Senin, 08 Januari 2018

MAKALAH TAFSIR KLASIK ( At Tibyan fi Tafsir Al Quran ) ( karya At Thusi )

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tafsir menurut bahasan merupakan bentuk masdar dari fassara – yufassir – tafsiran yang berarti menjelaskan sesuatu (bayan al-syai wa idlahuhu). Kata tafsir dapat juga diartikan al-ibanah (menjelaskan makna yang masih samar) , al-kasyf (menyingkapkan makna yang masih tersembunyi),  dan al-izh-har (menampakkan makna yang belum jelas). Dari tinjauan makna bahasa tersebut, maka tafsir secara istilah dapat diartikan sebagai suatu hasil pemahaman atau penjalasan seorang penafsir terhadap al-Qur’an yang yang dilakukan dengan metode atau pendekatan tertentu.[1]
Sedangkan Syi’ah menurut bahasa berarti penolong atau pengikut terutama pengikut dan pecinta Ali bin Abi Thalib.[2] Imam al-Fafairuz ‘Abady mengatakan : “Syi’ah seseorang adalah pengikut dan pendukungnya. Dan kelompok pendukung ini bisa terdiri dari satu orang, dua orang, atau lebih, laki-laki maupun perempuan. Pada umumnya nama “syi’ah” dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang menjadikan “Ali ra berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus-menerus, sehingga nama Syi’ah itu akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja. Istilah Syi’ah pada mulanya diterapkan bagi kumpulan orang yang senantiasa berhimpun di sekitar seorang Nabi, wali atau seorang sahabat.[3]
            Setelah mengetahui penjelasan mengenai dua term yakni tafsir dan syi’ah maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan Tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari golongan syiah dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang mana dalam menafsirkan al-Qur’an, golongan syi’ah tersebut  lebih menekankan mengkaji pada aspek batin  al-Qur’an.
Dalam hal ini ada salah satu kitab tafsir karya Abu Jafar Muhammad Ibnu Hassan at- Tusi yakni  kitab At-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, yang mana dalam kitab tersebut lebih menekankan pada aspek ilmu ma’ani. Tentunya kitab ini akan menarik untuk dikaji.

PEMBAHASAN
A.    Mengenal Sosok Pengarang Kitab At-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an

1.      Biografi Syaikh Abu Ja‘far Ath-Thusi (385 – 460 H.)
Syaikh Abu Ja‘far Ath-Thusi adalah seorang faqih besar, muhaddis kenamaan, dan ilmuwan tersohor. Ia mendapat julukan Syaikhut Tha’ifah (Pembesar Mazhab Syi‘ah). Nama lengkapnya adalah Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 385 H. di kota Thus, Khurasan, salah satu kota besar di Iran.
            Ia berhasil menamatkan tingkat permulaan pendidikan di tempat kelahirannya sendiri. Pada tahun 408 Hijriah, ketika usianya masih dua puluh delapan tahun, ia berhijrah ke Baghdad dan berdomisili di Irak hingga ia tutup usia. Setelah gurunya, Sayid Murtadha Alamulhuda meninggal dunia, tampuk kepemimpinan ilmiah dan fatwa mazhab Syi‘ah berpindah ke tangannya.
Ketenaran ilmu pengetahuan, kezuhudan, takwa Syaikh Thusi melampaui garis perbatasan Irak dan sampai ke seluruh penjuru dunia kala itu. Bahkan, ketenaran ini mampu menembus tembok-tembok kokoh istana kekhalifahan dinasti Bani Abbasiah. Hal ini menyebabkan Al-Qa’im bi Amrillah, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abbasiah—bekerja sama dengan dinasti Al Buyeh—sepenuhnya menyerahkan kursi pengajaran ilmu Teologi kepadanya. Pengajaran ilmu teologi biasanya dilaksanakan di pusat kekhalifahan pada masa itu.
Mereka sangat mengagungkan kursi yang satu ini, dan menyerahkan kursi tersebut kepada seorang ilmuwan negara yang paling agung dan tersohor. Penyerahan kursi tersebut kepada Syaikh Thusi mengindikasikan bahwa tidak ada ilmuwan lagi di seluruh penjuru Baghdad dan negara Islam yang memiliki kelayakan untuk mendudukinya.
Setelah dinasti Al Buyeh runtuh dan dinasti Saljuqi memerintah, kondisi kehidupan sosial masyarakat berubah secara drastis. Gangguan dan pembunuhan massal terhadap para pengikut mazhab Syi‘ah dimulai kembali. Karena tuntutan kondisi ini dan demi menjaga jiwa dan mazhab, mereka terpaksa harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan bertaqiyah. Dengan penyerangan yang dilakukan oleh kaum fanatik terhadap kerajaan dan pemuda-pemuda brandalan terhadap barisan pengikut Syi‘ah yang sedang mengadakan acara aza’ atas syahadah Imam Husain as, pengadaan acara aza’ yang biasanya dilakukan oleh mereka berhenti total.[4]
Dalam sebuah penyerangan yang terjadi di bawah komando Menteri Abdul Malik, sangat banyak pengikut mazhab Syi‘ah yang terbantai dan tidak sedikit rumah penduduk, toko, pusat-pusat kajian ilmiah, dan perpustakaan-perpustakaan Syi‘ah yang dibakar dan akhirnya dirampok.
Syaikh Thusi pun tidak aman dari penggarongan dan pembakaran tersebut. Karena seperti telah disebutkan di atas, Syaikh Thusi telah diserahi kursi pengajaran ilmu Teologi, dan sebagian ulama yang menamakan dirinya sebagai pengikut mazhab Ahlusunah merasa iri dengan kedudukan tersebut. Mereka sudah beberapa kali berusaha untuk menggulingkan Syaikh dari kursi tersebut. Tetapi, mereka tidak behasil. Kedengkian ini—pada akhirnya—berhasil mencapai tujuannya, dan beberapa orang brandalan menyerang rumah kediaman Syaikh dan merampok segala isi yang ada di dalamnya. Kursi pengajaran ilmu Teologi itu juga dibakar. Tidak ketinggalan pula, perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh Syaikh ikut termakan oleh jilatan si jago merah. Padahal, perpustakaan itu adalah sebuah perpustakaan yang terbesar dan terkemuka pada masa itu dan memuat berbagai buku asli hasil tulisan tangan para ulama dan naskah Al-Qur’an yang telah ditulis dengan tinta emas murni.[5]
Setelah pembakaran perpustakaan tersebut, orang-orang brandalan itu memasuki rumah Sayikh Thusi dengan tujuan untuk membunuhnya. Akan tetapi, karena mereka tidak berhasil menemukannya, seluruh buku dan bendera-bendera yang biasa digunakan dalam acara-acara aza’ yang masih tersisa dibawa ke tengah-tengah pasar dan kemudian dibakar di hadapan khalayak ramai.
Setelah peristiwa menyakitkan ini terjadi, Syaikh Thusi melarikan diri dari Baghdad dan menuju ke Najaf Asyraf secara sembunyi-sembunyi. Pada masa itu, Najaf Asyraf adalah sebuah kota yang hanya didiami oleh beberapa gelintir orang yang sangat mencintai Amirul Mukminin Ali as. Setelah amarah para penyerang itu mulai reda, Syaikh mendirikan sebuah hauzah ilmiah di Najaf Asyraf, dan setelah itu, hauzah ini menjadi sebuah hauzah terbesar di kalangan para pengikut mazhab Syi‘ah. Dan Syaikh Thusi meninggal dunia pada malam Senin, 22 Muharam 460 Hijriah dan dikuburkan di Najaf Asyraf di rumahnya sendiri.

2.      Guru-Guru Abu Ja’far at-Thusi
Selama lima tahun, Syaikh Thusi menimba ilmu dari Syaikh Mufid. Karena kecerdasannya yang luar biasa, ia mendapatkan perhatian yang luar biasa dari gurunya itu. Atas dasar ini, ia selalu hidup bersamanya sehingga Syaikh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 Hijriah.
Setelah Syaikh Mufid meninggal dunia, Sayid Murtadha, salah seorang murid kenamaannya betanggung jawab atas pendidikan Syaikh Thusi dan Syaikh Thusi pun menimba ilmu darinya selama waktu yang amat panjang. Karena Sayid Murtadha melihat kecerdasan dan kelayakan yang sempurna pada dirinya, ia memberikan perhatian yang sangat istimewa kepadanya dan memaksanya untuk memberikan kuliah di Baghdad. Sebagai imbalan, Sayid Murtadha memberikan tunjangan 12 Dinar per bulan, sebuah angka yang cukup besar pada masa itu. Setelah dua puluh tiga tahun Syaikh Mufid hidup bersama Sayid Murtadha, Sayid Murtadha harus berpisah dengannya lantaran ia wafat pada bulan Rabiulawal 436 H. di usia delapan puluh satu tahun.

3.      Murud-Murid Abu Ja’far at-Thusi
Seperti telah disinggung di atas, setelah Sayid Murtadha meninggal dunia, kepemimpinan mazhab Syi‘ah berpindah ke tangan Syaikh Thusi. Dengan demikian, rumahnya yang terletak di daerah Karkh, Baghdad menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan dan selalu didatangi oleh ulama dan ilmuwan yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia Islam pada masa itu.
Para murid Syaikh Thusi berjumlah tiga ratus orang, dan ratusan ulama dari pengikut mazhab Ahlusunah juga pernah menimba ilmu darinya.

4.      Karya-Karya Abu Ja’far at-Thusi
Ada beberapa karya yang ditulis oleh beliau, diantaranya :
1. Abu al-Ahkam (koleksi hadis) Buku ini adalah salah satu koleksi hadis Syi'ah otentik.
2. Al-Istibsar (koleksi hadis) Buku ini juga di antara Syi'ah koleksi hadits otentik.
3. Al-Nihayah (dari Fikih Islam) buku ini adalah buku teks dalam seminari yang berbeda selama bertahun-tahun.
4. Al-Mabsut: (dari Fikih Islam)
5. Al-Khilaf: (dari Fikih Islam)
6. iddat al-Ushul (prinsip yurisprudensi)
7. Al-Rijal (pada mengetahui individu tradisi telah diriwayatkan oleh untuk menentukan keaslian tradisi)
8. Al-Fehrist (koleksi buku dan nama penulis 'di dunia Syi'ah)
9.Tamhid al-Ushul (dari Syi'ah doctorin dan keyakinan)
10. Al-Tibyan Fi Tafsir al-Quran
11. Kitab al-Ghaybah (pada kegaiban Imam Mahdi)

5.      Komentar Para Ulama
Najasyi, seorang ulama yang hidup sezaman dengan Syaikh Thusi berkomentar, “Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi adalah salah seorang ulama yang agung, tsiqah, dan murid guru kami, Abu Abdillah Al-Mufid yang tersohor.”
Allamah Sayid Bahrul ‘Ulûm, salah seorang tokoh mazhab Ja‘fariyah dan seorang ulama yang paling bertakwa di dunia Islam berkata, “Muhammad bin Hasan Ath-Thusi adalah tokoh mazhab Imamiah yang tersohor, pemegang bendera syariat Islam, dan imam mazhab Syi‘ah setelah periode para imam ma‘shum as. Berkenaan dengan segala pengetahuan yang berhubungan dengan masalah agama, ia adalah orang yang dapat dipercaya. Ia adalah ahli yang ulung dalam bidang Ushuluddin dan Furu‘uddin dan peneliti yang handal dalam bidang ilmu rasional dan tekstual. Lebih dari itu, ia adalah Syaikhut Tha’ifah kita dan pemimpin mazhab Syi‘ah secara mutlak.”




B.     Latar belakang penulisan kitab
Di dalam muqoddimahnya imam Abu Jafar Muhammad Ibnu Hassan at- Tusi menulis dan memberikan pernyataan yang dimana salah satunya adalah tentang alasan mengapa beliau menulis kitab tafsir. Yakni di latar belakangi beliau tidak menemukan sama sekali dari sahabatnya baik orang yang mendahului atau yang sejaman, dari menulis sebuah kitab yang memuat semua tafsir qur’an tentang bidang ilmu ma’ani. Akan tetapi para ulama sebelum dan sejamannya di dalam menulis tafsirnya hanya menuliskan hadis yang dimana tidak di jelaskan tentang  isi tafsir. Kemudian beliau juga menemukan ulama tafsir yang menjelaskan tentang ilmu ma’ani akan tetapi dalam pembahasannya ada yang panjang dan ringkas yang salah satunya di pelopori oleh At-Thabarri. Dan juga ulama tafsir yang membahas tentang i’rab dan tasrifnya al-qur’an yakni imam al-Zujjaj dan imam al-Farra, begitu juga imam Mufaddal bin Salamah yang membahas ilmu lughat dalam al-Qur’an, selain itu juga imam Abi Ali al-Zuba’i yang membahas tentang tafsir Kalam atau Akidah.[6]
Kemudian imam Abu Jafar Muhammad Ibnu Hassan at- Tusi memberikan pernyataan dengan kata Insya Allah dalam kitab tafsirnya untuk menulis semua bidang yang beliau komentari dari ulama tafsir dengan metode Ijaz (lafadnya sedikit artinya banyak) dan Ikhtishar (lafadnya sedikit artinya sedikit).

PENUTUP
Al-Tibyan Fi Tafsir al-Qur'an adalah kitab tafsir yang komprehensif dari Al-Qur'an, yang mencakup semua aspek ilmu Alquran seperti yang kita kenal. Ini ditulis oleh Muhammad b. Hasan al-Tusi, umumnya dikenal sebagai al-Syaikh al-Tusi. Penulisan kitab ini di latar belakangi beliau tidak menemukan sama sekali dari sahabatnya baik orang yang mendahului atau yang sejaman, dari menulis sebuah kitab yang memuat semua tafsir qur’an tentang bidang ilmu ma’ani.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini yaitu Menuliskan nama surat dan nama lain dari surat tersebut beserta sebab penamaannya. Menuliskan ayat setiap sebelum pembahasan. Menjelaskan tentang i’rab dari setiap ayat. Menjelaskan tentang qira’at pada setiap ayat ketika terdapat perbedaan dalam qira’at.Menjelaskan tentang lughot dari setiap ayat. Menjelaskan tentang makna alqur’an pada setiap ayat. Terkadang menjelaskan tentang penafsiran ayat. Sedangkan sistematikanya tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir lainnya yaitu dengan menuliskan surat, ayat, kemudian penjelasan tafsir dari ayat yang akan dibahas.











DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim , Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah,                2012) hal.3
Muhammad , Abu Jafar Ibnu Hassan at- tusi, At-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, (Bairut, Lebanon : Ihya’ al         Turast al-Araby) hal. 74
Bakar,  Abu . Perbandingan Madzab Syi’ah. (Searang: C.V Ramadhani, 1972) hal. 10
Anwar, Drs. Rosihon, M. Ag. Samudera al-Quran,(Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hlm . 209
Basuni Faudah , Mahmud. Tafsir-tafsir Alqur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. (Bandung:           Penerbit Pustaka, 1987) hal. 119
http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/history_library/islamic_personalities/abu_jafr                               Diakses pada hari Senin , Tanggal 20  November  2017.



[1] Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012) hal.3
[2] Abubakar Aceh. Perbandingan Madzab Syi’ah. (Searang: C.V Ramadhani, 1972) hal. 10
[3] Mahmud Basuni Faudah. Tafsir-tafsir Alqur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987) hal. 119
[5] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Samudera al-Quran,(Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hlm . 209
[6] Abu Jafar Muhammad Ibnu Hassan at- tusi, At-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, (Bairut, Lebanon : Ihya’ al-Turast al-Araby) hal. 74

RELASI GENDER


MAKALAH
STUDI NASKAH TAFSIR
KESETARAAN GENDER (QS. AN-NISA’ AYAT 34)
 









DOSEN PEMBIMBING
Ust. Dr. Ahmad Husnul Hakim, MA

DISUSUN OLEH:
Jihad Abdullah
Kasis Darmawan
Fahmi Izul Widad

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
2017/2018

PENDAHULUAN
Alqur’an adalah kitab suci umat islam yang terkumpul di dalamnya petunjuk dan hikmah. Alqur’an juga merupakan landasan hukum bagi umat manusia yang mutlak sehingga perlu untuk mematuhi dan mentaati norma-norma hukum yang tersurat dalam Alqur’an.
Dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia menjadi bermacam-macam suku , bangsa dan budaya yang berbeda-beda agar kita senantiasa bergaul dan saling mengenal satu sama lainya. Disamping beragam suku dan ras  yang Allah ciptakan di dunia ini, Allah SWT menciptakan manusia menjadi dua jenis gender, yakni laki-laki dan perempuan.
Setiap masing-masing dari laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah dalam Alqur’an, Namun beberapa ayat dalam Alquran secara literatur terdapat unsur superioritas laki-laki atas perempuan. Tentu saja hal ini menjadi sorotan tajam bagi para feminis  yang mempertahankan akan kesetaraan gender laki-laki dengan perempuan. Salah satu ayat yang menjadi kontroversi terkait kesetaraan gender adalah QS. An-Nisa’ 4:34.
Maka, pada makalah ini akan dibahasa sedikit tentang persoalan relasi gender khususnya dalam masalah keluarga yang tersirat dalam QS. An-NIsa’ 4:34.





A. Pengertian Seks dan Gender
Zaitullah Subhan menjelaskan seks sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis yang meliputi perbedaan komposisi hormone dan kimia dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristiik biologis lainnya. Sedangka gender adalah lebih banyak berkonsentrasi pada spek sosial, budaya, psikologis dan aspek non biologis lainnya. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa seks merupakan kodrati dan keberadaannya alami sedangkan gender merupakan konstruk budaya dan dapat berubah-ubah (tidak baku).
Kodrat perempuan dan laki-laki adalah kekhususan yang tidak dapat ditukar yang berhubungan dengan biologis, yang termasuk kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause.[1]
Dalam kajian gender hal yang berkaitan dengan pembahasan adalah mengenai atribut gender (gender attribute), identitas gender (gender identity), beban gender (gender assignment), peran gender (role of gender) dan pembagian kerja gender.
Untuk menselaraskan dan menciptakan relasi sosial dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, maka  dipandang perlu untuk menciptakan individu yang berkualitas, bermoral dan  mempunyai kepedulian yang berlandaskan cinta kasih dan saling mengerti dan menghormati, karena tidak ada satupun struktur sosial yang menjamin terciptanya relasi sosial yang harmonis tanpa dipengaruhi individu-individu yang bermoral.

C. Kesetaraan Gender
Permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki pada dasarnya masih menjadi realitas factual di masyarakat. Permasalahan tersebut di latar belakangi oleh beberapa factor, diantaranya yaitu kontruksi sosio-kultural masyarakat yang patriakhal serta pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang terkesan bias genderdan melegalkan segala bentuk superiotas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal itu kemudian berimbas pada kontruksi paradigma masyarakat yang tidak adil gender. Dalam wilayah domestic, paradigma tersebut termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Diantaranya yaitu pembagian peran yang tidak seimbang diantara anggota keluarga, serta adanya dominasi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan yang kemudian menjadikan posisi mereka lebih tinggi dan menjadi penentu semua kebijakan domestic.[2]
            Terkait hal tersebut, Al-Quran sebagai otoritas hokum tertinggi pada dasarnya sangat menekankan kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan gender. Hal tersebut yang dijelaskan Al-qur’an dalam Surah Al-Hujurat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
            Oleh karena itu, reintrepetasi terhadap teks-teks keagamaan yang terkesan bias gender sangat diperlukan. Hal ini penting, mengingat bahwa teks keagamaan seperti Al-Quran dan Hadist merupakan pedoman masyarakat, serta berposisi sebagai sumber hokum. Dengan demikian, upaya reinterpretasi merupakan langkah penting dalam mengkonstruk  paradigma masyarakat yangadil gender.[3]
Adapun upaya reinterpretasi terhadap Al-quran dengan berprinsip pada penafsiran yang berperspektif gender pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh intelektual muslim kontemporer.


D. Reinterpretasi terhadap Alquran Surah An-Nisa ayat 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Terkait Surah an-Nisā’ ayat 34 tersebut Yuksel, dkk melihat empat kata kunci atau ungkapan yang  menurutnya diterjemahkan secara keliru oleh para penerjemah tradisional. Pertama, lafal qawwāmun ‘alā an-Nisā’ yang diterjemahkan dengan “yang bertanggung jawab atas wanita-wanita (in charge of women).” Kedua, lafal qānitāt yang sering diterjemahkan dengan “taat (obedient)” terhadap suami. Ketiga, lafal nusyūz yang diterjemahkan dengan “pemberontakan (rebellion)” atau “penentangan (disobedience)” atau “oposisi (opposition)” terhadap laki-laki. Keempat, lafal idribūhunna yang diterjemahkan dengan “cambuk (scourge),” atau “pukulan (beat)” atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).” Oleh karena itu mereka melakukan eksplorasi linguistik pada keempat key word tersebut. Lafal qawwāmun ‘alā an-nisa’ mereka terjemahkan dengan makna “penyedia  untuk wanita-wanita (providers for women)” atau “untuk memperhatikan wanita-wanita (observant of women).” Adapun lafal qānitāt mereka maknai dengan kepatuhan yang dikaitkan dengan kewajiban seorang yang dikhususkan untuk Allah. Selanjutnya lafal nusyūz dimaknai sebagai “ketidaksetiaan dalam pernikahan (disloyalty in marriage),” sedangkan lafal i«ribūhunna diterjemahkan dengan tinggalkanlah. Akan tetapi, karena yang menjadi inti dari pembahasan mereka terhadap Surah an-Nisā’ ayat 34 tersebut adalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga, maka eksplorasi li-nguistik mereka lebih ditekankan pada lafal idribūhunna’.[4]
Lafal idribūhunna dalam ayat di atas seringkali diterjemahkan dengan makna “cambuk (scourge),” atau “pukulan (beat)” atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).” Sehingga secara tekstual, lafal fa idribūhunna dalam Surah an-Nisā’/4: 34 tersebut memang mengindikasikan pelegalan terhadap perilaku tindak kekerasan di dalam rumah tangga, dimana seorang suami diperbolehkan untuk memukul istri. Oleh karena itu, ayat tersebut tampak bertentangan dengan konsep pernikahan .
E. Argumen Penafsiran Kesetaraan Jender Terhadap QS. An-Nisa:34
             Penafsiran ayat ini selama ini lebih banyak dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir  secara tektual atau normatif, sehingga melahirkan ketentuan kaum pria menjadi  pemimpin bagi wanita yang menimbulkan persepsi negative terhadap kedudukan kaum wanita, menjadikan pria lebih superior dibanding wanita dan wanita (isteri) diperlakukan sekehendak suami, sebab kehidupannya sepenuhnya tergantung pada suaminya. Pandangan ini senada dengan pandangan tiga mufasir terkemuka di Indonesia: Hamka, Muhammad Yunus dan tafsir departemen Agama yang cenderung menilai pria punya nilai lebih dibanding wanita.[5]
         Para pemikir islam seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Asghar Ali Engineer berupaya mereinterprestasi ayat tersebut. Al-Quran membawa ajaran yang normative dan kontekstual. Secara normatif al-quran membicarakan kesejajaran antara pria dan wanita, namun secara kontekstual memberikan kelebihan terhadap kaum pria misalnya ayat tentang kepemimpinan ini atau qawwamun.
           Kata qawwam muncul tiga kali dalam al-quran yaitu surat al-Nisa: 34 dan 135 serta al-Maidah :8. Dalam tafsir buya Hamka, Muhammad Yunus dan Dep. Agama kata qawwam di dua ayat yang lain (an-Nisa: 135 dan al-Maidah: 8) tidak diterjemahkan dengan pemimpin tetapi degan “berdiri karena Allah”,”lurus karena Allah”,”orang-orang yang selalu menegakakan kebenaran karena Allah”. Namun dalam kamus Lisan al-Arab, kalimat قوام   diartikan “kaum pria adalah penjamin dan penjaga urusan kaum wanita. Maka menurut Zaitunnah Subhan makna mengayomi, menopang, penaggung jawab, penjamin (dikaitkan dengan memberi nafkah) itu lebih tepat. Karena kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang-mukmin, baik pria maupun wanita sesuai dengan aturannya serta memberikan komitmen kepada keadilan dan keseimbangan.
         Seorang suami dalam ayat ini  memiliki hak normatif  pemimpin bagi isterinya yang diatur oleh islam. Ada beberapa hikmah disyariatkannya kepemimpinan pria atas kaum wanita, alasan :”kaum pria penjamin ekonomi keluarga sebagaimana disebutkan ayat 34 al-Nisa’:”dan karena mereka (kaum pria/suami) memberi nafkah dari harta kekayaan mereka,,,”.
Menurut Zaitunnah Subhan ayat ini bukan sebagai pernyataan normatif tapi pernyataan kontesktual. Al-Quran hanya mengatakan bahwa pria adalah qawwam menurut gramatika arab: susunan kalimat mubtada khabar dan tidak mengatakan bahwa mereka (pria) harus menjadi qawwam. Maka selama pria yang memberi nafkah ini akan mengikat bagi semua wanita pada semua masa dan semua keadaan. Maka bukanlah hal ini menjadi perbedaan hakiki, melainkan hanya perbedaan fungisional saja. Artinya jika ada istri yang secara ekonomi  dapat mandiri baik dari harta waris atau penghasilan sendiri dan memberikan penghasilanya untuk keluarganya maka kelebihan dan keunggulan suami menjadi berkurang karena ia tidak memiliki keunggulan dalam bidang ekonomi.
Dalam al-quran istilah-istilah gender mempunyai makna yang signifikan, misalnya dalam ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan ini, yaitu kata “rijal” (pria) dikaitkan degan “nisa’” (wanita). Kata nisa’ berkonotasi  feminim, domistik, lemah lembut, bahkan bermakna banyak lupa, sementara rijal bermakna orang yang berjalan kaki, jadi makna sosiologis sesuai dengan artinya, rijal atau pria itu bergerak, berusaha diruang publik, sedangkan wanita yang di rumah. Kalau wanita itu lebih aktif, maka secara sosiologis, ai menjadi rijal, dan kalau pria itu di rumah secara sosiologis ia menjadi nisa’. Tetapi kategori gender, yaitu biologis, ia tetap al-zakar, secara sosiologis ia nisa’.
Ayat 34 surat an-nisa’ ini merupakan kategori ekonomis sosiologis. Jika itu merupakan kategori sosiologis, berarti bahwa kodrat ada yang alami (nature) dan historical contruction (nurture).Selama ini, konstruksi sosial itu akhirnya dibakukan menjadi konstruksi teologis.[6]



KESIMPULAN
            Dalam persoalan perempuan, Teks-teks al-Qur’an dan Hadis dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah teks yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Terdapat beberapa ayat dan hadis yang secara tegas menyatakan kesejajaran perempuan dan laki-laki, dan banyak ayat dan hadist lain yang menyatakannya secara umum. Kelompok kedua adalah teks yang secara literal menunjukkan inferioritas perempuan ketika berhadapan dengan laki-laki, bahkan cenderung bersikap misoginis terhadap mereka.
            Ayat Surah An-Nisa’ ayat 34 Adalah salah satunya yang secara literatur menyatakan keunggulan dan kekuasaan kaum laki-laki terhadap perempuan, Ulama klasik terdahulu banyak yang menafsirkan ayat tersebut dengan mendukung paradigma tersebut sehingga menuai kontroversi terhadap beberapa kalangan yang mengajukan untuk mengreinterpretasikan ayat tersebut dengan konteks saat ini.
           

DAFTAR PUSTAKA
Siti Shoichah, Aas , Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi Alquran, Mumtaz, Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006.   
Matswah, Akrimi, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 , Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014.
Subhan, Zaitunnah, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelanggi Aksara, 2016.




[1] Aas Siti Shoichah, Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi Alquran, Mumtaz, (Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006). Hlm. 100.
[2] Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.304.
[3] Ibid hlm. 305
[4] Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.317

[5] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran, (Yogyakarta:PT. LKiS Pelanggi Aksara, 2016),hal.102
[6] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran,...hal.111

MAKALAH TAFSIR KLASIK ( At Tibyan fi Tafsir Al Quran ) ( karya At Thusi )

PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Tafsir menurut bahasan merupakan bentuk masdar dari fassara – yufassir – tafsiran yang berarti menjel...