فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ
وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ
الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
(220)
Tentang
dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
“Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan
mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat
kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki,
niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Asbabun
nuzul ayat ini adalah jawaban atas kekhawatiran umat Islam waktu itu setelah
turunnya 2 ayat berikut:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ
الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا
الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ
أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan
beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu
berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat. (Al An'aam 6:152)
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (An Nisaa 4:10)
Sehingga
akhirnya banyak yg takut kalau mencampuri anak yatim dalam hal makan, minum
dll. Di ayat ini Allah menjelaskan adab mencampur harta mereka dg harta kita,
dimana dibolehkan memilih mana yang maslahat nya paling besar, apakah dicampur
atau dipisah.
- Perbanyaklah memohon kemudahan menjalaninya kpd Allah krn secara umum
tdk mudah mengurus mereka. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu
- Yakinlah bhw Allah tempat memohon pertolongan dan Dia Maha Bijaksana
yang memberi pilihan terbaik bagi kita. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
Mereka juga bertanya tentang pengasuhan anak yatim yang baik
menurut Islam. "Sesungguhnya yang baik untuk kita dan untuk mereka adalah
memperbaiki dan menggabungkan mereka ke dalam rumah kita, dengan tujuan untuk perbaikan,
bukan kerusakan. Mereka adalah saudara kita juga yang pantas bergabung bersama
kita. Allah mengetahui orang yang berbuat kebaikan dan orang yang berbuat
kerusakan di antara kita, maka waspadalah. Kalau Allah berkehendak untuk
memberatkan, Dia mewajibkan kita mengasuh anak-anak yatim tanpa tinggal dalam
satu rumah dengan mereka, atau membiarkan anak-anak yatim itu tanpa ada
kewajiban kalian untuk mengasuhnya. Dengan begitu, mereka akan tumbuh dengan
rasa benci terhadap masyarakat, yang akan berakibat rusaknya tata masyarakat.
Karena keterlantaran dan keterhinaan mereka dapat mendorong kepada sikap benci
yang destruktif. Sungguh, Allah Mahaperkasa dan Mahamenang atas urusan-Nya.
Tetapi, Dia juga Mahabijaksana, tidak menetapakan hukum kecuali yang mengandung
maslahat kalian[1].
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ (221)
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.
Allah melarang kita menikahi wanita atau
lelaki musyrik. Bahkan ditegaskan orang beriman masih lebih baik di mata Allah
sebagai istri/suami dibandingkan orang musyrik, walaupun org beriman ini
levelnya budak (dijaman sekarang mgkn bisa dianalogikan dengan pembantu/orang
yg sangat rendah secara ekonomi, kedudukan dan keilmuan). Dikatakan mereka
mengajak ke neraka, maksudnya menggambarkan besarnya konflik dan pengaruhnya
istri/suami terhadap pasangan dan anak-anaknya, sementara Allah mengajak ke
surga melalui keimanan kita.
Menurut jumhur ulama, yang diharamkan ini
adalah laki-laki dan perempuan musyrik (seperti penyembah berhala dan api/Majusi).
Sedangkan wanita Nasrani dan Yahudi tetap dibolehkan berdasarkan ayat:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (Al Maidah 5:5)
Sebagai seorang Mukmin tidak boleh menikahi wanita musyrik yang
tidak beriman kepada kitab-kitab suci samawi. Janganlah kekayaan, kecantikan,
status sosial dan keturunan yang dimiliki seorang wanita musyrik membuat salah
seorang di antara kita menikahinya. Seorang wanita budak Mukmin lebih baik
daripada wanita musyrik merdeka yang memiliki kekayaan, kecantikan, kedudukan
dan keturunan terhormat. Dan seorang Mukmin yang mempunyai hak perwalian juga
tidak boleh menikahkan wanita dengan seorang musyrik yang tidak beriman kepada
kitab-kitab suci samawi. Jangan sampai ada di antara kita lebih memilih seorang
musyrik hanya karena kekayaan dan status sosialnya yang tinggi. Seorang budak
yang Mukmin itu lebih baik daripada mereka. Orang-orang musyrik itu selalu berusaha
mengajak keluarganya untuk berbuat maksiat yang akan menjerumuskan ke dalam api
neraka. Sebenarnya Allah melarrang kta untuk menggaulinya menunjukkan kita
kepada kebaikan dan supaya kita tetap berada dijalan yang benar. Dengan begitu,
kita akan memperoleh surga dan ampunan serta mengarungi jalan kebaikan dengan
mudah. Allah telah menjelaskan syariat dan petunjuk-Nya kepada manusia agar
mereka mengetahui apa-apa yang mengandung maslahat dan baik buat mereka.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu
adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Asbabun nuzulnya adalah kebiasaan kaum Yahudi ketika zaman Nabi mereka tdk mau menemani
makan ataupun berbicara kalau istrinya sedang haidh. Maka ketika sahabat
bertanya, diturunkanlah ayat ini, disertai penjelasan, "Lakukan apa pun
selain jimak" (hadits riwayat Ahmad dan Muslim)
Perintah ini kemudian dilanjutkan utk menggauli kembali setelah
mereka bersih. Terakhir ayat ini ditutup dengan pesan bahwa Allah mencintai mereka
yang bertaubat (yang mungkin khilaf melanggar perintah ini) dan juga mencintai
orang yang mensucikan diri (karena bagi beberapa orang sangat berat untuk puasa selama istrinya haid).
Mereka bertanya tentang hukum menggauli istri di waktu haid. Sesungguhnya
haid itu adalah kotoran. Maka janganlah menggauli mereka selama masa haid,
sampai benar- benar suci. Jika telah suci, silahkan gauli mereka di tempat yang
seharusnya. Barangsiapa yang melanggar ketentuan itu maka segeralah bertobat.
Karena Allah menyukai hamba-hamba yang banyak bertobat dan bersuci dari segala
kotoran dan kekejian.
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
(223)
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman.
Istri yang dimaksud disini adalah tempat mengembangkan keturunan
seperti tempat biji yang membuahkan tumbuhan. Maka, kita boleh menggauli mereka
dengan cara apa pun selama pada tempatnya. Takutlah kepada Allah kalau
melanggar ketentuan-Nya dalam menggauli istri. Ketahuilah bahwa kita akan
menjumpai-Nya, mempertanggungjwabkan segala sesuatu di hadapan-Nya. Kabar
gembira hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mengetahui
ketentuan-ketentuan Allah dan tidak melanggarnya.
وَلَا تَجْعَلُوا اللَّهَ
عُرْضَةً لِأَيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ
النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224)
Jangahlah
kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat
kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Janganlah kita terlalu mudah menyebut nama Allah dalam
sumpah. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan keagungan nama-Nya. Menjaga diri
dengan tidak sering bersumpah dengan nama Allah menyebabkan kebaktian,
ketakwaan dan kemampuan melakukan perbaikan di antara manusia. Sebab orang yang
tidak sering bersumpah akan menjadi terhormat dan terpercaya di hadapan orang
sehingga omongannya diterima. Allah Maha Mendengar ucapan dan sumpah kalian,
Maha Mengetahui segala niat kalian.
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ
بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (225)
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.
Allah memaafkan sebagian sumpah. Sumpah yang diucapkan dengan
tidak disertai maksud dan ketetapan hati, atau sumpah atas sesuatu yang
diyakini telah terjadi padahal belum terjadi, tidak dinilai oleh Allah. Tetapi
Dia menghukumi sumpah yang berdasarkan keinginan hati untuk melaksanakan atau
tidak melaksanakan suatu perbuatan, serta kebohongan yang diperkuat dengan
sumpah. Allah Maha Pemberi ampun kepada hamba-Nya yang bertobat dan Maha
Penyantun, serta memaafkan segala sesuatu yang tidak dikehendaki hati
.
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (226)
Kepada orang-orang yang meng-ilaa'[2]
isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Orang-orang yang bersumpah untuk tidak menggauli istri, diberi
tenggang waktu empat bulan. Jika mereka tetap menggaulinya di tengah-tengah
masa tersebut, maka perkawinan tetap berlangsung, namun bagi mereka diharuskan
membayar kafarat. Allah mengampuni mereka dan menerima kafarat[3] itu sebagai wujud kasih
sayang-Nya kepada mereka.
وَإِنْ
عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)
Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Jika pada masa itu mereka tidak menggauli istri, maka itu berarti
melukai wanita. Tidak ada jalan lain kecuali harus bercerai. Allah Maha
Mendengar semua sumpah mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka dan akan
memperhitungkan semua itu pada hari kiamat.
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ
مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Wanita-wanita yang dijatuhi talak, diharuskan menunggu, dilarang
menikah lagi selama tiga kali haid. Hikmah dibalik itu adalah:
1. Agar diketahui betul rahimnya kosong dari janin
2.Dan kesempatan untuk rujuk tetap terbuka. Mereka tidak boleh
menyembunyikan isi rahim mereka yang berupa janin atau darah haid. Itulah sifat
wanita-wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Suami-suami mereka
berhak untuk kembali mengawini mereka selama masa menunggu. Ketika menggunakan
hak tersebut, para suami hendaknya bertujuan mengadakan perbaikan, bukan
sebaliknya, menimbulkan kemudaratan. Para istri mempunyai hak- hak di samping
kewajiban sepanjang tidak dilarang agama. Para suami mempunyai kewajiban lebih
terhadap istri-istri mereka berupa memelihara dan menjaga keutuhan serta
kelangsungan kehidupan rumah tangga dan urusan anak-anak.
3. Allah Swt. menggungguli hamba-hamba-Nya, menggariskan ketentuan
untuk mereka yang sesuai dengan kebijakan-Nya. Ada dua catatan. Pertama, kata
"qurû'" yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan “haid”. Maka, atas
dasar ini, masa idah ('iddah) wanita yang ditalak adalah tiga kali haid. Ini
adalah pendapat kebanyakan ulama (jumhûr). Imam Syâfi'i menafsirkan kata
"qurû'" sebagai masa suci di antara dua haid. Atas dasar itu, menurut
Syâfi'i, masa idah adalah selama tiga kali bersuci. Kedua, jenis dan hukum
tentang idah lainnya akan dijelaskan kemudian di tempat lain. Masa idah
disyariatkan untuk dua tujuan. Pertama, untuk mengetahui bahwa rahim itu kosong
dari janin. Dan itu dapat diketahui dengan jelas setelah tiga kali haid. Sebab,
biasanya, wanita hamil tidak mengalami haid. Kalaupun mengalami, paling banyak
hanya satu atau dua kali saja. Sebab, pada saat itu janin telah tumbuh hidup
mengisi rahim, sehingga darah haid tidak lagi bisa keluar. Itulah ketentuan
Allah dalam ciptaan-Nya. Sebelumnya, orang-orang Arab, bahkan Rasulullah
sendiri yang ummiy (tidak bisa baca tulis) tidak mengetahuinya. Kemudian Allah
menurunkan al-Qur'ân dan mengajarkannya dan umatnya. Kedua, idah juga
disyariatkan agar suami yang menjatuhkan talak mempunyai kesempatan untuk
merujuk istrinya. Sebab, kadang-kadang seorang suami menjatuhkan talak kepada
istrinya dalam keadaan marah dan emosi. Kalau keadaan sudah normal kembali,
biasanya dia menyesal. Saat itulah kasih sayang Allah terasa sangat luas.
Begitu juga syariat-Nya yang terasa bijak. Cukup dengan mengatakan
"râja'tuki" ('aku rujuk kamu'), istrinya sudah bisa kembali
kepadanya. Tetapi, talak sudah terhitung jatuh satu. Allah memberikan kepada
istri hak yang sama seperti kewajibannya. Kepada suami, Allah memberikan
kelebihan tanggung jawab menjaga dan memelihara keutuhan rumah tangga. Maka ia
harus berlaku adil. Persamaan hak dan kewajiban suami-istri bagi wanita adalah
sebuah prinsip yang belum pernah ada pada bangsa-bangsa sebelum Islam. Pada
masa Romawi, istri hanyalah seorang budak di rumah suaminya, hanya mempunyai
kewajiban saja tanpa memiliki hak sedikit pun. Begitu juga di Persia. Islam paling
dahulu memperkenalkan prinsip keadilan tersebut.
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229)
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang zalim.
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Suami dapat merujuk
kembali istrinya setelah talak pertama dan kedua selama masa idah atau
mengembalikannya sebagai istri dengan akad baru. Dalam kondisi demikian suami
wajib meniatkan usaha mengembalikan istri itu sebagai tindakan yang adil demi
perbaikan. Meskipun jika suami bermaksud mengakhiri perkawinan, tetap
diharuskan menempuh jalan terbaik dengan tetap menghormati wanita bekas
istrinya itu tanpa memperlakukannya dengan kasar. Tidak diperbolehkan bagi para
suami, untuk meminta kembali harta yang telah di serahkan kepada istri itu,
kecuali apabila kalian merasa khawatir tidak mampu melaksanakan hak dan
kewajiban hidup bersuami istri sebagaimana dijelaskan dan diwajibkan Allah Swt.
Apabila kalian, wahai orang-orang Muslim, merasa khawatir istri tidak akan
sanggup melaksanakan kewajiban mereka sebagai istri secara sempurna, maka
mereka juga telah diberi ketetapan hukum untuk menyerahkan sejumlah harta
kepada suami sebagai imbalan perceraian istri-istri itu dari suami mereka.
Inilah adanya ketentuan hukum Allah itu, maka barang siapa melanggar atau
menyalahi ketentuan itu, ia benar-benar telah berbuat zalim terhadap diri
sendiri dan pada masyarakatnya. Allah mensyariatkan talak dan menjadikannya
sebagai hak prerogatif di tangan suami. Sebagian kalangan mengklaim bahwa
kedudukan hak semacam ini akan menjadi faktor yang bisa membahayakan tata
kehidupan sosial dan menghancurkan institusi keluarga. Statemen ganjil itu,
menurut mereka, telah dikuatkan oleh kenyataan bahwa persentase kasus talak di
Mesir (sebagai sampel) dinyatakan termasuk cukup tinggi jumlahnya hingga
mencapai angka 30 %, bahkan lebih. Hal itu akan berujung pada meningkatnya
jumlah anak-anak terlantar. Di sini kita mencoba mengklarifikasikan persoalan,
dengan mengulas maksud hak prerogatif suami dalam talak dan menjelaskan benar
tidaknya statemen di atas. Pertama, hak talak yang diberikan kepada suami tidak
bebas begitu saja, tapi ada ketentuannya--baik yang bersifat psikologis atau
kwantitatif--berkaitan dengan istri yang sudah digauli. Ketentuan- ketentuan
tersebut di antaranya:
(1) Suami tidak menjatuhkan
talak kepada istri lebih dari satu kali talak raj'iy, yang mengandung pengetian
bahwa suami berhak merujuk kembali istrinya selama masa idah atau membiarkannya
tanpa rujuk. Alternatif kedua ini menandakan bahwa suami tidak lagi menyukai
istrinya. Dan sebagaimana dimaklumi, tidak akan ada perkawinan tanpa didasari
oleh rasa suka sama suka.
(2) Suami tidak boleh mencerai istrinya jika sedang dalam masa
haid, karena dalam kondisi seperti ini istri mudah marah. Di samping itu,
selama masa haid wanita tidak bisa melaksanakan tugas (menuruti kehendak suami
untuk melakukan hubungan seksual) seperti pada masa suci. Barangkali persoalan
sepele ini justru sebagai hal yang melatarbelakangi perceraian.
(3) Suami tidak boleh menjatuhkan talak kepada istrinya dalam
keadaan suci tapi telah terjadi hubungan seksual pada masa itu. Kedua, pendapat
yang menyatakan bahwa kasus perceraian di Mesir tergolong tinggi, kalau saja
benar itu masih berada di bawah jumlah kasus yang terjadi di beberapa negara
maju seperi Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Di sisi lain bahwa
kasus-kasus semacam itu tidak seluruhnya berakibat pada perceraian yang
mengakhiri perkawinan atau bubarnya sebuah rumah tangga. Dapat dijelaskan, bahwa
talak yang terjadi sebelum suami berhubungan dengan istri tidak tergolong
sebagai bencana, tapi justru sebagai upaya menghindari bencana itu sendiri.
Sementara kita juga menemukan bukti bahwa kasus rujuk, kasus talak sebelum
suami istri berhubungan, talak yang sama-sama dikehendaki oleh kedua belah
pihak secara sukarela dan termasuk perkawinan yang diperbarui lagi sesudah
talak, cukup besar jumlahnya. Kalau saja jumlah itu kita bandingkan dengan
kasus talak yang 30% dan bersifat umum itu, maka persentase itu akan turun
drastis sehingga kasus talak yang benar-benar berakhir dengan perpisahan suami
istri hanya akan berkisar antara 1 sampai dengan 2% saja. Ketiga, menyangkut
persoalan anak terlantar akibat perceraian orang tua bisa dipastikan tidak benar.
Penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa kasus talak jarang sekali
terjadi setelah kelahiran anak. Secara rinci dibuktikan bahwa 75% kasus talak
terjadi pada pasangan muda yang belum mempunyai keturunan, dan 17% terjadi pada
pasangan suami istri yang mempunyai tidak lebih dari seorang anak. Persentase
itu semakin menurun sebanding dengan bertambahnya anak hingga mencapai 0,25%
pada pasangan suami istri yang mempunyai lima orang anak atau lebih. Dari hasil
penelitian ini sepertinya tidak ada lagi bukti yang menguatkan bahwa
keterlantaran anak itu sebagai akibat dari talak. Justru yang benar adalah
bahwa problem anak terlantar itu diakibatkan oleh lemahnya pengawasan orangtua
dalam pendidikan anak. Hal itu diperkuat oleh hasil penelitian lain bahwa kasus
kriminalitas lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian edukatif orangtua
dan bukan faktor perceraian.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230)
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Apabila suami menjatuhkan talak kepada istri untuk ketiga kalinya,
maka si istri tidak lagi halal baginya kecuali setelah ia dikawini oleh
laki-laki lain dan telah terjadi hubungan suami istri antara keduanya. Apabila
suami kedua itu telah menjatuhkan talak kepadanya sehingga menjadi wanita yang
halal dinikahi, maka suami pertama boleh menikahi wanita bekas istrinya itu
dengan akad baru dan membangun kembali rumah tangganya dengan niat yang benar
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum syar'i yang telah ditetapkan
oleh Allah. Ketentuan itu telah diterangkan dengan jelas bagi orang-orang yang
beriman yang mau memahami dan mengamalkannya.
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ
الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231)
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Apabila suami
menjatuhkan talak kepada istri, dan mereka hampir menghabiskan masa idahnya,
maka kalian diperbolehkan merujuknya dengan niat menegakkan keadilan,
memperbaiki hubungan dan tidak bermaksud jahat. Suami diperbolehkan juga
membiarkan wanita-wanita itu menghabiskan masa idah dengan tetap memberikan
perlakuan baik di masa pisah itu dan tidak dibenarkan berlaku kasar. Suami
tidak dibenarkan sama sekali merujuk istri yang telah dijatuhi talak dengan
maksud mengulur-ulur masa idah atau berbuat sesuatu yang membahayakan wanita.
Barangsiapa melakukan perbuatan yang demikian itu maka ia telah mengharamkan
diri sendiri dari kebahagiaan hidup berkeluarga, menghilangkan kepercayaan
manusia dari dirinya dan akan mendapat murka Allah. Janganlah kalian menjadikan
tatanan hukum Allah dalam kehidupan berkeluarga yang telah diterangkan oleh
ayat-ayat yang berkaitan dengan itu, sebagai bahan ejekan dan permainan, dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia, dengan menjatuhkan talak kepada
istri tanpa alasan jelas dan merujuknya kembali dengan niat jahat yang
tersembunyi. Renungkanlah nikmat Allah yang telah menjelaskan norma-norma hukum
kehidupan berkeluarga dalam satu tatanan yang tinggi, menurunkan kitab berisi
penjelasan kerasulan Muhammad, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, perumpamaan,
dan kisah-kisah yang dapat memberikan pelajaran. Buatlah penghalang antara diri
kalian dan murka Allah. Ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
rahasiakan, apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian niatkan dalam
berbuat. Allah Maha Memberi pahala atas apa yang kalian kerjakan.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى
لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (232)
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Apabila suami menjatuhkan talak kepada istri, dan istri telah
menghabiskan masa idahnya lalu berniat memulai kembali kehidupan berumah tangga
yang baru dengan bekas suaminya atau dengan laki- laki lain, maka tidak
dibenarkan bagi para wali atau suami untuk menghalang-halangi kehendak mereka.
Demikian pula apabila kedua belah pihak (suami-istri) saling berkenan untuk
membuat akad baru dan berkeinginan membangun kehidupan yang terhormat yang
menjamin kebaikan bersama antara mereka berdua. Demikianlah, hal itu
dimaksudkan untuk memberi pelajaran bagi siapa yang beriman dari kalangan
kalian kepada Allah dan hari akhir. Norma-norma hukum yang demikian itulah yang
akan meningkatkan keterkaitan sosial yang baik, dan membersihkan diri kalian
dari noda dan bentuk hubungan masyarakat yang meragukan. Allah mengetahui kebaikan-kebaikan
bersama maslahat dan rahasia-rahasia pribadi manusia yang mereka sendiri tidak
tahu.
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.
Ibu berkewajiban menyusui anaknya selama dua tahun penuh demi
menjaga kemaslahatan anak, kalau salah satu atau kedua orangtua ingin
menyempurnakan penyusuan karena anaknya membutuhkan hal itu. Dan ayah
berkewajiban--karena sang anak adalah keturunan ayah--untuk memberikan nafkah
kepada sang ibu dengan memberikan makan dan pakaian sesuai dengan kemampuannya,
tidak boros dan tidak pula terlalu sedikit. Karena manusia tidak diwajibkan apa
pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Nafkah itu hendaknya tidak merugikan
sang ibu, dengan mengurangi hak nafkahnya atau dalam mengasuh anaknya. Begitu
juga sang anak tidak boleh menyebabkan kerugian ayahnya dengan membebaninya di
atas kemampuannya, atau mengurangi hak ayah pada anak. Apabila sang ayah wafat
atau jatuh miskin sehingga tidak mampu mencari penghidupan, maka kewajiban
memberi nafkah dilimpahkan kepada pewaris anak jika ia memiliki harta. Apabila
salah satu atau kedua orangtua menginginkan untuk menyapih anak sebelum dua
tahun secara sukarela dan dengan melihat maslahat anak, maka hal itu
dibolehkan. Kalau sang ayah hendak menyusukan anak kepada wanita lain, hal itu
juga dibolehkan. Dalam hal ini, orang tua harus membayar upah dengan rida dan
cara yang baik. Jadikanlah Allah sebagai pengawas dalam segala perbuatanmu. Dan
ketahuilah bahwa Allah Mahaperiksa perbuatan itu dan akan memberikan balasannya.
Teks al-Qur'ân menegaskan kewajiban menyusui ada pada ibu, bukan pada orang
lain. Menyusukan anak kepada orang lain hanya boleh dilakukan bila si ibu tidak
mampu melakukannya. Ahli-ahli fikih telah sepakat mengenai kewajiban menyusui
anak pada ibu. Sebab, air susu ibu adalah makanan alami bagi bayi, karena
sangat sesuai dengan kebutuhan hidup bayi pada masa itu. Air susu ibu dapat
bertambah banyak seiring dengan bertambah besarnya bayi. Selain itu air susu
ibu juga memiliki kandungan yang bermacam- macam sesuai dengan kebutuhan bayi.
Menyusui anak akan bermanfaat bagi si ibu, dan tidak merugikannya kecuali dalam
hal-hal tertentu. Menyusui dapat memperbaiki kondisi kesehatan bayi secara umum
melalui perangsangan pertumbuhan sistem pencernaan dan merangsang untuk
mendapatkan zat-zat makanan yang dibutuhkan bayi. Di samping itu menyusui juga
bermanfaat bagi sang ibu, karena dapat mengembalikan alat reproduksinya kepada
kepada keadaan semula setelah proses kelahiran. Ilmu kedokteran modern
membolehkan secara berangsur-angsur menyapih anak bayi di bawah dua tahun kalau
bayi itu memiliki kesehatan yang memadai. Tetapi apabila kondisi kesehatannya
tidak memungkinkan dan ia tidak mampu mengunyah makanan luar, maka penyusuan
harus disempurnakan menjadi dua tahun. Setelah itu bayi dapat memakan makanan
selain air susu ibu.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil,
maka harus menunggu masa idah selama empat bulan sepuluh hari tanpa kawin,
untuk melihat kondisi rahim dan pernyataan bela sungkawa atas meninggalnya sang
suami. Apabila masa idah telah berakhir, maka para wali, boleh membiarkannya
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik hingga sampai akhir masa idah.
Sebaliknya, ia tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang oleh agama. Sebab,
Allah Mahaperiksa atas segala rahasia kalian dan mengetahui apa yang kalian
lakukan untuk kemudian memperhitungkannya.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي
أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Tidak ada dosa
bagi kaum lelaki untuk meminang wanita-wanita yang sedang dalam idah karena
ditinggal mati oleh suaminya dengan memberikan isyarat (sindiran) dan
menyembunyikan maksud itu dalam hati kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui
bahwa kalian tidak akan dapat bersabar untuk tidak membicarakan mereka. Karena
laki-laki, secara fitrah, mempunyai kecenderungan kepada wanita. Karena itu
Allah membolehkan isyarat atau sindiran, bukan dengan terang-terangan. Maka
jangan kalian memberi janji kawin kepada mereka kecuali dengan cara isyarat atau
sindiran yang baik. Jangan kalian mengadakan akad perkawinan sebelum berakhir
masa idahnya. Yakinlah bahwa Allah Mahaperiksa terhadap apa yang kalian
sembunyikan dalam hati. Maka takutlah akan hukuman-Nya dan jangan berani
melakukan larangan-Nya. Juga, jangan kalian berputus asa dari kasih sayang-Nya,
apabila kalian melanggar perintah-Nya. Sebab, Allah Mahaluas ampunan, memaafkan
kesalahan dan menerima pertobatan dari hamba-hamba-Nya. Allah juga Maha
Penyabar yang tidak segera menjatuhkan hukuman terhadap orang yang melakukan
kejahatan.
لَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236)
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Para suami, tidak berdosa dan tidak berkewajiban membayar maskawin
apabila suami mencerai istri sebelum menggaulinya dan sebelum ditetapkan
maskawinnya. Tetapi berilah mereka sesuatu yang dapat menyenangkan dirinya dan
meringankan derita jiwanya. Itu semua hendaknya dilakukan secara sukarela dan
lapang dada. Orang yang kaya hendaknya memberikannya sesuai dengan kekayaannya
dan yang miskin sesuai dengan keadaannya. Pemberian itu termasuk kebajikan yang
selalu dilakukan oleh orang-orang yang berakhlak baik.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ
بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (237)
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan.
Sedangkan apabila suami menjatuhkan talak kepada istri sebelum suami
menggaulinya dan sudah menentukan maskawinnya, maka suami berkewajiban membayar
separuh maskawin kepada mereka, kecuali kalau istri itu tidak menuntut.
Sebaliknya, sang istri tidak boleh diberi lebih dari separuh kecuali jika suami
rela untuk memberikan seluruhnya. Kerelaan kedua suami istri itu lebih
terhormat dan lebih diridai oleh Allah serta lebih sesuai dengan sifat
orang-orang yang bertakwa, maka janganlah suami tinggalkan perbuatan itu. Dan
ingatlah bahwa kebaikan ada dalam sikap mengutamakan dan perlakuan yang baik
kepada orang lain karena hal itu lebih dapat untuk membawa kepada cinta kasih
antara sesama manusia. Allah Mahaperiksa atas hati-hati kalian dan akan
memberikan balasan atas sikap mengutamakan itu.
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'.
Berusahalah melaksanakan semua salat
dan lakukan secara terus menerus. Usahakan agar salat kalian menjadi lebih baik
dengan cara melaksanakan seluruh rukun dengan niat sepenuh hati karena Allah
Swt. Dan sempurnakanlah ketaatan kalian kepada Allah dengan sikap ikhlas dan
khusyuk kepada-Nya.
فَإِنْ خِفْتُمْ
فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا
عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.
Bila datang waktu salat dan kalian sedang dalam keadaan takut
bahaya, maka janganlah kalian tinggalkan. Tetapi lakukanlah semampu kalian, dengan
cara sambil berjalan atau berkendaraan. Dan jika rasa takut itu telah hilang,
salatlah sesuai ketentuaan yang ditetapkan dengan mengingat Allah, mensyukuri
tuntunan dan rasa aman yang telah diberikan-Nya kepada kalian.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah berpesan
kepada wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya untuk menetap di rumah
(dengan tidak disuruh pindah) selama satu tahun penuh, agar diri mereka
terhibur dan terkendali. Tidak seorang pun boleh memaksa mereka keluar. Jika
mereka sendiri pindah di tengah-tengah waktu yang ditentukan tadi secara suka
rela, maka tidak ada dosa bagi kalian, sebagai ahli waris, untuk membiarkan
mereka bertindak sesuka hati selama tidak melanggar syariat. Taatilah
hukum-hukum Allah dan laksanakanlah segala ketentuan-Nya. Sesungguhnya Dia
Mahakuasa untuk membalas setiap orang yang melanggar perintah-Nya. Dan Dia
Mahabijaksana, tidak menetapkan hukum kecuali ada maslahat meskipun kalian
tidak mengetahuinya.
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241)
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang
yang bertakwa.
Wanita-wanita
yang dijatuhi talak suaminya setelah digauli, berhak memperoleh harta sesuai
keinginan mereka, sebagai penghibur diri. Harta itu diberikan dengan cara yang
terbaik dengan melihat kondisi finansial suami. Sebab yang demikian itu
merupakan konsekuensi ketakwaan dan keimanan.
كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
Demikianlah
Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu
memahaminya.
Dengan keterangan semacam ini dan
ketentuan hukum yang mewujudkan kemaslahatan, Allah menjelaskan hukum, nikmat
dan tanda kekuasaan-Nya, agar kalian merenunginya dan melakukan sesuatu yang
baik.
[1]
Quraish Shihab
[2] Ilaa'
adalah sumpah suami utk tidak mencampuri istri. Di sini Allah menentukan batas
maksimumnya adalah 4 bulan krn akan memutuskan hubungan dan menciptakan
perselisihan yg berkepanjangan.
[3]
Kafarat adalah memberikan suatu tebusan atau denda yang wajib dibayar oleh
seseorang karena telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar