Senin, 11 Desember 2017

Asbabun Nuzul dari surat al Isra’ ayat 110



Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang penuh dengan makna. Tidak saja umat muslim, siapapun yang memahami al-Qur’an, akan mendapatkan pencerahan yang sangat mencerahkan. Bahkan akan berbeda antar satu orang dengan orang yang lain.
Dalam pola menafsirkan al-Qur’an ada sebagian ulama yang membaginya menjadi empat macam, tahlili, maudhu’i, ijtima’i, dan muqaran. Masing-masing jenis penafsiran itu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas asbabun nuzul dari surat al Isra’ ayat 110. Penulis mencoba mengkolaborasikan pendapat beberapa ulama tafsir melalui karaya-karyanya.
Selamat membaca!




BAB II
PEMBAHASAN

Redaksi Ayat dan terjemah
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (110)
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".

Katakanlah kepada orang-orang musyrik itu, "Serulah Tuhanmu dengan nama 'Allah' atau 'al-Rahmân'. Dengan nama mana saja kalian menyeru-Nya adalah baik, karena Dia mempunyai al-asmâ' al-husnâ (nama- nama terindah). Kalian tidak perlu ragu, karena banyaknya nama tidak harus menunjukkan banyaknya referen (musammâ)." Apabila kamu membaca al-Qur'ân di dalam salatmu, janganlah terlalu meninggikan suara agar tidak terdengar oleh orang-orang musyrik lalu mereka menghina dan menyiksamu. Jangan pula terlalu merendahkan suara hingga tidak terdengar oleh orang-orang Mukmin. Bacalah dengan suara sedang.[1]

A. Sabab an-Nuzul ayat
Ayat ini turun untuk membimbing Nabi supaya membaca Al-Qur’an dengan suara sedang, tidak terlalu lantang dan tidak pula terlalu lirih.
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ، عَنْ هُشَيْمٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَجْهَرْ -[154]- بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا} [الإسراء: 110]، قَالَ: «نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخْتَفٍ بِمَكَّةَ، فَكَانَ إِذَا صَلَّى بِأَصْحَابِهِ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالقُرْآنِ، فَإِذَا سَمِعَهُ المُشْرِكُونَ، سَبُّوا القُرْآنَ وَمَنْ أَنْزَلَهُ وَمَنْ جَاءَ بِهِ»، فَقَالَ اللَّهُ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ} [الإسراء: 110]: أَيْ بِقِرَاءَتِكَ فَيَسْمَعَ المُشْرِكُونَ فَيَسُبُّوا القُرْآنَ: {وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا} [الإسراء: 110]، عَنْ أَصْحَابِكَ فَلاَ تُسْمِعُهُمْ {وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا} [الإسراء: 110][2]

Telah menceritakan kepadaku 'Amru bin Zurarah dari Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa'id bin Jubair dari Ibn Abbas radliyallahu'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: '(Jangan kamu membacanya secara lantang dalam shalatmu, dan jangan pula secara lirih) ' (Qs. Al Isra': ayat 110), Ibn Abbas berkata, "Ayat ini diturunkan saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih sembunyi-sembunyi di Makkah, jika shalat bersama sahabat-sahabatnya, beliau mengeraskan bacaan Al Qur'annya, sehingga jika kaum musyrikin mendengarnya, mereka mencaci Al Qur'an, Dzat yang menurunkannya dan malaikat yang membawanya. Maka Allah menegur nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam shallallahu 'alaihi wasallam dengan ayat: '(Jangan kamu membacanya secara lantang dalam shalatmu) ' (Qs. Al Isra': ayat 110), yakni dengan bacaanmu, sehingga saat orang-orang Musyrik mendengar mereka akan mencela Al Qur'an, '(dan jangan pula secara lirih), yaitu kepada para sahabatmu, sehingga engkau tidak bisa menjadikan mereka mendengar, (Carilah jalan tengah antara keduanya) ', (Qs. Al Isra: ayat 110).
            Menurut ath-Thabari dan al-Wahidi, adalah ketika Nabi Muhammad saw sujud sambil menyebut Ya Rahman Ya Rahim orang-orang Musyrik berkata: “Dia percaya bahwa dia hanya menyembah satu Tuhan, sedang sekadang dia menyebut dua”. Riwayat lain mengatakan bahwa Abu Jahl berkata: “Muhammad menyebut nama ar-Rahman sedang dia melarang kita menyembah dua Tuhan, padahal dia sendiri sekarang menyebut dua Tuhan.”
Pendapat lain. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Bahwa orang-orang Ahli Kitab itu selalu merendahkan bacaan kitab mereka bilamana ada seseorang dari mereka mengeraskan bacaan suatu kalimat dari kitabnya dengan suara yang keras, maka orang-orang yang mengikutinya membacanya dengan keras pula di belakangnya. Maka Allah Swt. melarang Nabi Saw. mengeraskan suara dalam bacaannya seperti yang dilakukan orang-orang ahli kitab, dan melarang pula merendahkannya seperti yang dilakukan mereka. Kemudian Allah Swt. memberinya jalan pertengahan di antara keduanya, yang hal ini dicontohkan kepada Nabi Saw. oleh Malaikat Jibril a.s. dalam salatnya.[3]
            Kata (الرَّحْمَنَ) ar-Rahman telah dijelaskan secara Panjang lebar dalam penafsiran ayat pertama surat al-Fatihah. Disana antara lain dikemukakan curahan rahmat Tuhan secara aktual dilukiskan dengan kata “Rahman” sedang sifat yang dimiliki-Nya dan melekat pada diri-Nya itu dilukiskan dengan kata “Rahim”. Dengan kata ar-Rahman, digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan Rahmat-Nya kepada semua makhluk, sedangkan dengan ar Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki rahmat yang melekat pada diri-Nya.
            Al-Asma’(الْأَسْمَاءُ) adalah bentuk jamak dari kata (الْاسْم) al-ism yang biasa diterjemahkan dengan nama. Ia berakar dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti ketinggian atau (السمة) as-simah yang berarti tanda.
            Kata al-Husna (الْحُسْنَى) adalah bentuk muannats dari kata (احسن) ahsan yang berarti terbaik. Sifat nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang baik lainnya. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi karena bagi Allah adalah al Asma’ al Husna (yang terbaik), pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih kasih makhluk, baik dalam kapasitas kasih maupun substansinya. Kata al-Husna menunjukkan bahwa nama-namaNya adalah nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.
firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 180:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-namaNya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Kata (صلاة) shalah dari segi bahasa bermakna do’a. Dalam istilah keagamaan, shalat digunakan dalm arti bacaan dan gerak-gerak tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Banyak ulama’ memahami kata tersebut pada ayat ini dalam kedua makna tersebut, apalagi ada shalat dalam pengertian kedua diatas, yang hendaknya dilaksanakan dengan suara yang terdengar dan ada juga yang hendaknya tidak didengar kecuali oleh pembacanya.
Ayat ini memerintahkan untuk membaca al-Qur’an ketika shalat atau berdo’a diluar shalat dengan tidak terlalu mengeraskan suara dan tidak juga merahasiakan. Ini untuk menghindari gangguan dan mengganggu orang lain. Nabi saw melaksanakan tuntutan ini dalam pelaksanaan shalat dan do’a. Itu sebabnya pula sehingga pada saat orang-orang musyrik masih berkeliaran, di waktu Dzuhur dan Ashar bacaan shalat dilakukan dengan suara rahasia (Sirr). Sedangkan di waktu Shubuh ketika mereka masih nyenyak tidur dan demikian juga Maghrib dan ‘Isya ketika mereka mereka telah kembali ke rumah masing-masing itu dilaksanakan Nabi saw dengan bacaan yang dapat terdengar secara jelas oleh para makmum.[4]

قَوْلُهُ: (يُسَنُّ الْجَهْرُ) أَيْ وَلَوْ خَافَ الرِّيَاءَ قال ع ش وَالْحِكْمَةُ فِي الْجَهْرِ فِي مَوْضِعِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ وَيَطِيْبُ فِيْهِ السَّمْرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ طَلَبًا لِلَذَّةِ مُنَاجَاةِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ، وَخُصَّ بِالْأَوَّلَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا وَالنَّهَارُ لِمَا كَانَ مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَاْلاِخْتِلاَطِ بِالنَّاسِ طُلِبَ فِيهِ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ صَلَاحِيَّتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ، وَأُلْحِقَ الصُّبْحُ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ مَحَلاًّ لِلشَّوَاغِلِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 179، دار ابن عصاصه)
Perkataan musannif, (disunnahkan mengeraskan bacaan) meskipun kuatir riya’. Imam Ali Syibramulisy berkata “Adapun hikmah mengeraskan bacaan pada tempatnya yaitu sesungguhnya ketika adanya malam itu tempat kholwat (menyepi) dan enak dibuat ngobrol, maka disyari’atkan mengeras-kan bacaan untuk mencari nikmatnya munajat seorang hamba kepada Tuhannya, dan dikhususkan pada dua rakaat pertama karena semangatnya orang yang shalat berada di dalam dua rakaat tersebut. Dan ketika siang itu tempat berbagai macam kesibukan dan berkumpul dengan manusia, maka dianjurkan membaca dengan suara lirih karena tidak adanya maslahah untuk menyempurnakan munajat, dan shalat shubuh disamakan dengan shalat malam, karena waktunya bukan tempat kesibukan”[5].
“Wallahu a’lam alasan mengapa diajarkan untuk membaca keras-keras dalam shalat-shalat tersebut (Maghrib, ‘Isya dan Shubuh). Alasan yang paling mungkin dan Wallahu a’lam adalah bahwa pada malam hari dan pada saat shalat Fajar , orang lebih mungkin memperoleh manfaat dari bacaan yang dilakukan dengan keras, karena kurangnya gangguan dari sekitar mereka dari pada pada saat Zhuhr dan ‘ Ashar”[6]


PENUTUP

Dari uraian singkat di atas, penulis dapat menyimpul bahwa setidaknya ada dua point penting menurut ayat di atas, yakni:
1. Kita harus saling menghormati terhadap orang yang tidak segolongan dengan kita, termasuk        dalam sholat dengan tidak mengeraskan suara yang dapat mengganggu kenyamanan mereka
2. Allah memiliki nama-nama yang baik (Asmaul Husna). Berdo’alah dengan menyebut nama-nama indahnya insya Allah terkabul


DAFTAR PUSTAKA

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. V. 4. 2009. Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats
Shihab, M. Quraih, Tafsir al-Mishbah, 2009, Tangerang Selatan; Lentera Hati , cetakan I
Al-Asqalani ,Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1379 H, Beirut; Daarul Ma’rifat, juz 13
Ibnu Muhammad Syata’ Ad Dimyati, I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 179, Dar Ibn ‘Ashashah


[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Kairo; Daarut Taqwa) Cet 1, hal. 335
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut; Daarul Ma’rifat, 1379 H), juz 13, no. 7525
[3] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Kairo; Dar al-taufiqiyah li al-turats,2009) hlm. 64
[4] M. Quraih Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tangerang Selatan; Lentera Hati,2009) cetakan I, hal.217
[5] Ibnu Muhammad Syata’ Ad Dimyati, I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 179, Dar Ibn ‘Ashashah
[6] Majmu ‘ Fatawa al – Syaikh Ibnu Baaz (11/ 122).

Selasa, 17 Oktober 2017

HIKMAH PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


Oleh : Drs. KH. Abd. Choliq Ms, SH., S.Pd., M.Si.

Pada bulan ini kita berada dalam suasana khidmat memperingati satu masa yang amat penting dalam sejarah hidup, yaitu lahirnya seorang pemimpin dunia Muhammad SAW. tepatnya pada hari Senin 12 Robiul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April 517 Masehi. Setiap pribadi muslim mencatat sejarah ini dengan sebutan yang umum dengan Maulid Nabi.
Kelahiran beliau ini merupakan nikmat yang paling besar bagi umat seluruh alam. Meskipun beliau dilahirkan di Mekkah, namun risalahnya tidak terbatas bagi bangsa Arab saja, akan tetapi menyeluruh ke seluruh alam. Ajaran-ajaran yang dibawanya pun untuk mengatur tata kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan Sang Pencipta Allah SWT. ataupun yang berhubungan dengan makhluk-Nya, sehingga manusia bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akherat.
Sejarah mencatat perbandingan antara keadaan sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dengan keadaan sesudah datangnya Islam. Sebelum Islam datang masyarakat cenderung melakukan sesuatu dengan seenaknya sendiri tanpa memperhitungkan baik buruknya, sehingga yang terjadi banyak sekali dijumpai pemerasan, pembunuhan, perampokan, mabuk-mabukan, judi, mencuri dan sikap perilaku yang tidak terpuji. Namun setelah Islam menyinari kehidupan mereka, masyarakat semakin beradab, mempunyai akhlaq yang mulia, menjalani kehidupan dengan baik dan benar, mempunyai martabat dan harga diri serta sifat-sifat yang terpuji.
Beliau lahir menjadi rasul untuk membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, bangsa, asal daerah dan suku sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ (الأنبياء : 107)
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya : 107)

Muhammad diutus oleh Allah untuk seluruh bangsa di dunia dengan menjalankan pimpinan dan petunjuk dari Allah Yang Maha Esa. Beliau adalah manusia biasa tidak untuk disembah, namun beliau dijadikan rasul untuk diikuti dan ditaati semua ajaran yang dibawanya, sebagaimana firman Allah :
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللهِ (النساء : 64)
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa’ : 64)

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah agama yang benar dan penuh dengan kelengkapan dan keutamaan. Agama Islam berisi ajaran yang lengkap karena menyempurnakan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi terdahulu. Agama Islam mengajarkan segala aspek kehidupan manusia yang berupa ubudiyah, muamalah, mu’asyarah yaumiyah (pergaulan sehari-hari), munakahat, jinayat sampai pada permasalahan yang kecil pun Islam memperhatikan dan mengaturnya. Allah SWT. berfirman :
هُوَ الَّذِىْ اَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (الصف : 9)
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia memenangkan-nya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (As-Shaff : 9)

Dari ayat  di atas menunjukkan bahwa kerasulan Muhammad adalah benar. Beliau membawa dan menunjukkan kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran yang datang dari Allah SWT.
Beliau mempunyai sifat-sifat terpuji yang selalu melekat pada dirinya, di antaranya adalah adil dan jujur, sehingga yang ditegakkan dan diperjuangkan beliau di  tengah-tengah masyarakat adalah keadilan dan kejujuran. Hal ini dibuktikan dengan para pengikut beliau tidak pernah dikecewakan oleh sifat adil dan jujurnya. Sikap dan perilaku beliau yang lemah-lembut, ramah, santun, ringan tangan, suka membantu dan menolong kaum dhuafa’, tidak congkak dan tidak sombong, membuat kawan-kawannya bahkan lawan-lawannya bertekuk lutut untuk mengikuti kenyataan ajarannya.
Dengan kenyataan sejarah yang tidak diragukan lagi kebenarannya, maka dengan peringatan Maulid Nabi ini, mari kita jadikan Muhammad sebagai figur yang patut kita teladani segala sikap dan perilakunya yang penuh dengan akhlaqul karimah sebagaimana firman Allah :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلاٰخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا (الأحزاب : 21)
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan bagimu yang baik, yaitu orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Akhir dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab : 21)

Di antara ajaran-ajaran beliau yang harus kita ikuti adalah semangat beliau dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan akherat dan juga tidak melupakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia. Meskipun beliau seorang rasul namun beliau termasuk orang yang rajin bekerja untuk memberi nafkah kepada anak-anak dan istrinya, bahkan pekerjaan-pekerjaan kecil pun beliau lakukan sendiri tanpa menyuruh orang lain seperti menjahit bajunya sendiri yang robek, memperbaiki sandalnya yang rusak. Ajaran beliau yang selalu mengajak untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat terungkap dalam hadits :
اَصْلِحُوْا دُنْيَاكُمْ وَاعْمَلُوْا ِلاٰخِرَتِكُمْ كَاَنَّكُمْ تَمُوْتُ غَدًا (رواه الديلمى)
“…Perbaikilah keadaan duniamu dan beramallah untuk akheratmu seakan-akan engkau mati besok.” (HR. Addailami)

Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendukung etos kerja demi  tercapainya kebahagiaan hidup di dunia, Islam melarang orang yang bermalas-malasan bekerja, bahkan Islam sangat mengecam orang yang sehari-harinya hanya beribadah dengan berdzikir saja tanpa mau bekerja. Akan tetapi Islam sangat menganjurkan adanya keseimbangan antara kepentingan dunia dan juga kepentingan akherat.
Dengan adanya Maulid Nabi ini tentunya kita bisa  mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya di antaranya adalah :
1.      Bahwa lahirnya Muhammad sebagai tonggak sejarah di dalam menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan serta menjadikan masyarakat yang sebelumnya tidak bermoral menjadi masyarakat yang beradab dan berakhlaqul karimah.
2.      Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Muhammad adalah ajaran yang lengkap dan sempurna mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga tata kehidupan manusia menjadi lebih baik.
3.      Islam yang dibawa oleh Muhammad mengajarkan umatnya untuk bersemangat melaksanakan ibadah untuk mencapai kebahagiaan hidup di akherat, dan juga bersemangat bekerja untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia.
Mudah-mudahan khutbah ini bisa mengetuk hati kita untuk kembali kepada jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Amin.

(Penyusun adalah Pengasuh Ribath Al-Wardiyyah Bahrul ‘Ulum dan Ribath As-Sa’idiyyah Tiga Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang)

MAKALAH TAFSIR KLASIK ( At Tibyan fi Tafsir Al Quran ) ( karya At Thusi )

PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Tafsir menurut bahasan merupakan bentuk masdar dari fassara – yufassir – tafsiran yang berarti menjel...