dia membenci hamba-Nya, maka akan menaruh kebencian-Nya itu di hati para Malaikat kemudian menaruhnya di hati semua anak Adam. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا قَذَفَ حُبَّهُ فِى قُلُوْبِ الْمَلاَئِكَةِ، وَإِذَا أَبْغَضَ اللهُ عَبْدًا قَذَفَ بُغْضَهُ فِى قُلُوْبِ الْمَلاَئِكَةِ ثُمَّ يَقْذِفُهُ فِى قُلُوْبِ اْلآدَمِيِّيْنَ (رواه ابن نعيم فى الحلية)
"Dari Anas RA. Berkata : Nabi SAW. bersabda : Apabila Allah telah mencintai seorang hamba, Dia menaruh cinta-Nya di hati para Malaikat, dan apabila  Allah membenci seorang hamba, Dia menaruh kebencian-Nya di hati para Malaikat kemudian menaruhnya di hati anak Adam." (HR. Ibnu Na'im dalam kitabnya Al-Hilyah)

Karena itu jika seseorang memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama, maka Allah akan mengasihinya dan kasih Allah tersebut akan diletakkan di hati para malaikat dan semua manusia akan mengasihi orang yang memberikan kasihnya kepada orang lain, dan demikian sebaliknya.
Kaish sayang akan sanggup menjadi perekat tali persaudaraan antar sesama, dan sebaliknya permusuhan dan kebencian akan menjadi penyebab terputusnya tali persaudaraan dan persahabatan yang dilarang oleh agama.
Karena itu menyambung tali persaudaraan akan dapat menjadi sarana kelapangan rizki dan panjangnya umur. Hal itu sebagaimana hadits Nabi :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثُرِهِ فَالْيَصِل رحمه (متفق عليه)
"Dari Anas RA. Dia berkata : Barangsiapa ingin ingin dilapangkan rizkinya dan ditangguhkan atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali kasih dengan keluarganya." (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits riwayat Bukhari dikatakan bahwa menyambung tali persaudaraan atau kekeluargaan bukanlah sekedar mengimbangi kebajikan yang telah dilakukan sanak keluarga akan tetapi penyambung tali kekeluargaan adalah orang yang ketika ada keluarga –yang karena suatu sebab- memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya, dia sanggup dan bersedia untuk memperbaiki dan menyambung tali yang telah diputuskan tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim dikatakan bahwa Rahim/kasih sayang atau kekeluargaan itu tergantung di Arsy, siapa yang menyambungnya dengan dia, Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutuskannya, Allah akan memutuskannya. Bunyi hadits itu sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُوْلُ : مَنْ وَصَلَنِى وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِى قَطَعَهُ اللهُ (متفق عليه)
"Dari Aisyah RA. dari Nabi SAW. bersabda : Rahim/kekeluargaan itu tergantung di Arsy. Rahim itu berkata : Barangsiapa menyambungku Allah akan menyambungnya, dan barangsiapa memutuskanku, maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya."    (HR. Bukhari Muslim)

Manusia hanya akan jadi seperti apa yang dia usahakan, demikian pula dengan jalinan kasih dalam pergaulan, ketika seseorang mempererat tali kekeluargaan, maka tali itu akan menjadi lekat dan kuat, akan tetapi sebaliknya ketika dia mengupayakan untuk memutuskan tali tersebut, maka akan hilanglah keharmonisan sebuah persahabatan atau persaudaraan, sehingga yang tinggal hanyalah kegalauan dalam hidup karena ketika dia putuskan hubungan dengan keluarga, maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Ketika Allah telah memutuskan hubungan dengan hamba-Nya, maka tidak ada yang lain yang terjadi dalam diri hamba itu kecuali penderitaan, dan jika seorang hamba memiliki hubungan yang harmonis dengan Allah sebagai pencipta dan pemiliknya, maka hanya kebahagiaan dan ketentraman yang dia rasakan. Karena itu ketika seorang sahabat meminta kepada Nabi untuk ditunjukkan terhadap amalan yang dapat memasukkannya ke surga, Nabi mengatakan bahwa salah satunya adalah menyambung tali persaudaraan. Tentang hal ini Nabi bersabda :
عَنْ أَبِى اَيُّوبَ خَالِدِ بْنِ زَيْدٍ الأَنْصَارِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِم (متفق عليه)
"Dari Abu Ayub Khalid bin Zaid RA. bahwa seseorang telah berkata : Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku tentang amalan yang dapat memasukkanku ke surga! Maka Nabi SAW. bersabda : Engkau sembah Allah dan jangan engkau sekutukan Dia dengan sesuatu pun, engkau dirikan shalat, engkau bayarkan zakat, dan engkau sambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits di atas secara tegas Nabi menyampaikan bahwa silaturrahmi termasuk amalan yang dapat memasukkan orang ke dalam surga Allah, apabila orang itu beriman, mendirikan shalat, dan memberikan hak fakir miskin dengan mengeluarkan zakat.

C.  Larangan Memutuskan Tali Kasih
Nabi SAW. bersabda :
عَنْ جَابِرْ بِنْ مُطْعِمْ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ وَيَعْنِى قَاطِعُ الرَّحْمِ (متفق عليه)
"Dari Jabir bin Muth'im berkata : Rasulullah SAW. bersabda : Tidak masuk surga orang yang memutuskan, yaitu memutuskan hubungan persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang memutuskan hubungan persaudaraan berarti dia telah berbuat maksiat karena telah melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya tentang kewajiban umat Islam untuk menyambung tali persaudaraan. Bahkan sekedar menjauhi dan meninggalkan saudaranya lebih dari tiga malam dengan niat memutuskan hubungan persaudaraaan pun tidak dibenarkan. Sebagaimana sabda Nabi :
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُ هُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ.
"Dari Abu Ayub Al-Anshari RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda : Tidak dihalalkan bagi seseorang meninggalkan saudaranya sampai lebih dari tiga malam, keduanya beremu dan saling berpaling, sedangkan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan salam." (Husain bin Al-Mubarak dalam At-Tajriid ash-Shariih)

Dalam sabdanya yang lain Nabi mengatakan :
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَعْمَالَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عِشْيَةَ الْخَمِيْسِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، فَلاَ يَقْبَلُ عَمَلَ قَاطِعُ الرَّحْمِ (رواه البخارى)
"Dari Abu Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya amal umatku dilaporkan (kepada Allah) pada hari Kamis malam Jum'at, maka tidaklah diterima amal orang yang memutuskan hubungan persaudaraan." (HR. Bukhari)
وَعَنْ إِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ أَبْوَابَ  السَّمَاءِ مُغْلَقَةً دُوْنَ قَاطِعُ الرَّحْمِ (رواه الطبرانى)
"Dari Ibnu Mas'ud RA. berkata : Nabi SAW. bersabda : Sesungguhnya pintu-pintu langit itu tertutup untuk orang yang memutuskan hubungan persaudaraan." (HR. Thabrani)

Dua hadits di atas memperjelas betapa Nabi telah mengutuk perbuatan dari orang-orang yang memutuskan tali silaturrahmi atau hubungan persuadaraan, yang secara tegas diperintahkan Allah untuk senantiasa menyambungnya, sehingga dikatakan bahwa amal seseorang yang dalam keadaan memutuskan hubungan persaudaraan tidak diterima oleh Allah, dan oleh karenanya dikatakan pula bahwa  pintu-pintu langit yang di sana penuh dengan berkah juga tertutup untuk orang-orang yang memutuskan hubungan tali persaudaraan.
Hal itu dapat dipahami karena kecintaan seseorang terhadap saudaranya merupakan bukti dari keimanan seseorang, sehingga ketika seseorang telah memutuskan hubungan kasih sayang terhadap sesama sebagai bentuk persaudaraan, maka dia telah kehilangan sebagian dari keimanannya, karena keimanan yang sempurna menuntut kecintaan terhadap sesama muslim sebagaimana cintanya terhadap diri sendiri. Sabda Nabi :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق عليه)
"Dari Anas RA. dari Nabi SAW. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah sempurna keimanan seorang hamba sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari Muslim)

Cinta  akan selalu melahirkan perhatian dan kepedulian, cinta juga akan membuat seseorang rela berkorban, karena itu untuk mewujudkan rasa cinta terhadap sesama. Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menolong saudaranya baik dalam keadaan dhalim atau madhlum. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ : تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيِ (تَمْنَعُهُ عَنِ  الظُّلْمِ بِالْفِعْلِ إِنْ لَمْ يَمْتَنَعُ بِالْقَوْلِ)
"Dari Anas RA. berkata : Rasulullah SAW. bersabda : Tolonglah saudaramu dalam keadaan menganiaya atau teraniaya. Meraka berkata : Wahai Rasul Allah ini kami tolong karena teraniaya, bagaimana kami menolong orang yang aniaya? Nabi bersabda : Engkau cegah dari kedhaliman dengan tangan kalau tidak bisa dengan lisan." (Musthafa Muhammad dalam Jawahirul Bukhari)

Pepatah mengatakan bahwa teman sejati adalah orang yang bisa membuatmu menangis bukan yang membuatmu tertawa. Nasehat atau peringatan adalah sesuatu yang terkadang menyakitkan, akan tetapi sebenarnya dia merupakan bentuk dari kasih sayang, karena membiarkan orang yang melakukan kesalahan sama dengan menjerumuskannya. Karena itulah jagalah persaudaraan dan pertemanan dengan bersedia saling tolong menolong dalam kebaikan agar selamat dalam menjalani kehidupan.

Bab 9
AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNGKAR

A.  Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar berasal dan kata bahasa Arab. أَمْرٌ/اْلأَمْرُ merupakan mashdar atau kata dasar dan fi'il atau kata kerja  أَمَرَ   yang artinya memenintah atau menyuruh. Jadi أَمْرٌ/اْلأَمْرُ artinya perintah. مَعْرُوْفٌ artinya yang baik atau  kebaikan/kebajikan.  Sedangkan اْلأَمْرُ الْقَبِيْحُ = اَلْمُنْكَرُ yaitu perkara yang keji.’
Memerintahkan untuk suatu kebajikan dan melarang terhadap suatu kemungkaran adalah penintah agama, karena itu ia wajib dilaksanakan oleh setiap umat manusia. Allah berfirman :
Mahasiswa menyadari bahwa sebagai orang beriman dirinya memiliki kewajiban untuk beramar ma’ruf dan bernahi mungkar, kemudian berdasarkan kesadarannya itu dia berusaha untuk dapat melakukannya dalam realitas kehidupan.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Jadilah di antara kalian suatu umat yang mengajak kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf/kebajikan dan melarang terhadap yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan." (QS. Ali Imran : 104)

Orang-orang yang taqwa kepada Allah akan selalu mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang terhadap yang mungkar, mereka itu akan mendapat limpahan rahmat dari Allah, karena mereka itu adalah sebaik-baik umat manusia. Firman Allah:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, sehingga beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran : 110)

Allah telah mengabadikan bagaimana seorang Luqman al-Hakim di dalam memberikan nasehat dan pendidikan kepada anaknya, di mana setelah melarang anaknya untuk berbuat syirik, kemudian memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, Luqman juga menganjurkan kepada anaknya untuk menyuruh manusia berbuat kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Firman Allah itu adalah:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ.
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dan perbuatan yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diinginkan (oleh Allah)." (QS. Luqman : 17)

Di dalam firman-Nya yang lain Allah juga memerintahkan hambanya untuk menjadi pemaaf dan menyuruh kepada kebaikan, firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ.
"Jadilah engkau seorang yang pemaaf dan perintahkanlah kepada manusia untuk mengerjakan kebajikan serta jauhilah orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raf : 199)

Firman-Nya yang lain pula:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ.
"Dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi penolong atas sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) kebajikan dan mencegah dari yang mungkar." (QS. At-Taubah : 71)

B.  Keutamaan Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Di dalam menyampaikan kebenaran manusia dituntut untuk dapat memulainya dan diri sendiri untuk melakukannya, dan baru kemudian mengajak kepada orang terdekat, kaum kerabat, tetangga dan seterusnya untuk melakukan dan amal kebajikan sebagaimana dia telah melakukannya. Demikian pula ketika seseorang melarang terhadap suatu kemungkaran atau tindak kejahatan, maka tentu harus dimulai dan dirinya terlebih dahulu untuk meninggalkan kejahatan tersebut, kemudian baru mengajak kepada orang lain untuk meninggalkannya sebagaimana dia telah meninggalkannya, dengan demikian dakwah yang disampaikannya akan menjadi efektif dan dia akan terlepas dan cela dan dosa.
Amar ma’naf dan nahi mungkar merupakan perintah agama yang wajib untuk dilaksanakan oleh semua umatnya. Dalam kaitannya dengan keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat al-Qur’an di atas, Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَالْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ فَذَالِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (رواه مسلم)
"Dari Aim Said berkata bersabda Nabi SAW.: Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa maka dengan hatinya, dun yang demikian itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim)

Dalam kaidah ushul dikatakan bahwa al-amru lil wujub perintah itu wajib (untuk dikerjakan), artinya meninggalkannya akan berakibat dosa. Dan kaidah tersebut dapat dipahami bahwa membiarkan kemungkaran tanpa adanya upaya untuk menghentikan membawa risiko mendatangkan dosa, karena mengubah atau menghentikannya mempakan suatu kewajiban, baik melalui tindakan, lisan ataupun setidaknya dengan hati, artinya hati merasa tidak rela dan sedih ketika melihat tindak kemungkaran atau kejahatan, dan upaya melarang atau menghalangi kemungkaran dengan cara yang terakhir itu merupakan indikator dan lemahnya keimanan seseorang, karena terindikasi bahwa dia tidak berani melawan kejahatan secara terang-terangan. Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan bahwa pada hari kiamat Allah akan menanyakan tentang sebab orang yang melihat kemungkaran dan mengingkarinya. Hadits itu berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْحُذْرِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلَ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلُ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ ‏اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ، قَالَ : يَا رَبِّى رَجَوْتُكَ‏ وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ. (رواه ابن ماجه وابن حبان)
"Dan Aim Sa’id al-Hudzriyi r.a. Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah pasti akan bertanya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan pertanyaan: Siapa yang menghalangimu jika engkau melihat kemungkaran untuk mengingkarinya? Maka jika Allah menuntun alasan kepada hamba-Nya dia akan berkata: Wahai Tuhan aku telah mengharapkan-Mu dan aku memisahkan diri dari manusia." (H.R. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak menghalangi atau melarang perbuatan mungkar, karena membiarkannya merupakan bagian dan perbuatan mungkar itu sendiri, karena jika seseorang mendapatkan petunjuk Allah maka ketika melihat sebuah kemungkaran, minimal dia akan menjauhi dan meninggalkan perbuatan mungkar tersebut dan dengan itu dia mengharapkan Allah akan merahmatinya. Dalam sabdanya yang lain Nabi menjelaskan bahwa orang yang menunjukkan kepada kebajikan itu akan mendapatkan pahala dan Allah seperti orang yang melakukannya. Nabi bersabda:
عَنْ إِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ (حديث حسن رواه احمد فى مسنده ومسلم ووأبو داوود والترميذى)
"Dan Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Barangsiapa menunjukkan kepada kebajikan maka baginya pahala seperti orang yang melakukannya." (Hadits hasan Riwayat Ahma, Muslim, Aim Dawuud dan Tirmidzi).

Demikian besar keutamaan beramar ma’ruf sehingga Nabi menyatakan bahwa pahala menyuruh kepada kebaikan itu sepadan dengan pahala orang yang melakukannya. Demikian pula dalam sabdanya yang lain Nabi menegaskan bahwa pahala orang yang memerintahkan kepada kejahatan juga sepadan dengan orang yang melakukannya. Bahkan dalam sabdanya yang lain Nabi menegaskan orang yang membiarkan kejahatan itu dikhawatirkan akan turut mendapat imbasnya. Dalam hal ini Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ اَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مَنْهُ (رواه أبو داوود والترمذى والنسائ)
"Dan Abu Bakar r.a. berkata. Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang berbuat aniaya dan mereka tidak mencegahnya, dikhawatirkan Allah akan meratakan siksanya disebabkan perbuatan tersebut."
Tindak kedhaliman merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus diberantas dan muka bumi ini, karena di samping merugikan diri sendiri kejahatan tersebut juga membawa kerugian bagi orang lain. Karena itu hadits-hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa dakwah atau ajakan untuk meninggalkan kemungkaran dan menegakkan kebenaran di muka bumi merupakan pekerjaan mulia yang harus diapresiasi dan dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan, jika kemungkaran sudah merajalela dan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar sudah tidak lagi dilaksanakan selain kehancuran dan robohnya tatanan kehidupan dunia ini.
Oleh karena itu, sebagai mukmin kita wajib untuk selalu mengajak manusia kepada kebajikan, di samping diri sendiri telah melakukan, karena jika kemungkaran dibiarkan dan kebajikan tidak dikumandangkan untuk dilaksanakan guna mengisi dan mewarnai kehidupan ini maka apa yang akan terjadi hanyalah kehancuran dunia in Lebih dari itu dikhawatirkan orang yang membiarkan kemungkaran akan turut mendapatkan siksa dari kejahatan orang lain. Oleh karenanya maka kita harus mencegah atau menghalanginya jika melihat atau mengetahui seseorang melakukan kemungkaran, karena jika tidak dikhawatirkan akan turut terkena imbas dosa dan siksanya.

Bab 10
K E J U J U R A N

A. Pengertian Jujur
Kejujuran merupakan modal utama untuk menjadi manusia baik. Kata jujur sendiri memiliki pengertian terjadinya keselarasan dan kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dan yang terungkap melalui lisan maupun perbuatan. Atau dengan kata lain satunya kata hati, kata lisan dan perbuatan.
Jujur berkonotasi dengan benar yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Shidiq اَلصِّدْقُ yang bisa berarti kebenaran dan bisa juga diartikan sebagai kejujuran, hal itu karena orang yang jujur akan selalu mengatakan yang sebenar-benarnya.
Dalam alam global seperti sekarang mi, di mana persaingan dalam segala bidang menjadi pola hidup yang tidak dapat dihindarkan, kejujuran kemudian menjadi seperti barang antik yang sulit didapatkan. Setiap hari kita dengar berita tentang penipuan, perampokan, pencurian, penggelapan, pemalsuan, korupsi, manipulasi, dan aksi-aksi lain yang bersumber dari tidak adanya kejujuran seseorang terhadap dirinya sendiri. Sebab jika orang mau jujur terhadap diri sendiri, bersedia mendengarkan suara hati nurani, pasti akan mengatakan bahwa semua tindakan di atas bertentangan dengan panggilan hati nurani yang tidak pernah membenarkan aksi-aksi terkutuk itu. Karena suara hati nurani adalah hidayah Allah yang dikaruniakan kepada manusia dan menyatu dengannya.
Tidak adanya kejujuran akan menimbulkan krisis kepercayaan yang pada gilirannya akan melahirkan krisis multi dimensi, yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan, baik pada tingkat kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun sampai pada tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila manusia sudah meninggalkan apa yang disebut “kejujuran”. Karena itu Allah perintahkan kepada hamban-Nya yang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dan senantiasa berlaku jujur (berkata benar). Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوْا قَوْلاً سَدِيداً.
"Hal orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar (berkatalah yang sebenarnya)." (Al-Ahzab : 70)

Ayat di atas secara tegas memerintahkan kepada manusia untuk berlaku jujur (berkata tentang sesuatu sesuai dengan fakta yang ada), karena lanjut ayat tersebut bahwa kejujuran akan mendatangkan kebaikan dari Allah dan menjadi penyebab terampuninya dosa-dosa. Dan jika dipahami dengan logika terbalik maka akan dinyatakan bahwa kedustaan akan mendatangkan kejahatan dan melahirkan dosa-dosa, sedangkan tindak kejahatan dan perbuatan dosa akan mendatangkan kemarahan dan kutukan Allah.
Karena itu di dalam firman-Nya yang lain Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوْا مَعَ الصَّادِقِينَ.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakawalah kepada Allah, dan hendaklah kamu sekalian bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah : 119)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kejujuran merupakan barang mahal yang hanya dimiliki oleh orang yang taqwa kepada Tuhan, dan sebaliknya kedustaan adalah sifat rendah dari orang-orang jahat, yang akan mengantarkannya kepada kesengsaraan dunia akhirat.

B.  Perintah Nabi Untuk Berlaku Jujur
Karena itu Nabi memerintahkan umatnya untuk senantiasa berlaku jujur. Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّهُ مَعَ البِرِّ، وَهُمَا فِى الْجَنَّةِ، وَاِيَّاكُمْ وَالْكِذْبَ فَإِنَّهُ مَعَ الفُجُوْرِ وَهُمَا فِى النَّارِ، وَاسْأَلُوا اللهَ الْيَقِيْنَ وَالْمُعَافَاةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُؤْتَ أحَدٌ بَعْدَ الْيَقِيْنِ خَيْراً مِنَ الْمُعَافَاةِ، وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاْ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا، وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ. (رواه أحمد والبخارى وابن ماجه)
Dari Abu Bakr R.A. berkata: Rasulullah SAW. : Hendaklah kamu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu bersama dengan kebaikan, dan keduanya ada di surga, dan hendaklah kamu menjauhi kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu bersama kejahatan, dan keduanya ada di dalam neraka, dan bertanyalah kamu kepada Allah tentang keyakinan dan pemberian maaf, karena sesungguhnya tidak ada kebaikan yang dapat ditunjukkan seseorang setelah keyakinan, kecuati pemberian maaf. Karenanya janganlah engkau saling dengki, jangan saling membenci, jangan saling memutuskan tali persaudaraan, dan jangan saling membelakangi, serta jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana Allah penintahkan kepadamu. (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah)

Dan sabda Nabi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan yang dapat diukir dan diciptakan melalui kedustaan, karena dan satu kata “dusta” akan dapat terlahir berbagai macam tindak kejahatan sehingga dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa ketika Nabi kedatangan seorang kafir Quraisy yang dalam pengakuannya telah melakukan semua larangan Allah, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara bertaubat, sedangkan dia ingin bertaubat. Maka ketika itu Nabi hanya mengajukan satu syarat untuk dipenuhinya jika dia benar-benar mau bertaubat, syarat itu adalah “jujur” Dan sini dapat dipahami bahwa kejujuran merupakan pangkal segala kebaikan.
Islam yang dibawa Muhammad SAW. memiliki konsep akhlak yang sangat indah untuk diaplikasikan dalam kehidupan yang semuanya merupakan pancaran cahaya hidayah al-Qur’an yang terejawantahkan dalam perilaku sehari-hari Rasulullah SAW., karena akhlak Rasul adalah al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dikatakan ‘Aisyah istri Nabi ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka dia menjawab: Akhlaknya adalah al-Qur’an. Itu artinya bahwa apa yang dikerjakan dan ditinggalkan Nabi dalam perjalanan hidupnya senantiasa dilandasi dan berpijak kepada petunjuk al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan jika Allah telah memuji keagungan akhlak Nabi dengan firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ.
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung."

Sebagai umat Muhammad yang baik pasti kita akan berusaha untuk meneladani sifat-sifatnya terlebih kejujurannya, karena itu Allah perintahkan kepada orang beriman untuk berada bersama orang-orang yang benar (jujur), dan menjauhi orang-orang kafir yang mendustakan kebenaran karena mereka itu adalah orang yang paling aniaya. Kejujuran harus ditegakkan dan dilaksanakan oleh setiap orang jika mereka menginginkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Kejujuran akan mendatangkan kebajikan dan sebaliknya kebohongan akan mendatangkan bencana. Nabi bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَالْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّبًا (متفق عليه)
"Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Hendaknya kalian senantiasa jujur karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan dan kebajikan itu membawa ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu akan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan membawa ke neraka. Selama seseorang itu sering dusta dan membiasakan berdusta maka akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Muslim)

Dusta merupakan bagian dari sifat atau tanda orang munafik, sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi:
 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (متفق عليه)
"Tanda orang munafik itu ada tiga: bila berkata berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat."

Dusta merupakan bagian dari tanda orang munafik karena karakter orang munafik itu adalah bermuka dua atau lain di mulut lain pula di hatinya dan bahkan dalam tindakannya. Orang berdusta adalah orang yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya hatinya mengatakan lain, barangkali karena sesuatu yang dikatakan itu tidak ada atau tidak terjadi, sehingga dia telah mengelabuhi orang lain dan bisa jadi mencelakakan orang lain. Karena itu Allah sangat membenci kepada orang-orang munafik yang memiliki tiga ciri sifat jahat yang satu sama lain biasanya saling terkait. Allah berjanji akan menempatkannya di bagian bawah dari jurang neraka, sebagaimana firman-Nya:
Dalam hadits lain Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بِنْ عَلِى بِنْ أَبِى طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَ يُرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رَيْبَةٌ. (رواه الترمذي)
"Dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: Saya telah menghafal dari Rusulullah SAW.: Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa-apa yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kejujuran itu menimbulkan ketenangan dan kedustaan itu menimbulkan keraguan." (HR. Tirmidzi)  

Orang yang berkata apa yang sebenarnya (jujur) hatinya akan tenang karena dia berada pada jalan yang benar, akan tetapi orang yang berdusta pasti akan merasa gundah gulana, hatinya was-was dan tidak tenang sebab dia sedang berada di luar rel/ketentuan hukum Allah, sebab dusta perbuatan yang dilarang Allah, dan orang beriman akan merasa gembira dengan amal baiknya, dan merasa sedih dengan amal jahatnya. Karena dusta adalah amal jahat maka orang mukmin akan resah hatinya ketika berdusta. Karena itu secara tegas Nabi melarang umatnya untuk berdusta dengan mengatakan:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ مُجَانِبٌ لِلإِيْمَانِ (رواه أحمد)
"Dari Abu Bakar r.a berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Jauhilah olehniu dusta, karena sesungguhnya dusta itu menjauhkan dari iman." (HR. Ahmad).

Dalam sabdanya yang lain Nabi memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur dengan mengatakan sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ صَخْرَ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ حَدِيْثِ طَوِيْلٍ فِيْ قِصَةِ هِرَاقُلَ قَالَ هِرَاقُلَ: فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ يَعْنِى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ: قُلْتُ: يَقُوْلُ اُعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرَكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعِفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
Dari Abu Sufyan Shakhr bin Har ra. di dalam haditsnya yang panjang tentang cerita pertanyaan Heraklius kepadanya. Heraklius berkata: Apa yang Nabi perintahkan untukmu? Abu Sufyan berkata Nabi bersabda : Sembahlah Allah yang Esa jangan engkau sekutukan Dia dengan sesuatu pun, tinggalkan ajaran nenek moyangmu, dan memerintahkan kami untuk mendirikan shalat, jujur, pemaaf dan menyambung tali sillaturrahim." (HR. Bukhari Muslim)

Dusta merupakan perbuatan yang mengandung dosa yang dapat memberikan madharat baik bagi diri pelakunya maupun bagi orang lain, karena itu dalam banyak haditsnya, Nabi senantiasa melarang perbuatan dusta dan menganjurkan kepada kejujuran, karena jujur pangkal kesuksesan dan dusta sering menjadi sumber malapetaka. Karena itu dusta juga dikatagorikan sebagai perbuatan maksiat yang dapat mengurangi keimanan seseorang, karena iman seseorang akan bisa bertambah dan bisa juga berkurang. Bertambah dengan banyaknya amal kebajikan/amal shaleh dan berkurang dengan banyaknya maksiat kepada Allah.

C.  Dusta yang Diperbolehkan
Dusta memang merupakan perbuatan tercela dan dilarang oleh agama, namun demikian sebagaimana hukum selalu ada istitsna’ atau perkecualiannya, maka demikian juga halnya dengan dusta.
Dalam hal-hal tertentu yaitu dalam tiga situasi dan kondisi yang telah ditentukan, Nabi memperbolehkan umatnya untuk berdusta. Dusta yang diperbolehkan itu adalah sebagairnana dikatakan Nabi dalam sabdanya:
عَنْ اُمِّ كُلْثُوْمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِى خَيْرًا وَيَقُوْلُ خَيْرًا (مُتَفَقٌّ عَلَيْهِ) وَزَادَ مُسْلِمٌ فِى رِوَايَةِ : قَالَتْ اُمُّ كُلْثُوْمٍ : وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُوْلُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ، يَعْنِي: اَلْحَرْبُ، وَاْلإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيْثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيْثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.
"Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ía mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Tidaklah dinamakan berbohong orang yang mendamaikan sengketa di antara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan." (HR. Bukhari Muslim).

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan bahwasanya Ummu Kultsum berkata: Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW. memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin) kecuali dalam tiga hal. Yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa di antara manusia, dan pembicaraan laki-laki terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya. Pada dasarnya semua kebohongan itu dilarang tetapi dalam tiga hal sebagaimana tersebut di atas berbohong diperbolehkan, karena dalam hal-hal di atas kejujuran justru dikhawatirkan akan mendatangkan madharat. Seperti orang muslim yang ditanya tentang keberadaan pihak musuh yang sedang dicari di dalam peperangan, kalau dia tahu dan jujur, maka tentu pihak lawan akan mendapatkan musuh itu dan akan dibunuhnya. Demikian pula orang yang mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, jika untuk bisa mendamaikan keduanya harus menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak terjadi, maka kebohongan untuk kebaikan itu diperbolehkan. Sama halnya pembicaraan antara suami istri yang dimaksudkan untuk menimbulkan kebaikan, misalnya istri masak tidak enak dan keasinan, lalu ketika sedang makan suami ditanya tentang masakannya dan dia menjawab enak dan tidak keasinan. Kabohongan-kebohongan di atas diperbolehkan karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar.


Bab 11
KEUTAMAAN SEDEKAH

A.  Pengertian Sedekah
اَلصَّدَقَةُ هِيَ عَطِيَّةٌ يُرَادُ بِهَا الْمَثْوَبَةَ لاَ الْكَرَامَةَ.
Sedekah yaitu suatu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala bukan untuk suatu kehormatan atau kemulyaan. Sedekah merupakan bentuk kepedulian seseorang terhadap orang lain untuk turut meringankan beban yang sedang dideritanya.
Kepedulian berasal dan kata peduli. Ia merupakan bagian dari sifat terpuji yang patut untuk mendapatkan apresiasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Peduli memiliki pengertian; mengindahkan, memperhatikan, atau menghiraukan, yang pada umumnya memiliki konotasi dengan hal-hal positif. Seperti, peduli terhadap penderitaan orang lain, peduli terhadap nasib rakyat miskin, dan lain sebagainya.  
Kepedulian hanya akan lahir dan orang-orang yang hatinya masih hidup. Karena di jaman seperti sekarang ini banyak orang-orang yang masih hidup dengan segala kemewahannya, namun sesungguhnya hati mereka telah “mati”. Mata hati mereka tidak lagi dapat melihat penderitaan dan kesulitan saudara-saudaranya yang miskin, telinga mereka tidak lagi dapat mendengar jerit tangis anak-anak yatim yang kelaparan, rintihan orang-orang miskin yang hidup serba kekurangan, lantaran hati mereka sudah terkunci mati, tertutup kabut keserakahan, silau terhadap kemilau harta dunia.
Orang-orang yang hatinya telah terkunci mati tidak pernah mau mengerti bahwa di dalam harta yang mereka kumpul-kumpulkan itu terdapat hak orang miskin dan anak yatim yang tidak berdaya, dan lebih dari itu sesungguhnya semua yang telah dikumpulkan itu akan ditinggalkan dan tidak akan dapat memberikan faedah apa-apa dalam kehidupan abadinya di akhirat nanti bahkan akan menjadi bara api neraka yang membakarnya sampai ke dalam hatinya.

B.  Perintah untuk Bersedekah sebelum Hari Kiamat
Harta yang menjadi hak milik hakiki adalah harta yang dibelanjakan di jalan Alah, sedangkan semua harta yang masih dalam genggamannya adalah titipan Allah yang sewaktuwaktu dapat diambil kembali.  
Karena itu Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menafkahkan sebagian rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya sebelum kiamat datang sebagai wujud kepedulian terhadap sesama. Perintah itu disampaikan Allah melalui flrman-Nya:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّّ بَيْعٌ فِيْهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُوْنَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ.
"Wahai orang-orang yang beriman! Belanjakanlah sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepadamu, sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli pada hari itu tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi pertolongan (yaitu hari kiamat,). Dan orang-orang kafir itu mereka orang-orang yang aniaya." (QS. Al-Baqarah : 254)

Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya. Firman Allah:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebuah biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus butir dan Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui."

Ayat di atas menginspirasikan kepada kita bahwa harta yang dibagi kepada orang yang lebih memerlukan dengan niat tulus karena tunduk perintah Allah itu pada dasarnya tidaklah hilang, akan tetapi justru akan menjadi berlipat ganda dengan kehendak Allah, karena menolong orang lain berarti menolong Allah, dan Allah pasti akan menolongnya.
Karena itu Nabi memerintahkan agar kita rajin bersedekah selagi hayat masih dikandung badan Sebab akan datang suatu hari di mana orang tidak lagi memerlukan sedekah. Nabi bersabda:
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ وَهَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوْا فَسَيَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانًا يَمْشِى الرَّجُلُ بِصَدَقَتِهِ فَيَقُولُ الَّذِى يَأْتِيْهِ بِهَا: لَوْ جِئْتَ بِهَا الأَمْسِ لَقَبِلْتُهَا فَأَمَّا الآنَ فَلاَ حَاجَةَ لِيْ فِيْهَا، فَلاَ يَجِدُ مَنْ يَقْبَلُهَا.
"Bersedekahlah kalian karena akan datang kepadamu suatu masa di mana seorang berjalan dengan membawa sedekahnya, maka berkatalah orang yang mau diberinya itu: Andaikata engkau datang kemarin niscaya aku terima sedekahmu itu, adapun sekarang maka aku tidak memerlukannya lagi, maka tidak dia dapati orang yang mau menerimanya. (HR. Bukhari Muslim)

Islam mengajarkan kepada manusia untuk memiliki kepedulian terhadap sesama, karena pada hakekatnya semua anugerah yang dimiliki seseorang itu adalah amanah dari Allah untuk ditasharufkan sesuai dengan kehendak-Nya, di mana di dalam harta orang kaya terletak hak orang miskin yang harus diberikan kepada mereka. Karena itu dengan tegas, melalui firman Allah dalam al-Quran Islam telah menetapkan orang-orang yang tidak mempedulikan anak-anak yatim dan membiarkan serta menterlantarkan orang-orang miskin sebagai pendusta agama, lantaran mereka mengkhianati amanah Allah yang diberikan kepadanya.
Ketetapan Allah itu tertuang di dalam Firman-Nya:
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ (1) فَذَالِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ (2) وَلاْ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
"Apakah engkau tahu orang yang mendustakan agama (1) Dia itulah orang yang membiarkan (menterlantarkan) anak yatim (2) Dan tidak membantu memberi makan orang-orang miskin(3)." (QS. Al-Maa'uun : 1-3)

Ayat-ayat di atas memberikan kita pelajaran bahwa kepedulian merupakan sesuatu yang niscaya bagi orang-orang yang menamakan dirinya muslim. Karena hilangnya kepedulian terhadap beban anak-anak yatim yang terlantar, dan penderitaan orang-orang miskin yang kelaparan, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Islam, yang pada saatnya akan mendapatkan perhitungan dan Allah.
Begitu agung dan mulia perbuatan menyantuni anakanak yatim, terutama mereka para yatim yang miskin dan terlantar, mereka tidak tahu kemana harus menyandarkan hidupnya, sehingga Nabi bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِى الْجَنَّةِ (رواه أحمد والبخارى وأبو داوود والترمذى) حديث صحيح
"Dari Sahal bin Said ra. berkata: Nabi SAW. bersabda: Aku dan orang yang menyantuni anak yatim ada di Surga. (H.R. Arba’ah: Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Apabila umat Islam khususnya di Indonesia, yang merupakan kelompok mayoritas ini secara individual, mereka yang merasa mampu sanggup mengamalkan satu hadis Nabi saja sebagaimana tercantum di atas, barangkali realitas kehidupan bangsa ini akan menjadi lain adanya. Panti-panti asuhan yatim (PAY) sebagai bentuk dan kepedulian sebagian umat Islam harus diakui memang sudah ada, bahkan bisa dibilang sudah banyak, namun itu belum dapat mencukupi jumlah yatim yang memerlukan santunan, baik dan sisi kehidupan sehari—hari maupun terlebih dan sisi kebutuhannya akan pendidikan. Sebuah pertanyaan yang jawabannya ada pada setiap orang yang memproklamirkan dirinya sebagai muslim, “Siapakah yang berdosa jika di negara yang mayoritas penduduknya mengaku muslim ini masih banyak anak-anak yatim yang tidak bisa menikmati dunia pendidikan, dan tidak sedikit orang-orang miskin yang kelaparan”? Karena itu kesadaran umat secara individual untuk mengembangkan kepedulian sebagaimana diajarkan Islam rupanya perlu mendapatkan perhatian semua pihak demi meningkatkan taraf hidup mereka yang masib dalam bahkan di bawah garis kemiskinan.

C.  Sedekah Dapat Menghapus Dosa
Membantu sesama yang sedang dalam kesulitan merupakan bentuk dan sikap peduli yang diperintahkan agama yang dapat menghapus dosa dan kesalahan. Nabi bersabda:
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرٍ فَإِنَّهَا تَسُدُّ مِنَ الْجَائِعِ وَ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ (حديث حسن رواه ابن مبارك)
"Bersedekahlah kalian walaupun hanya dengan sebuah kurma, karena sesungguhnya dia akan mencukupi bagi orang yang lapar dan akan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api." (HR. lbnu Mubarak).
 
Perintah sedekah yang lain tertera dalam hadits Nabi:
تَصَدَّقُوْا فَإِنَّ الصَّدَقَةَ فَكَاكُمْ مِنَ النَّارِ (رواه الطبرانى)
"Bersedekahlah kalian karena sesungguhnya sedekah itu akan membebaskanmu dari api neraka. (HR. Thabrani)

Mempersiapkan kehidupan jangka panjangadalah tindakan bijak, dan meratapi dan tenggelam dalam penyesalan panjang adalah tindakan bodoh. Karena itu agar umatnya tidak menyesal pada han kiamat nanti, Nabi menganjurkan untuk bersedekah selagi masih ada yang mau menerimanya. Nabi bersabda:
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ وَهَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوْا فَسَيَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانًا يَمْشِى الرَّجُلُ بِصَدَقَتِهِ فَيَقُولُ الَّذِى يَأْتِيْهِ بِهَا: لَوْ جِئْتَ بِهَا الأَمْسِ لَقَبِلْتُهَا فَأَمَّا الآنَ فَلاَ حَاجَةَ لِيْ فِيْهَا، فَلاَ يَجِدُ مَنْ يَقْبَلُهَا.
"Bersedekahlah kalian karena akan datang kepadamu suatu masa di mana seorang berjalan dengan membawa sedekahnya, maka berkatalah orang yang mau diberinya itu: Andaikata engkau datang kemarin niscaya aku terima sedekahmu itu, adapun sekarang maka aku tidak memerlukannya lagi, maka tidak dia dapati orang yang mau menerimanya." (H.R. Bukhari Muslim)

Hadits di atas mengingatkan kita bahwa menunda-nunda amal shaleh akan dapat berakibat fatal bagi seseorang, karena ajal yang kita semua akan menemuinya merupakan misteri yang tidak pernah dapat diprediksi dengan alat secanggih apapun, sementara itu orang sering terlena dengan kesibukan mengumpulkan bahkan menumpuk-numpuk harta dunia tanpa sering menyadari bahwa kematian selalu mengintai dan setiap saat akan menjemputnya, sedangkan ketika ajal sudah tiba penyesalan tidak lagi ada gunanya, harta yang dengan susah payah dikumpulkan dengan segala cara selama di dunia tidak akan dapat menolong dan menyelamatkan dari siksa api neraka, bahkan orang bakhil akan didoakan malaikat agar hartanya binasa. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحَ الْعِبَادُ فِيْهِ اِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ اَحَدُهُمَا: اَللّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقَا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفًا. (متفق عليه)
"Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda Tidak ada hari di mana searang hamba berada di pagi hari kecuali turun dua malaikat yang, lalu yang satu berkata: Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang menafkakkan hartanya, dan yang lain berkata: Ya Allah binasakanlah harta orang yang bakhil." (HR. Bukhari Muslim)

Hadits di atas sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti sebuah biji yang tumbuh menjadi pohon yang bercabang tujuh dan pada masing-masing cabang atau tangkainya itu tumbuh seratus biji, atau dengan kata lain harta yang dibelanjakan di jalan Allah akan dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali, bahkan sampai tak terhingga jika Allah menghendaki. Sedekah akan dapat meringankan beban sesama dan memberikan manfaat untuk umat dan kemanusiaan, karena itu Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk suka bersedekah karena sedekah adalah sebaik-baik pintu kebajikan. Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُ أَبْوَابِ الْبِرَّ الصَّدَقَةَ (حديث صحيح رواه الطبرانى فى الكبير)
"Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullak SAW. bersabda: Sebaik-baik pintu kebajikan adalah sedekah." (H.R. Thabrani)

Dalam hadits lain Nabi bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (رواه البخارى ومسلم)
"Dan Ibnu Umar r.a. berkata: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda sedangkan dia berada di atas mimbar dan menyebut sedekah dan meminta-minta, maka nabi bersabda; Tangan yang di atas lebik baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas itu yang memberi dan tangan yang di bawah itu yang meminta. (HR. Bukhari Muslim)

Sabda nabi di atas dapat secara mudah dipahami bahwa orang yang memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain tentu lebih utama daripada orang yang menerima manfaat dan orang lain. Karena jika ibadah sosial lebih untuk kepentingan individu, maka ibadah sosial seperti sedekah, memberi manfaat kepada orang lain.
Di dalam kaidah ushuliah dikatakan bahwa kebajikan yang bersifat sosial itu lebih utama daripada kebajikan yang bersifat individual, sedangkan sedekah jelas merupakan kebajikan yang bersifat sosial, karena itu dia merupakan pintu kebajikan yang paling utama, sebab dengan kesadaran untuk berbagi kepada sesama, kehidupan akan menjadi bahagia, dan harta yang ditasharrufkan di jalan Allah akan mendapatkan ganti yang berlipat ganda dari-Nya. Setiap manusia tentu menginginkan dirinya menjadi yang terbaik di anatara yang lainnya, dan untuk dapat mencapai keinginan itu nabi telah menunjukkan jalannya melalui sabdanya:
عَنْ جَابِرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ.
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya."

Dari hadits di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat menganjurkan kepada manusia untuk memiliki kepedulian terhadap sesama terutama orang yang sedang memerlukan uluran tangan kita, karena kesalehan sosial itu lebih utama daripada kesalehan individual. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah ushuliah bahwa:
Kebajikan yang menyangkut orang banyak itu lebih utama daripada kebajikan individual. Demikian pula halnya dengan sedekah yang manfaatnya bisa dinikmati orang lain, di samping oleh orang yang mengeluarkan sedekah.
Sedekah di samping bisa meringankan beban orang lain juga dapat mengantarkan pelakunya masuk ke dalam surga Allah, karena sedekah dapat menghapus dosa seseorang, dan ketika orang sudah terhapus dosanya maka ke mana lagi dia akan kembali kalau tidak ke surga Allah. Nabi bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :   يَا أَيـُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ، وَصلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَـنَّةَ بِسَلاَمٍ (رواه الترمذى)
"Dari ‘Abdullah bin Salam ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Wahai sekalian manusia! Tebarkanlah perdamaian, sambunglah tali persaudaraun, berilah makanan kepada orang lapar dan dirikanlah shalat malam di tengah manusia tidur nyenyak, engkau akan masuk surga dengan selamat." (HR. Tirmidzi)

Kedamaian dan ketenteraman adalah dambaan setiap orang. Dengan gemar bersedekah, menyambung tali persaudaraan/bershilaturrahim dan mendirikan shalat malam di tengah orang tidur nyenyak kedamaian dan ketenteraman hidup akan bisa didapatkan.
Dari paparan tentang keutamaan sedekah di atas, dapat diperoleh nilai-nilai pendidikan yang menyangkut pentingnya kepedulian sosial dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena pada dasamya manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa orang lain. Karena itu tolong-menolong terhadap sesama, saling berbagi, saling memberi dan menerima adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia di dunia.

Bab 12
P A K A I A N

A.  Fungsi Pakaian
Sesuai dengan ajaran agama, fungsi utama dan pakaian adalah untuk menutup aurat. Namun demikian pakaian juga sebagai simbul suatu kebudayaan di samping sebagai pengejawantahan dan tingkat penghayatan keberagamaan.
Pakaian akan merepresentasikan karakter dan kepribadian pemakainya. Cara berpakaian yang sopan sesuai dengan norma-norma agama dan norma sosial yang ada akan menggambarkan kondisi psikologis pemakainya, dan demikian pula sebaliknya cara berpakaian yang tidak teratur dan tidak memenuhi kriteria kepantasan juga akan menunjukkan bahwa seperti itulah sebenarnya kondisi kejiwaan pemakainya, karena apa yang nampak secara Iahiriah itu sesungguhnya menunjukkan apa yang tersimpan di dalam hatinya,
Karena fungsi pakaian yang sebenarnya adalah untuk menutup aurat, sementara menurut beberapa referensi hukum Islam/fiqh terdapat perbedaan batas aurat antara kaum laki-laki dan perempuan maka perlu kiranya disinggung perbedaan batas aurat antara laki-Iaki dan perempuan. Aurat bagi kaum perempuan meliputi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sedangkan bagi kaum laki-laki hanya sebatas antara lutut dan pusar.
Di samping berfungsi sebagai penutup aurat, pakaian juga berfungsi untuk memperjelas identitas agar orang mudah dikenal, serta untuk memelihara manusia dari panas matahari Allah berfirman:
يَآ اَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَالِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا.
"Katakanlah kepada istri-istri kamu, anak-anak perempuan kamu, dan perempuan-perempuan mukminin, supaya mereka menutupkan baju ke seluruh tubuhnya. Yang demikian itu lebih mudah untuk mengenal mereka, sehingga mereka tidak diganggu (disakiti), dan adalah Allah itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih." (QS. Al-Ahzab : 59)

Maksud dan tujuan dari perintah di atas tidak lain adalah untuk menjaga kaum perempuan sendiri dan gangguan laki-laki iseng yang akan menjahatinya, mengingat laki-laki, terutama laki-laki bangsa Arab yang hidup di padang pasir dengan kebiasaan mengkonsumsi daging yang cukup, akan sangat mudah terangsang syahwatnya apabila melihat aurat perempuan, karena itu bagi mukminat yang ingin selamat dari gangguan laki-laki jahat tentulah akan memanjangkan pakaiannya dan menutup seluruh aurathya. Pakaian juga dapat melindungi manusia dan terik matahari. Firman Allah:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلاَلاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيْلَ تَقِيْكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيْلَ تَقِيْكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُوْنَ.
"Dan Allah jadikan bagimu pakaian untuk memeliharamu dan panas dan (pakaian besi) untuk menjaga kamu dan peperangan. Demikian Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, mudah-mudahan kamu berserah din kepada-Nya." (QS. An-Nahl : 81)

Allah tahu persis kebutuhan hamba-Nya, termasuk kebutuhannya untuk berpakaian. Karena itu di samping untk menutup aurat fungsi pakaian juga dapat melindungi orang dari kepanasan. Bisa kita bayangkan orang-orang yang bekerja seharian di bawah tenik matahari seperti petani, buruh bangunan, dan orang-orang yang kerja di lapangan lainnya tentu tidak akan tahan jika mereka tidak mengenakan pakaian.

B.  Pakaian Terbaik adalah Takwa
Macam-macam fungsi pakaian di samping sebagai penutup aurat, sebagai pelindung manusia dari kepanasan, pakaian juga sebagai hiasan bagi pemakainya. Namun demikian Allah menegaskan bahwa pakaian takwa itulah pakaian yang paling baik untuk dimiliki dan dikenakan seorang hamba, sebagaimana firman Allah:
 يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيْشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ آيَاتِ اللهِ لَعَلَّكُمْ يَذْكُرُوْنَ.
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik." (QS. Al-A'raf : 26)

Jika pakaian berfungsi untuk menutup aurat pemakainya, maka pakaian takwa berfungsi untuk menutup api neraka agar tidak membakar pemakainya, karena orang yang bertakwa sebagaimana janji Allah akan dimasukkan ke dalam surga-Nya, karena itu otomatis dia akan terjauh dari siksa api neraka.
Hanya saja berkaitan dengan batas aurat antara laki-laki dan perempuan, mengapa hal itu berbeda? Menurut hemat penulis permasalahannya kembali kepada faktor maslahat dan madlarat bagi keduanya. Dilihat dari sisi nafsu biologis laki-laki lebih mudah terangsang daripada perempuan, sehingga ketentuan untuk menutup aurat secara lebih rapat bagi perempuan adalah untuk kepentingan kaum perempuan sendiri, yaitu agar mudah dikenali bahwa mereka adalah muslimah sehingga dapat terjaga dari dan terpelihara dari gangguan orang jahat yang ingin menggodanya, karena perempuan dititahkan lebih lemah dan sekaligus lebih lembut dari kaum laki-laki, sehingga rentan terhadap gangguan dan godaan dari lain jenis. Karena itu rnelalui firman-Nya Allah memerintahkan kepada Muhammad agar menyampaikan kepada para istri dan perempuan-perempuan mukmin untuk memanjangkan pakaian mereka.
Maksud dan tujuan dari perintah Allah itu tidak lain adalah untuk menjaga kaum perempuan sendiri dari gangguan laki-laki iseng yang akan menjahatinya, mengingat laki-laki, terutama laki-laki bangsa Arab yang hidup di padang pasir dengan kebiasaan mengkonsumsi daging yang cukup, akan sangat mudah terangsang syahwatnya apabila melihat aurat perempuan, karena itu bagi mukminat yang ingin selamat dari gangguan laki-laki jahat tentulah akan memanjangkan pakaiannya dan menutup seluruh auratnya.

C.  Pakaian Nabi
Kalau cara berpakaian menunjukkan kepribadian pemakainya, lalu bagaimana dengan pilihan warna dari sebuah pakaian? Dalam hal warna pakaian ini Rasulullah pemah menganjurkan umatnya untuk menggunakan baju putih. Perintah itu tertuang dalam sabdanya:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِلْبَسُوْا ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَفِى رِوَايَةٍ : فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفَّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ (رواه ابو داوود والترمذى)
"Dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: Pakailah olehmu pakaian berwarna putih karena sesungguhnya dia adalah sebaik-baik pakaianmu, dan dalam riwayat lain; sesungguhnya dia lebih bersih dan lebih baik. Dan kafanilah orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan kain putih.

Perintah nabi untuk memakai pakaian berwarna putih menurut hemat penulis merupakan suatu himbauan, dan bukan perintah untuk wajib dilakukan. Hal itu lebih disebabkan karena wama putih menginspirasikan kebersihan dan kesucian, sehingga pemakainya pun akan lebih menjaganya dari kotoran, dan demikian pula terhadap hati dan jiwanya, karena putih simbul kesucian maka dengan mengenakan pakaian berwarna putih diharapkan pemakainya dapat menjaga dirinya dari setiap yang mengotori hati dan jiwanya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa nabi pernah memakai baju hijau bahkan juga merah sebagaimana dikatakan Abu Ramtsah:
عَنْ اَبِى رَمْثَةْ رِفَاعَةَ التَيْمِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ اَحْضَرَانِ (رواه ابو داوود والترمذى)
"Dari Abu Ramtsah Rifa’ah at-Taimi r.a. berkata: Saya melihat Rasulullah SAW. memakai dua baju hijau." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Hadits lain yang diriwayatkan Bukhari Muslim mengatakan :
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا وَلَقَدْ رَاَيْتُهُ فِى حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ (متفق عليه)
Dari Barra’ bin ‘Azib r.a. berkata: Rasulullah SAW. berukuran badan sedang, dan aku telah melihatnya mengenakan kain merah, sama sekali aku belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari beliau." (HR. Bukhari Muslim)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi tidak melarang kaum laki-laki memakai pakaian warna-warni karena yang paling esensial dari pakaian adalah untuk menutup aurat, sedangkan persoalan warna hanyalah persoalan selera, yang masing-masing orang memiliki selera yang tidak selalu sama. Hanya saja nabi lebih menganjurkan orang untuk mengenakan pakaian putih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Bagaimana dengan model pakaian Nabi yang merepresentasikan laki-laki? Kesederhanaan Nabi dalam berpakaian perlu mendapatkan apresiasi kita sebagai umatnya. Dalam hal pakaian Nabi tersebut Abu Burdah pernah berkata bahwa suatu hari ‘Aisyah menunjukkan baju tebal yang paling disukai Nabi. Hal itu menunjukkan kebersahajaan dan kesederhanaan Nabi di dalam berpakaian. Kesederhanaan Nabi dalam berpakaian itu tergambar dalam hadits ‘Aisyah dari Abu Burdah di bawah mi:
حَدِيْثُ عَائِشَةَ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ قَالَ : أَخْرَجَتْ إِلَيْنَا عَائِشَةُ كِسَاءً وَإِزَارًا غَلِيْظًا فَقَالَتْ : قُبِضَ رُوْحُ النَّبِيِّ فِى هَذَيْنِ (أخرجه البخارى)
"Hadits ‘Aisyah, dari Abu Burdah r.a. berkata: ‘Aisyah r.a. telah menunjukkan kepada kami baju dan kain yang tebal, lalu dia berkata: Nabi telah meninggal dunia dengan dua pakaian ini." (Bukhari Muslim)

Hadits tersebut di atas mengandung pengertian bahwa; karena cintanya nabi dengan pakaian tersebut maka beliau meninggal dunia juga sedang dalam keadaan memakai pakaian tebal yang dikatakannya sebagai sangat sederhana tersebut.
Syari’at agama memang telah membedakan batasan antara aurat laiki-laki dan perempuan, dan oleh karena fungsi pakaian sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menutup aurat, maka secara otomatis cara berpakaian laki-laki dan perempuan juga berbeda sesuai aurat mana yang wajib untuk ditutupnya.
Namun demikian terdapat hal penting yang harus diingat, yaitu bahwa: Walaupun Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya (kaum perempuan) untuk memanjangkan pakaiannya, namun panjangnya pakaian sampai menutup seluruh aurat juga bukan jaminan bahwa cara berpakaian tersebut sudah mendapatkan ridla dari Allah lantaran memenuhi perintah-Nya. Sebab cara menutup aurat dengan memanjangkan pakaian yang didasari perasaan ingin menyombongkan diri, merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah, di mana hal demikian disampaikan Nabi SAW. melalui sabdanya:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ (أخرجه البخارى)
"Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda Allah tidak melihat (dengan rahmat-Nya) orang yang memanjangkan kainnya sampai di bawah mata kaki karena sombong." (Bukhari Muslim).

Demikian pula sabdanya dalam Sunan Abu Dawud:
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ ابْنِ أَبِى رُوَادِ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلإِسْبَالُ فِى اْلإِزَارِ وَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَامَةِ، مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه أبو داوود)
Dari ‘Abdul ‘Aziz bin Abuu Ruwad, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dan Nabi SAW. bersabda : Hendaknya dipanjangkan sarung, baju dan surban, barangsiapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawuud).

Disebutkan pula dalam hadits yang lain:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا (متفق عليه)
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat orang yang menurunkan kainnya di bawah mata kaki karena sombong." (HR. Bukhari Muslim)

Dan beberapa hadits nabi di atas dapat dipahami bahwa faktor niat yang memotivasi lahirnya suatu perbuatan memegang peranan penting dalam setiap langkah yang diambil seoraang pelaku, sehingga perbuatan yang secara lahiriah menjalankan perintah agama seperti berpakaian untuk menutup aurat misalnya, akan tetapi jika dilakukan dengan niat yang keliru atau dengan motif-motif tertentu yang menyimpang dan ketentuan Allah -seperti untuk menyombongkan diri bukan karena patuh dan taat kepada perintah-Nya, maka nilai amalnya tidak akan sampai kepada Allah dan tidak akan mendapatkan balasan kebaikan dari-Nya, karena hanya dengan niat yang tulus karena Allah, suatu amal perbuatan akan memiliki ruhnya dan akan diterimaa sebagai amal shaleh di sisi Allah. Sebagaimana kata orang bijak:
اَلْعَمَلُ جِسْمٌ رُوْحُهُ اْلإِخْلاَصُ.
"Perbuatan atau amal lahiriah itu ibarat jisim atau badan, dan ruh jiwanya adalah ketulusan, sehingga amal tanpa ketulusan adalah bagaikan jasad tanpa ruh."

Jasad yang tanpa nih tidak akan bermakna apa-apa bagi pemiliknya, demikian pula amal yang dilakukan tanpa ketulusan hati semata-mata karena Allah, tidak akan dapat memberikan banyak manfaat bagi pelakunya, oleh karena nilai kebajikannya tidak akan sampai kepada Allah. 



Bab 13
TANGGUNG JAWAB PENDIDIK

A.  Pengertian Tanggungjawab
Tanggungjawab merupakan suatu kondisi wajib menanggung segala sesuatu sebagai akibat dan keputusan yang diambil atau tindakan yang dilakukan (apabila terjadi sesuatu dapat dipersalahkan). Tanggungjawab menurut hemat penulis juga dapat diartikan sebagai suatu kesediaan untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya terhadap tugas yang diamanatkan kepadanya, dengan kesediaan menerima segala konsekuensinya.
Guru atau pendidik sebagai orang tua kedua dan sekaligus penanggungjawab pendidikan anak didiknya setelah kedua orang tua di dalam keluarganya merniliki tanggungjawab untuk memberikan pendidikan yang baik kepada peserta didiknya. Apabila kedua orang tua menjadi penanggungjawab utama pendidikan anak ketika dia di luar pendidikan formal sekolah, maka guru pendidik merupakan penanggungjawab utama pendidikan anak melalui proses pendidikan formal anak yang berlangsung di sekolah, karena tanggungjawab merupakan konsekuensi logis dan sebuah amanat yang dipikulkan di atas pundak para guru dan pendidik di lingkungan sekolahnya.

B.  Pahala Mengajar Diberikan Semenjak di dalam Kubur
Mengajar dan mendidik adalah pekerjaan mulia yang oleh karenanya maka pahala kebaikannya akan diberikan Allah semenjak yang bersangkutan berada di dalam kuburnya (sebelum datangnya hari kiamat). Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  سَبْعَ يَجْرِى لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْماً، أَوْ أَجْرَى نَهْراً، أَوْ حَفَرَ بِئْراً، أَوْ غَرَسَ نَخَلاً، أَوْ بَنَى مَسْجِداً، أَوْ وَرَثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بعد موته (رواه البزان)
"Dari Anas r.a berkata Nabi SAW. bersabda : Ada tujuh hal yang pahalanya mengalir kepada seorang hamba semenjak dia di dalam kubur setelah kematiannya. Yaitu orang yang mengajarkan suatu ilmu, atau mengalirkan sungai (memberikan pengairan), atau menggali sumur, atau menanam pohon kumna, atau membangun masjid, atau mewariskan mushaf, atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun kepadanya setelah kematiannya."

Hadits di atas memberi kita pelajaran bahwa kebaikan yang menyangkut kepentingan orang lain lebih baik daripada kebaikan individual, artinya kebaikan yang dilakukan untuk dirinya sendiri. Sebab mengajar, menyalurkan air untuk kepentingan umum, menanam kurma untuk generasi berikutnya, membangun masjid untuk tempat peribadatan umum, serta mewariskan al-Qur’an untuk dibaca dan diamalkan banyak orang, semuanya itu merupakan amal sosial yang kemaslahatannya dapat dinikmati orang lain.
 Ilmu yang bermanfaat dengan cara diajarkan kepada orang lain juga akan menjadi jariyah (pahala yang terus mengalir) sampai pelakunya meninggal dunia. Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Jika seorang manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu: Sedekah (yang masih mengalirkan manfaat), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan kepadanya."

Karena itu sebagai orang yang mengemban amanat profesi mulia, seorang guru yang adalah pemimpin dan sekaligus pelayan bagi peserta didiknya itu memiliki kewajiban untuk memimpin dan melayani terhadap peserta didiknya dengan sebaik-baiknya, karena pada saatnya akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut. Nabi bersabda:
عَنْ إِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيْهِ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (حديث صحيح رواه الخكمسة)
"Setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya: Maka seorang imam adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, pembantu adalah pemimpin/ penanggungjawab terhadap harta tuannya dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang anak adalah pemimpin terhadap harta ayahnya dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, maka setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya."

Dan hadits di atas dapat dipahami bahwa tanggungjawab merupakan kewajiban individu sebagai hamba Allah yang kepadanya dititipkan amanat untuk menjadi pemimpin atau penguasa, baik pemimpin dirinya sendiri maupun pemimpin terhadap apa dan siapapun yang menjadi tanggungjawabnya.
Jika kedua orang tua adalah pendidik puta-putrinya dalam segala bidang pendidikan yang bersifat non formal, maka guru/pendidik merupakan pemimpin bagi peserta didiknya dalam hal pendidikan formal, yang sebagaimana kedua kedua oang tuanya, dia memiliki tanggungjawab penuh dalam pengembangan potensi atau bakat peserta didiknya, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa semenjak kelahirannya kepada seorang anak telah diilhamkan dua kecenderungan baik dan buruk atau positif dan negatif, karena itu menjadi tugas dan kewajiban para orang tua/orang dewasa dan pendidik untuk mengoptimalkan pengembangan potensi baik anak, serta menghambat dan menekan berkembangnya potensi buruk dalam diri peserta didik, agar anak besar dan berkembang dengan potensi baiknya.
Menurut Hurlock sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian peserta didik baik dan segi cara kerpikir, bersikap maupun berperilaku, karena di sekolah itulah anak mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, pengetahuan serta berbagai pengalaman yang cukup memberi pengaruh terhadap kematangan kepribadannya. Karena itu menurutnya sekolah berperan sebagai subtitusi keluarga dan guru subtitusi orang tua.

C.  Etika Seorang pendidik
Sebagai subtitusi orang tua, guru berkewajiban membawa peserta didiknya ke arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dan sesuai dengan apa yang dia lakukan itulah nantinya seorang guru akan mendapatkan balasannya, karena pada dasarnya setiap individu pada telah tergadai dengan apa yang diusahakannya. Firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ.
Bahwa setiap jiwa itu telah tergadai (terikat) dengan apa yang dikerjakannya. Karena itu sudah seharusnya sebagai pemimpin dan sekaligus pelayan, seorang guru bekerja secara profesional, memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta didiknya, dan bekerja dengan penuh kesabaran dalam membawa peserta didiknya menuju cita-dta pendidikan. Karena Nabi memerintahkan kepada para pendidik untuk tidak mempersulit dan membuat mereka riang. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ‏قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَّمُوْا وَيَسَّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشَرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَإِذَا غَضِبَ اَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ (حديث صحيح رواه أحمد والبخارى)
"Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Ajarilah olehmu dan mudahkanlah, jangan mempersulit, dan gembirakanlah jangan membuat mereka lari, dan apabila salah seorang di antara kamu marah maka diamlah!" (HR. Ahmad dan Bukhari)

Perintah Nabi di atas memberikan pelajaran kepada para pendidik bahwa di dalam melaksanakan tugas pendidikan para guru/pendidik dituntut untuk menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan, berupaya membuat peserta didik untuk merasa betah dan senang tinggal di sekolah bersamanya, dan bukan sebaliknya justru memberikan kesan seram agar para siswa takut dan segan kepadanya, karena sikap demikian justru akan membuat siswa tidak betah tingal di sekolah dan sekaligus akan sulit untuk bisa mencintai para guru beserta semua ilmu ataupun pendidikan yang diberikan kepada mereka.
Dalam hadits yang lain tentang bagaimana guru harus bersikap dan memperlakukan murid-muridnya, Nabi bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَّمُوْا وَلاَ تُعَنِّفُوْا فَإِنَّ الْمُعَلِّمُ خَيْرً مِنَ الْمُعَنِّفِ (رواه البيهقى)
"Jangan engkau berlaku kejam bengis, karena sesungguhnya guru itu lebih baik daripada orang yang bengis." (HR. Baihaqi).

Sebagai pemimpin dan sekaligus pelayan bagi peserta didiknya, guru yang baik akan berlaku adil dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada peserta didiknya, karena di samping sikap yang demikian akan mengundang simpati dari peserta didik, pemimpin yang adil juga akan mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari di mana tidak ada perlindungan selain dari Allah. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَبْعَةُ يُظِلُهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ، إِمَامُ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِيْ عِبَادَةِ اللهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُوْدُ إِلَيْهِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَا فِى اللهِ فَاجْتَمَعَا عَلَى ذَالِكَ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهُ خَالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةً ذَاتَ مَنْصَبٍ وَجَمَالَ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ بِيَمِيْنِهِ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan perlindungan Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari perlindungan-Nya. Mereka itu adalah: Pemimpin yang adil. Pemuda yang giat beribadah kepada Allah, orang yang jika keluar dart masjid hatinya masih tergantung padanya sampai dia kembali lagi ke masjid, dua orang yang saling mengasihi karena Allah, sehingga keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah juga karena Allah, seorang yang mengingat Allah dalam kesunyian sampai berlinang airmata, orang yang diajak berbuat dosa oleh perempuan bangsawan cantik maka dia mengatakan: Sesungguhnya aku takut kepada Allah semesta alam, dan orang yang bersedekah dengan suatu pemberian, maka dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya."

Tujuh orang sebagaimana tersebut di atas termasuk di dalamnya adalah imam yang dapat dikonotasikan dengan pendidik, karena pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap jalannya proses pendidikan dan oleh karenanya pertangungjawaban itu nantinya akan dipertanyakan di hadapan pengadilan Allah pada hari perhitungan. Oleh karena itu seorang pendidik yang bersikap adil dan bijaksana di dalam rnengasuh, membimbing dan mengelola peserta didiknya sebagaimana juga diungkapkan Nabi tentang seorang pemimpin yang adil, tentu bagi mereka layak untuk mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari kiamat di mana tidak ada perlindungan selain dari perlindungan-Nya, maka seorang pemimpin sebagaimana pula pendidik dituntut untuk berlaku adil terhadap siapapun yang berada dalam wilayah kepemimpinannya.


Bab 14
KEUTAMAAN INFAK DAN INFAK YANG UTAMA

A.  Pengertian Infak
Infak berasal dan kata bahasa Arab نفق yang bersinonim dengan صرف kemudian dibentuk dengan wazan afala merupakan bentuk dan wazan fi’il muta’addi yang memiliki pengertian mengeluarkan atau membelanjakan. Maksudnya adalah أَنْفَقَ مَالَهُ فِى سَبِيْلِ اللهِ (membelanjakan hartanya di jalan Allah). Infak juga bisa disinonimkan dengan sedekah, artinya mendermakan sebagian harta kepada orang lain yang memerlukan semata-mata karena Allah.
Harta adalah amanah yang dititipkan Allah kepada hambanya dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana telah ditetapkan dalam al-Qur’an, bahwa dalam harta orang kaya terdapat sebagiannya milik fakir miskin. Karena itu mengeluarkan hak fakir miskin adalah menjadi kewajiban orang yang diamanati banyak harta oleh Allah. Allah berfirman:
وَفِى اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُوْمٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ.
"Dalam harta mereka (orang-orang faqwa) itu ada hak bagi orang miskin, baik yang meminta man pun yang tidak meminta."

Hak orang miskin itu menjadi kewajiban bagi orang kaya untuk memberikannya, dengan kata lain sebagian harta wang kaya terdapat di dalamnya milik orang miskin yang harus di keluarkan, baik diminta ataupun tidak diminta.

B.  Sedekah Dapat Menutup Pintu Kejahatan
Menyedekahkan sebagian harta kepada orang miskin dapat menutup pintu-pintu kejahatan. Nabi bersabda:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلصَّدَقَةُ تَسُدُّ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنَ السُّوْءِ (رواه الطبرانى)
"Dari Rafi’ bin Khadiij berkata Rasulullah SAW. bersabda : Sedekah itu dapat menutup tujuh puluh pintu kejahatan."
 
Dalam riwayat lain dikatakan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مَيْتَةَ السُّوْءِ.
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah SAW. bersabda : Sedekah ini dapat menghalangi dan kematian yang jelek."

Orang yang banyak sedekah akan terhindar dan memasuki pintu-pintu kejahatan, karena 70 pintu kejahatan akan ditutup dengan sedekahnya, dan dia juga akan terhindar dan kematian yang jahat, maksudnya bahwa dia akan meninggal dengan husnul khatimah.
Namun demikian terdapat kriteria terhadap nilai, kemaslahatan, dan keutamaan suatu sedekah. Ada sedekah yang dapat mendatangkan kebaikan yang sempurna dan ada pula yang tidak.
Hal itu dikarenakan, adakalanya orang memberikan sesuatu setelah dirinya merasa tidak lagi membutuhkannya, dengan kata lain barang yang disedekahkan itu barang yang sudah tidak disukainya lagi, dan sedekah yang demikian tidak dicatat sebagai amal kebajikan yang sempurna di sisi Allah.

C.  Infak Yang Utama
Infak yang dapat mendatangkan kebajikan yang sempuma bagi pelakunya adalah infak terhadap sesuatu yang dicintai, bukan infaq sesuatu yang sudah tidak disukai dan dibutuhkan lagi. Allah berfirman :
لَنْ تَنَالُوْا حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ.
"Sekali-kali kamu tidak akan mendaptkan kebajikan yang sempuma sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." (QS. Ali Imran : 92)

Harta adalah ujian dan melalui harta itu manusia diuji ketaatannya kepada Allah, adakah mereka mencintai Allah di atas segalanya ataukah harta mereka telah membuatnya melupakan segalanya. Karena itu dalam ayat yang lain Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk menafkahkan sebagian harta yang mereka baik-baik yang mereka senangi. Firman Allah:
 يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوْا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ.
"Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dan apa-apa yang kamu usahakan dan apa-apa yang Kami tumbuhkan dan bumi untukmu, dan janganlah kamu sengaja menafkahkan yang jelek yang kamu tidak suka untuk mengambilnya kecuali dengan memejamkan mata, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Mahaa Terpuji." (QS. Al-Baqarah : 267)

Allah memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman untuk membelanjakan sebagian harta amanat dari-Nya yang disukai, karena menginfakkan sebagian dan barang yang disukai merupakan bentuk dan ketaatan seorang mukmin terhadap Allah sebagai Tuhan dan Penciptanya.
Dalam kaitannya dengan infaq harta yang disukai ini, diriwayatkan bahwa setelah mendengar firman Allah tentang infaq yang mendatangkan kebajikan yang sempurna itu suatu hari seorang anshar terkaya di Madinah bernama Abu Thalhah menginfakkan kebun yang paling dicintainya bernama kebun Bairuha’.
Kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam hadits Nabi SAW. di bawah ini :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَكْثَرَ اْلأَنْصَارِ بِالْمَدِيْنَةِ مَالاً مِنْ نَخْلٍ، وَكَانَ أَحَبَّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَاءَ، وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيْهَا طَيِّبٍ. قَالَ أَنَسٌ : فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآَيَةُ : "لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ"، قَامَ أَبُوْ طَلْحَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ :"لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ"، وَإِنَّ أَحَبَّ مَالِيْ إِلَيَّ بَيْرَحاَءَ، وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ ِللهِ تَعَالَى أَرْجُوْ بِرِّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللهِ تَعَالَى، فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّيْ أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى اْلأَقْرَبِيْنَ. فَقَالَ أَبُوْ طَلْحَةَ : أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَسَّمَهَا أَبُوْ طَلْحَةَ فِيْ أَقَارِبِهِ، وَبَنِيْ عَمِّهِ. (متفق عليه)
"Dan Anas r.a.berkata: Abu Thalhah ra. adalah orang anshar yang paling kaya di Madinah lantaran banyak kebun kurmanya, dan kebun kurma yang paling disukainya adalah Bairaha’, yang terletak berhadapan dengan masjid, dan Rasul SAW. sering masuk dan minum air bersih yang ada di dalamnya. Anas berkata: ketika turun ayat:  لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW. dan berkata: Wahai Rasulullah! sesungguhnya Allah berfirman: لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّونَ dan harta yang paling aku sukai adalah kebun Bairaha’, maka sesungguhnya kebun itu aku sedekahkan karena Allah Ta’ala dengan harapan dapat men jadi kebajikan dan simpanan di sisi-Nya, maka pergunakanlah wahai Rasulullah sesual petunjuk Allah kapadamu.
Maka Rasulullah SAW. bersabda: Bagus, itulah harta yang beruntung, itulah harta beruntung, dan aku telah mendengar apa yang engkau katakan, karena itu aku berpendapat agar engkau membaginya kepada sanak kera bat. Maka Abu Thalhah berkata: Saya akan laksanakan wahai Rasulallah, maka Abu Thalhah membaginya kepada sanak kerabat dan anak-anak pamannya. (HR. Bukhari Muslim)

Memberikan sesuatu yang dicinta adalah pengorbanan yang paling berat, karena kecenderungan manusia adalah selalu dekat, tetap memiliki dan tidak mau kehilangan apa yang dicintainya. Sementara itu kebajikan dari Allah hanya akan diperuntukkan bagi orang-orang yang mau mengorbankan sebagian yang dicintainya untuk orang lain yang memerlukannya.  
Terkait dengan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, Kuntowijoyo Intelektul muslim yang sejarahwan itu telah menawarkar metode-metode reinterpretasi dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai landasan dasar dan ajaran Islam, dengan mengubah pemahaman general normatif menjadi pemahaman yang spesifik dan empiris. Seperti ayat yang mengecam bentuk sirkulasi ekonomi, di mana kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, sebagaimana tersebut dalam ayat:
آَمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَأَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيهِ فَالَّذِيْنَ آَمَنُوْا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوْا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيْرٌ.
"Berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkan sebagian harta, yang kamu dijadikan Allah penguasa pada harta itu. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian hartanya), untuk mereka itu pahala yang besar." (QS. Al-Hadid : 57)
Manusia memang diberi hak oleh Allah untuk menguasai harta, akan tetapi sikap monopoli adalah sifat yang dikecam oleh Islam. Oleh karena itu agar harta memiliki efek yang aktual maka larangan yang bersifat general dan normatif itu harus dipahami dalam pengertian yan spesifik dan empiris. Itu artinya bahwa ayat tersebut harus diterjemahkan secara historis dengan melihat, memperhatikan dan mempertimbangkan fenomena kontemporer tentang sistem ekonomi dan politik.
Perlu diingat bahwa walaupun penerjemahan tersebut lebih bersifat struktural daripada individual, namun bukan berarti bahwa pengaruhnya terhadap individu menjadi tidak ada atau tereduksi, sebab dalam konteks ini ia akan berfungsi sebagai kontrol dari dalam yang bersifat ideologis. Sebab jika tidak ada kontrol dari dalam diri manusia sendiri, maka kesempatan untuk menumbuh kembangkan nafsu keserakahan manusia akan semakin terbuka lebar, karena mentalitas manusia seseorang akan sangat ditentukan oleh ideologinya.
Mencintai harta dunia tidak dapat dipungkiri merupakan sifat dasar manusia, akan tetapi Islam telah memberikan rambu-rambu agar manusia tidak terjerumus ke dalam lembah kenistaan lantaran hartanya. Karena orang yang senantiasa menumpuk-numpuk dan menghitung-hitung dengan tanpa mengeluarkan sebagiannya yang menjadi hak fakir miskin yang terdapat di dalamnya, karena itu sedekah yang utama, maka sesungguhnya api neraka sedang menunggunya.
Oleh karena itu ketika seorang sahabat bertanya tentang sedekah yang utama, Nabi menganjurkan agar sedekah itu dilakukan ketika masih sehat dan kaya. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :  جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ حَرِيْصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقِيْرُ وَلاَ تَمَهَّلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمِ.
"Dan Abu Hurairah r.a. berkata seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. dan berkata; Ya Rasulullah sedekah mana yang paling utama? Nabi bersabda; Hendaknya engkau sedekah ketika engkau masih sehat, masih berharap dan bermimpi kaya serta takut miskin, dan jangan menunda sampai ruh sudah berada di tenggorokan (hampir keluar)." (Jawahirul Bukhari : 309)

Di atas sudah disinggung bahwa tidak akan mendapatkan kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan apa-apa yang kamu suka. Terkait dengan hadits di atas bahwa orang yang sudah mendekati ajalnya tentu tidak lagi membutuhkan dan mencintai hartanya, maka sedekah orang yang demikian sama dengan menyedekahkan sesuatu yang sudah tidak dibutuhkan, dan tentu memiliki nilai yang berbeda dengan sedekah ketika orang masih sangat membutuhkan dan menyukainya. Karena itu, Nabi berpesan agar mengeluarkan sedekah selagi masih sehat dan menyintai harta,


Bab 15
KIAT MENGATASI KEMARAHAN

A.  Nafsu Mengajak kepada Kejahatan
Berbeda dengan malaikat, manusia manusia merupakan makhluk yang dikaruniai Allah nafsu di samping akal sehatnya, sedangkan nafsu itu senantiasa mengajaknya kepada kejahatan.
Firman Allah:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِى إِنَّ النَّفْسَ َلاَمَارَةٌ بِالسُّوْءِ.
"Aku (Muhammad) tidak melepaskan hawa nafsuku karena nafsu itu senantiasa menyuruh untuk melakukan kejahatan." (QS. Yusuf : 53)

Karena nafsu itu diberikan Allah kepada manusia dan dia selalu mengajaknya untuk melakukan kejahatan, maka Allah menunjukkan cara-cara bagaimana mengekang hawa nafsu agar tidak menjadi liar seperti nafsu binatang.
Manusia dikaruniai Allah berbagai macam petunjuk agar dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan kehendak-Nya. Di antara petunjuk itu adalah, hati nurani, akal sehat dan agama. Hati nurani manusia akan selalu mengatakan akan mengajak kepada yang benar, karena pada hakekatnya suara hati manusia itu bersifat universal dengan suatu syarat apabila manusia sehat telah mencapai titik fithrah dan terbebas dan segala belenggu dan paradigma.
Maka ketika manusia mampu mendengarkan dan kemudian mengikuti suara hati nuraninya dia akan terselamatkan dan panggilan dan ajakan hawa nafsunya untuk melakukan perbuatan jahat, temasuk di dalamnya mengikuti nafsu amarah. Marah merupakan pekerti negatif yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya.

B.  Orang Takwa Dapat Mengendalikan Amarali
Marah adalah perbuatan syetan, karena marah adalah perbuatan jahat dan tidak terpuji, dan syetan selalu mengajak kepada kejahatan itu. Akan tetapi orang-orang yang bertakwa diberikan kekuatan oleh Allah untuk dapat mengendalikan amarahnya, sebagaimana firman Allah:
وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ* الَّذِيْنَ يُنْفِقُونَ فِى السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ*
"Bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi disediakan untuk orang-arang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang membelanjakan hartanya dalam keadaan senang dan susah, orang-orang yang dapat menahan amarah, dan orang-orang yang memberikan maaf kepada manusia, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran : 133-134)

Menyembunyikan kemarahan dan memberi maaf adalah dua pekerti mulia yang sering tidak mudah untuk dilakukan, kecuali oleh orang-orang takwa yang senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan dari Tuhannya.
Jika menyembunyikan atau menahan kemarahan dan memberi maaf atas kesalahan orang lain merupakan pekerti mulia, maka perbuatan marah merupakan tindakan tidak terpuji, karena dia dilakukan di luar kontrol akal sehat yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk memilah dan memilih setiap langkah yang akan ditempuh dan setiap tindakan yang akan dilakukan.
Karena itu ketika Nabi dimintai fatwa oleh seorang sahabat maka Nabi berpesan “Jangan marah” sampai berkali-kali. Selengkapnya pesan itu adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصَنِى. قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مَرَارًا قَالَ لاَ تَغْضَبْ.
"Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW.; Berilah saya pesan, Nabi bersabda; Jangan marah! Maka diulang berkali-kali, Jangan marah." (Jawahirul Bukhari : 448)

Dalam haditsnya yang lain Nabi mengatakan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
"Dan Abu Hurainah ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Orang kuat itu bukan arang yang kuat bengulat, akan tetapi orang kuat adalah orang yang kuat inenahan amarah."
Dari dua hadits di atas jelas bahwa Nabi mengecam perbuatan “marah”, karena marah adalah perbuatan syetan, dan orang marah sesungguhnya orang yang sedang tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kestabilan jiwanya, sehingga semakin kuat tenaga dia keluarkan untuk melampiaskan kemarahannya sesungguhnya semakin menunjukkan kelemahan jiwanya.
Karena marah adalah perbuatan tercela, maka dalam sebuah khutbah yang dimuat dalam Musnad Tirmidzi Nabi SAW. pernah mengatakan bahwa: Sebaik-baik orang adalah yang tidak cepat marah dan cepat rela (memberi maaf), dan sejahat-jahat orang adalah yang cepat marah dan tidak cepat rela (sulit untuk memberi maaf).
Kemarahan merupakan perbuatan tercela yang selalu berakhir dengan penyesalan, sebagaimana pepatah Arab mengatakan bahwa:
أَوَّلُ الْغَضَبِ جُنُوْنٌ وَآخِرُهُ نَدَامٌ.
"Awal dan kemarahan itu gila dan akhirnya adalah penyesalan."

C.  Beberapa Cara Meredam Kemarahan
Dalam kondisi kejiwaan yang sedang tidak terkontrol orang yang sedang marah biasanya melontarkan kata-kata kotor yang seyogyanya tidak perlu diucapkan. Karana itu untuk meredam kemarahan serta menghindari terucapnya kata-kata kotor yang bisa jadi menyinggung pihak lawan, yang bisa berakibat terjadinya pertengkaran, maka Nabi SAW. mengajarkan kepada umatnya agar jika seorang sedang marah maka hendaknya dia diam. Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ (حديث حسن رواه أحمد)
"Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu sekalian marah, maka hendaklah diam." (HR. Ahmad)

Diam merupakan cara ampuh untuk meredam kemarahan, dengan diam orang memiliki peluang untuk merenung dengan menggunakan akal sehatnya, karena orang marah dia sedang mengikuti panggilan hawa nafsunya dan mengesampingkan panggilan akal sehatnya. Di samping itu mengapa Nabi memerintahkan diam kepada orang yang sedang marah, karena lisan adalah sesuatu yang kecil tetapi dapat mendatangkan bahaya yang besar, sehingga jika orang sedang marah maka lisan menjadi lepas kontrol dan kata-kata apa saja bisa keluar dari lisannya. Padahal orang bisa mati karena tergelincir lisannya, sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
يَمُوْتُ الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةٍ بِلِسَانِهِ #
وَلَيْسَ يَمُوْتُ الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةِ الرَّجُلِ.
"Seseorang bisa mati karena tergelincir lisannya #
Dan tidaklah orang meninggal karena tergelincir kakinya."

Tidak sedikit peristiwa pertumpahan darah yang diawali dengan penggunaan lisan yang tidak terkontrol yang membuat orang lain tersinggung dan mengakibatkan pertikaian. Karena itu tepatlah jika Nabi menganjurkan diam kepada orang yang sedang marah. Namun jika diam belum bisa meredam kemarahan seseorang, bahkan bisa jadi melampiaskan kemarahannya dengan kekuatan tangan atau kakinya, sehingga apa yang ada di depannya bisa melayang, maka Nabi SAW. memberikan cara lain untuk meredam kemarahan tersebut melalui sabdanya:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ.
"Dan Abu Dzar r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Jika seseorang di antara kamu marah, maka duduklah jika itu menghapuskan kemarahan, dan jika tidak, maka berbaringlah. (HR. Ahmad, Abu Dawuud dan Ibnu Hibban)

Dalam hadits di atas seolah tidak terdapat korelasi antara marah, berdiri, duduk, dan terbaring, akan tetapi jika dicermati sabda Nabi tersebut sangatlah masuk di akal, karena ketika orang dalam posisi berdiri maka kekuatannya akan menjadi optimal sehingga memberi peluang untuk memperparah kemarahannya, akan tetapi dengan duduk kemampuan berbuat menjadi lebih terbatas sehingga diharapkan dapat meredam kemarahan, dan jika dengan duduk pun marah belum reda maka dengan terbaring keleluasaan untuk melakukan sesuatu menjadi semakin terbatas, sehingga nafsu amarah pun akan menjadi semakin terkekang.
Marah adalah perbuatan yang lahir dan campur tangan syetan, dan syetan itu tercipta dan api, sedangkan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Karena itu Nabi SAW. memberikan cara lain untuk meredam kemarahan yakni dengan berwudlu. Nabi bersabda:
عَنْ عَطِيَّةَ اَلْعُوْفِى رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفِئُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غُضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأَ.
"Dari Athiyah al-Ufi ra., dari Nabi SAW. Bersabda : Sesungguhnya marah itu dari syetan, dan sesungguhnya syetan itu diciptakan dan api, dan api itu hanya dapat dipadamkan dengan air, maka jika salah seorang di antara kamu marah berwudlulah!" (HR. Ahmad dan Abu Dawuud)
Marah adalah perbuatan syetan, karena itu tidak ada sesuatupun yang dapat dipetik manfaatnya dan perbuatan marah, dan oleh karena marah hanya akan melahirkan kerugian baik bagi pelakunya maupun bagi pihak lain, maka dalam sebuah sabdanya Nabi pernah berpesan kepada umatnya dengan mengatakan: jangan marah, jangan marah, jangan marah! sampai tiga kali.
Karena itu beberapa kiat untuk meredam dan mengatasi kemarahan telah diajarkan Nabi, dan jika dicermati perintah Nabi untuk berwudlu bagi orang yang sedang marah itu adalah sangat fantastis dan filosofis. Sebab sebenarnya masalahnya bukan sesederhana itu, akan tetapi yang terjadi sebenarnya, ketika orang yang sedang marah mau pergi untuk mengambil air wudlu dan kemudian berwudlu, maka secara psikologis sesungguhnya dia sedang memproses kembalinya kesadaran diri, sebab orang marah itu kesadarannya terlepas dan kendali, sehingga apa yang dilakukannya jauh dan pertimbangan akal sehat dan perhitungan untung rugi. Karena itu mengatasi kemarahan dengan berwudlu barangkali merupakan kiat yang paling efektif sebab berwudlu juga memiliki arti mensucikan diri, sehingga di samping air wudlu konon dapat memadamkan api yang merupakan bahan baku syetan, air juga merupakan salah satu sarana bersuci, dan kesucian manusia secara lahiriah diharapkan mampu mempengaruhi dan menembus kesucian bathiniyahnya.


Bab 16
P E R N I K A H A N

A.  Makna dan Tujuan Pernikahan
Pernikahan merupakan suatu ikatan perjanjian antara dua insan laki-laki dan perempuan dengan syarat-syarat adanya ijab kabul, dua saksi, mahar dan wali nikah. Menikah merupakan perintah agama dan sunnah Rasul yang patut untuk dipatuhi dan diteladani, karena sangat banyak hikmah dan manfaat yang dapat dipetik dan sebuah pernikahan. Manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan agar dengan itu manusia dapat saling menyayangi, saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lainnya, untuk memperoleh ketenteraman jiwa dalam rangka menunjang penghambaan kepada Allah. Allah berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِيْ ذَلِكَ َلآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
"Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya bahwa Dia menciptakan jodoh untukmu dan dirimu agar supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang, Sungguh pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir." (Ar-Ruum : 21)

Jika pernikahan dilaksanakan atas dasar mengikuti perintah agama dan mengikuti sunnah Rasul maka sakinah mawaddah dan rahmah yang telah Allah ciptakan untuk manusia dapat dinikmati oleh sepasang suami istri.
Melaksanakan pernikahan adalah melaksanakan perintah agama dan sekaligus mengikuti jejak dan sunnah para rasul Allah. Karena itu jika seseorang sudah mencukupi persyaratan untuk menikah maka dia diperintahkan untuk melaksanakannya, karena dengan menikah hidupnya akan menjadi lebih sempurna. Perintah itu disampaikan Nabi melalui sabdanya :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجَ؛ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a berkata Rasulullah SAW. bersabda : Wahai para pemuda, barangsiapa telah sanggup memikul beban perkawinan, maka hendaklah kawin, dan siapa yang belum sanggup maka hendaknya benpuasa, sesungguhnya hal itu untuk menahan syahwat dan dosa." (HR. Bukhari Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجَ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
"Wahai para pemuda, barang siapa telah sanggup memikul beban perkawinan, maka hendaklah kawin, maka sesungguhnya itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga faraj." (HR. Bukhari Muslim)

Dan hadits di atas dapat dipahami bahwa pemikahan dapat menekan dan mengurangi terjadinya perbuatan dosa lantaran gejolak nafsu syahwat yang menggeloran dalam diri seorang pemuda, karena itu Nabi menganjurkan untuk berpuasa sebagai solusi sementara untuk mengatasinya. Puasa merupakan solusi darurat untuk meredam nafsu syahwat bagi orang yang belum memiliki kemampuan atau belum memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemikahan. Namun demikian Nabi tetap menekankan pernikahan dengan mengatakan bahwa: Nikah itu sunnahku dan barang siapa benci (tidak suka) terhadap sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku. Ancaman nabi tersebut menunjukkan bahwa betapa pernikahan merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan tentang tiga orang yang datang kepada istri Nabi untuk menanyakan tentang ibadah Nabi, dan setelah dijelaskan panjang lebar mereka bertanyatanya lalu di mana posisi kita ini dan nabi yang telah diampuni semua dosa-dosanya? Maka berkatalah salah seorang di antara mereka: Adapun saya maka saya selamanya shalat malam, dan yang lain berkata, saya puasa sepanjang tahun, dan tidak berbuka, dan yang lain lagi berkata, saya menjauhi perempuan, maka saya tidak menikah selamanya.
Di tengah-tengah pembicaraan itu tiba-tiba Nabi datang dan bersabda: Kalian berkata ini dan itu, sedangkan aku demi Allah aku lebih takut kepada Allah daripada kamu, tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi perempuan, maka barang siapa benci terhadap sunnahku dia bukanlah termasuk golonganku.
 Jika dicermati kisah di atas dapat ditarik suatu kongklusi bahwa orang yang menjauhi perempuan dan tidak mau menikah karena alasan yang tidak jelas, walaupun dia ahli shalat malam ataupun ahli puasa, maka Nabi memberikan kesan tidak menyukainya, karena di akhir perkataannya Nabi mengatakan bahwa orang yang tidak mau menikah artinya tidak mengikuti sunnahnya dan bukan termasuk dari golongannya.

B.  Kriteria Calon Pasangan Hidup
Adalah menjadi naluri setiap manusia mencintai keindahan, karena Allah indah dan Dia mencintai setiap yang indah. Namun demikian dalam masalah perjodohan keindahan wajah tidak seharusnya menjadi prioritas utama di dalam menentukan calon pasangan hidup karena keindahan yang satu ini tidak abadi dan akan sirna bersama berlalunya waktu. Sementara pernikahan seharusnya memiliki dua tujuan. Yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sebuah pernikahan adalah kesejahteraan dan kebahagiaan dunia, dan tujuan jangka panjangnya adalah kebahagiaan abadi setelah mati. Karena itu sangatlah tepat jika Nabi menganjurkan agar agama menjadi prioritas utama di dalam menentukan pilihan calon pasangan. Nabi pernah mengatakan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shaleh, dan kesalehan adalah menyangkut faktor keberagamaan seseorang. Akan tetapi jika keempatnya itu ada dalam did seseorang maka barangkali itulah surga dunia.
Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا: فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه الخمسة)
"Dari Abu Hurairah r.a. : Perempuan itu dinikah karena empat hal. Karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya niscaya engkau selamat."
Melalui sabdanya di atas Nabi menganjurkan agar di dalam memilih calon pasangan hidup seseorang mengutamakan masalah agama, karena jika tidak maka harta, nasab dan kecantikan yang tidak dimanage dan dikelola dengan agama yang benar justru akan mendatangkan malapetaka bagi keutuhan rumah tangga.
Menikah berarti menyatukan dua hati manusia yang memiliki karakternya masing-masing, yang belum tenth satu sama lain sejalan dan seirama, oleh karena itu persiapan dan kematangan jiwa perlu menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang mau melaksanakannya. Toleransi, kesetiaan, kesediaan untuk mengerti dan memahami pasangannya seperti adanya, serta kesediaan untuk berkorban terhadap pasangannya, semuanya menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan yang sakinah mawaddah dan penuh rahmah.

C.  Suami Istri Saling Memiliki Hak dan Kewajiban
Sepasang suami istri keduanya saling memiliki hak dan kewajiban yang harus diterima dan ditunaikan. Suami memiki kewajiban memberi nafkah serta mempergauli istri secara ma’ruf. Nabi bersabda:
عَنْ عَلِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ، مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَِيْمٌ (رواه إبن عساكر)
"Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku (Nabi) baik terhadap keluargaku. Tidak akan memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia dan tidak akan menghinakan perempuan kecuali orang yang hina. (HR. Ibnu Asakir)

Dalam hadits lain Nabi bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِلنِّسَاءِ (رواه الحاكم)
"Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap perempuan. (HR. Al Hakim)

Dalam dua hadits di atas Nabi secara jelas menganjurkan kepada kaum laki-laki untuk mempergauli secara ma’ruf terhadap kaum perempuan yang secara lebih spesifik dapat dipahami “para istri” di dalam rumah tangga, sebagaimana dicontohkan Nabi. Secara tegas Nabi mengatakan bahwa hanya orang mulia yang bisa memuliakan/menghormati perempuan, dan hanya orang hina yang menghinakan/merendahkan kaum perempuan.
Istri memiliki kewajiban tunduk dan patuh terhadap perintah suami (selama bukan perintah untuk bermaksiat). Nabi bersabda:
عَنِ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ كُنْتُ آَمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةُ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا (حديث صحيح رواه أحمد والترمذى)
"Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Seandainya aku diperintahkan untuk menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang niscaya aku perintahkan kepada perempuan untuk bersujud kepada suaminya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dalam riwayat lain dikatakan:
عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  لَوْ كُنْتُ آَمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ ِلأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ (حديث صحيح رواه ابو داوود والحاكم)
"Dari Qais bin Sa’ad r.a. berkata: Rasulullah SAW.bersabda : Seandainya aku diperintahkan untuk menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang niscaya aku perintahkan kepada para perempuan untuk bersujud kepada para suami mereka karena Allah telah menjadikan ada hak kaum laki-laki pada kaum perempuan. (HR. Abu Dawuud dan Hakim)

Kata “seandainya” dalam hadits di atas merupakan kata pengandaian yang tentu tidak riel, karena dalam realitasnya Nabi tidak pernah diperintahkan untuk menyuruh manusia sujud kepada manusia, karena manusia hanya berkewajiban untuk sujud kepada Allah, Tuhan semesta alam. Karena itu menurut hemat penulis hadits tersebut tidak perlu diperdebatkan karena hanya sebuah pengandaian. Hanya saja hadits tersebut mengandung pesan sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perempuan/istri memiliki kewajiban-kewajiban terhadap suami yang hadits ditunaikan, selagi suami juga memenuhi kewajibannya terhadap istri dan suami berada di jalan yang benar.
Demikian kompleksnya permasalahan rumah tangga sehingga Nabi pernah mengatakan bahwa menikah itu menyempurnakan separuh dari agama. Hal itu dapat dipahami karena melalui pernikahan banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at agama yang ketika sendiri orang belum bisa melaksanakan, tetapi melalui pernikahan di dapat melakukannya.
Islam memberi batasan-batasan syar’i di dalam memilih pasangan hidup. Allah mengingatkan kepada orang-orang beriman agar kaum laki-laki tidak menikahi perempuan musyrik sebelum dia beriman, dan orang tua tidak menikahkan putrinya dengan laki-laki musyrik sebelum dia beriman. Firman Allah:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وََلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ.
"Janganlah kamu nikahi perempuan-peremuan musyrik sampai dia beriman. Sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada perempuan yang musyrik walaupun dia mengagumkan kamu dan janganlah kamu nikahkan (perempuan-perempuan muslim) dengan laki-laki musyrik sehingga mereka beriman, dan adalah hamba sahaya yang beriman lebik baik daripada laki-laki musyrik walaupun dia mengagumkan kamu. Mereka itu menyeru ke dalam neraka dan Allah menyeru ke surga dan ampunan dengan ijin-Nya. Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya untuk manusia semoga mereka menerima peringatan.' (QS. Al-Baqarah : 221)
Musyrikun adalah orang-orang yang menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya, karena sebenarnya dia menduakan atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain. Orang-orang yang tidak beriman Tuhan mereka adalah thaghut yang menjerumuskan manusia dan mengajaknya untuk bersama-sama kelak di akhirat di dalam neraka, karena surga Allah hanya disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang di dalam hatinya ada iman. Sementara Allah menunjukkan jalan-Nya yang lurus yang mengantarkan manusia sampai ke dalam surgan-Nya.
Dalam Islam pemikahan bukan sekedar untuk menuruti kehendak nafsu belaka, akan tetapi harus memiliki nilai ibadah kepada Allah, karena menurut Islam menjalankan perintah agama dengan penuh ketulusan hati dan dengan niat mengharap ridla-Nya adalah sebuah bentuk peribadatan.
Karena itu mengutamakan agama di dalam memilih calon pasangan hidup merupakan langkah tepat bagi orang yang menginginkan rumah tangga yang dibangunnya penuh dengan kedamaian, kasih sayang dan limpahan rahmat.


Bab 17
KEWAJIBAN MENCARI ILMU

A.  Definisi Ilmu
Ilmu menurut etimologi berasal dari kata bahasa Arab عَلِمَ artinya mengetahui. Sedangkan pengertiannya menurut istilah:
اَلْعِلْمُ صِفَةٌ يَنْكَشِفُ بِهَا الْمَطْلُوْبْ اِنْكِشَافًا تَامًا.
Ilmu adalah suatu sifat yang dengan sifat tersebut sesuatu yang dituntut bisa terungkap dengan sempurna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan sarana untuk mengungkap, mengatasi, menyelesalkan dan menjawab persoalan yang sedang dihadapi dalam hidup dan kehidupan manusia.
Ilmu dapat membedakan nilai manusia di hadapan Allah. Firman-Nya:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ اْلآَخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ.
"Adakah orang yang patuh pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, takut dengan siksa akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya -sama dengan orang yang durhaka -  Katakanlah (Muhammad) adakah sama arang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu? (tentu tidak). Hanya orang-orang berakal yang dapat menerima peringatan." (QS.  : 9)

Ayat di atas menjelaskan betapa Allah telah membedakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu, karena dengan ilmunya orang akan dapat memikirkan semesta dengan segala ke-Mahakuasaan Penciptanya. ilmu juga meruakan sarana untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Nabi SAW. pernah mengatakan dalam sebuah haditsnya:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (رواه البخارى)
"Barangsiapa menghendaki dunia maka hendaknya dia berilmu, barang siapa menghendaki akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu pula."

B.  Menuntut ilmu Kewajiban Individual
Karena ilmu menjadi sarana bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun akhirat maka mencarinya wajib hukumnya. Nabi bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه الطبرانى) وَفِى رِوَايَةٍ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنْ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَـهُ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْحِيْتَـانِ فِى الْبَحْرِ (حديث صحيح لإبن عبد البر فى العلم).
Dari Anas r.a. berkata: Rasululah SAW.bersabda: Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Thabrani) Dalam riwayat lain dikatakan: "Mencari ilmu itu wajib bagi kaum muslimin, dan sesungguhnya pencari ilmu itu dimintakan ampunan oleh setiap sesuatu, sampai kepada ikan di lautan."

Mengkaji ilmu itu merupakan pekerjaan mulia karenanya maka orang yang keluar dan rumahnya untuk mengkaji dan mencari ilmu dengan didasari iman kepada Allah, maka semua yang ada di bumi mendoakannya, termasuk ikan yang ada di lautan. Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan perjuangan fisik dan akal, maka Nabi pernah mengatakan bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu akan mendapatkan pertolongan dan Allah, karena Allah suka menolong orang yang mau bersusah payah dalam menjalankan kewajiban agama. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَاللهُ يُحِبُّ إِغَاثَةَ اللَّهَفَانِ (حديث صحيح للبيهقى)
"Dan Anas r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Mencari ilmu ihi wajib bagi setiap muslim, dan Allah suka menolong orang-orang yang bersusah payah. (HR. Baihaqi)

Mencari ilmu berarti melaksanakan perintah agama yang memerlukan peijuangan, ketabahan, keuletan, keija keras dan dan kesabaran, karena itu Nabi pernah menyampaikan bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu adalah di jalan Allah sampai menemui ajalnya. Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ (حديث صحيح رواه الترمذى)
"Dari Anas r.a berkahr Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai meninggal dunia." (HR. Tirmidzi)

Karena hanya dengan ilmu dunia dan akhirat dapat digapai maka Allah memerintakhan hamban-Nya untuk memperluas majlis-majlis kajian ilmu dan Dia berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dan beriman. Firman Allah:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍط وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
"Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah di dalam majlis, maka berlapang-lapanglah! Niscaya Allah akan melapangkan untukmu. Dan apabila dikatakan bangun/berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah : 11)

Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah untuk mencari ilmu, sebab perintah untuk berlapang-lapang dalam majlis maksudnya adalah majlis di mana di sana dikaji suatu ilmu, sehingga ayat di atas mengajarkan kita bahwa iman itulah yang akan mendorong manusia untuk menghidupkan hati untuk berdiri dan taat menjalankan perintah Allah, dan ilmu yang membimbing dan mendidik hati sehingga menjadi lapang dan tunduk, keduanya itulah yang disebutkan dalam ayat di atas sebagai akan menyampaikan kepada derajat yang tinggi.
Allah sangat menganjurkan manusia untuk mencari ilmu karena dengan ilmu orang akan menjadi takut kepadaNya. Firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ.
"Manusia, serangga dan binatang ternak bermacam-macam pula warnanya, Sesungguhnya hanya hamba Allah yang berilmu yang takut kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Fathir : 28)

Ilmu adakalanya dapat menjadikan manusia dekat dengan Allah, akan tetapi juga bisa menjadikannya jauh dari-Nya. Ilmu tanpa iman justru dapat mendatangkan petaka baik bagi pemiliknya maupun bagi kemanusiaan, namun juga sebaliknya iman tanpa ilmu akan membawa kepada kejumudan, Orang yang bertambah ilmunya tetapi tidak mendapatkan petunjuk dari Allah maka ilmunya hanya akan menambah jauh antara dirinya dengan Allah.
عَنْ عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ فِى الدُّنْيَا زُهْدًا لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا (رواه الديلمى فى مسند الفردوس) وفى رواية : مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدَى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا.
"Dari Anas r.a. berkata Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah zuhudnya di dunia maka ilmunya hanya akan menambah jauh dan Allah. (H.R Dailami dalam Musnad Firdaus) Dalam riwayat lain dikatakan: Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuknya inaka ilmunya hanya akan menambah jauh dari Allah."

Islam mengajarkan agar muslim selalu memohon petunjuk kepada Allah, di mana secara jelas diperintahkan dalam salah satu ayat dan surah al-Fatihah dengan firman-Nya:
إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
"Tunjukkan kami jalan yang lurus. Petunjuk Allah itulah yang akan membawa keselamatan kepada manusia dalam menjalani hidupnya."

Sebab apapun prestasi yang diraih manusia termasuk bidang ilmu pengetahuan, jika manusia tidak mendapatkan hidayah/petunjuk dari Allah maka semuanya hanya akan membawa kepada kesengsaraan, kalau tidak di dunia tentu di akhirat nantinya. Karena itu ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dengannya orang akan bertambah dekat dan takwa kepada Allah.




Daftar Pustaka

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, Mesir: Al-Mathba'ah al-Utsmaniyah, 1933)
Ahmad Daudi, Kuliah Akidah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyaklarta: 1984.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Fuad Amsyari, Reorientasi Cara Berpikir, Bersikap, dan Bertindak Umat, dalam Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Hasbi ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1955.
Hurlock, dalam Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rusdakarya, 2008.
Ibnu Hamzah al-husaini ad-Damsyiqi, Asbab al-Wurud Latar Belakang Historis timbulnya Hadits-hadits Rasul, Terj. Suwarta Wijaya dan Safrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadlush Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, 1994.
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Jami' ash-Shaghir fii Ahaadiits al-Basyiir an-Nadhiir, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Juwariyah, Pendidikan moral dalam Puisis Imam Syafi'i dan Ahmad Syauqi, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Lauis Ma'luf, Al-Munjid Mu'jam al-Lughah al-Arabiyah, Bairut: Mathba'ah al-Katulikiyah, 1951.
Mahmud Yunus, Terjemah al-Qur'an al-Karim, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1987.
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abu Dawuud, Mesir: Mathba'ah Mushthafa Ali, t.t.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' wa al-Marjan Himpunan Hadits-hadits Shahih Yang Disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Terj. Salim Bahresyi, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996.
Mushthafa Muhammad 'Imarah, Jawahirul bukhari wa Syarhul Qisthalani 700 Haditsul Masyruuhah, Mesir: Mathba'ah al-Istiqamah, 1359 H.
Nizar bin Abdul Karim bin Sulthan Muhamdani, Ar-Rahmatu al-Muhdatu Muhammad Rasulullah, Makkah al-Mukarromah: Rabithah al-Islami, 1417 H.
As-Sayyid al-Imam muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, Syarh Bulugh al-Maram min Jami' al-Adillati al-Ahkam, Mesir: Maktabah Mushthafa al-babi al-Halabi, 1950.
Syaikh Musthafa al-'Adawi, Kumpulan Hadits-hadits Qudsi, Terj. Mastiah, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2008.
Yahya bin Yahya bin Katsir al-Andalusi, Al-Muwatha' lil al-Imam Malik bin Anas, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.



Catatan Mengenai Penyusun





Pria bernama lengkap Drs. KH. Abd. Choliq Ms, SH., S.Pd., M.Si. ini lahir di Lamongan, 12 Oktober 1963. Sekarang berdomisili sekaligus menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Putri Al-Wardiyyah Bahrul ’Ulum dan Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah Tiga Putra Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang. Alumnus Pesantren Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang ini menamatkan pendidikan S1 di Universitas Darul ’Ulum Jombang pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan di Universitas Wisnu Wardhana Malang pada Fakultas Hukum. Juga menamatkan pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Wisnuwardhana Malang tahun 2004.
Penyusun meraih gelar S2-nya di Universitas Wijaya Putra pada jurusan Magister Administrasi Publik tahun 2001. Saat ini disamping kesibukannya di bidang penulisan, beliau juga mendarmabaktikan ilmunya dengan  menjadi dosen di STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang.
Aktivitas lain yang dijalani sekarang di antaranya adalah sebagai pengurus Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jombang dan sebagai Ketua I IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kabupaten Jombang, di samping juga aktif menjadi Khatib di berbagai masjid di Kabupaten Jombang.




MAKALAH TAFSIR KLASIK ( At Tibyan fi Tafsir Al Quran ) ( karya At Thusi )

PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Tafsir menurut bahasan merupakan bentuk masdar dari fassara – yufassir – tafsiran yang berarti menjel...