Al-Qur’an
adalah kalam ilahi yang penuh dengan makna. Tidak saja umat muslim, siapapun
yang memahami al-Qur’an, akan mendapatkan pencerahan yang sangat mencerahkan.
Bahkan akan berbeda antar satu orang dengan orang yang lain.
Dalam pola
menafsirkan al-Qur’an ada sebagian ulama yang membaginya menjadi empat macam,
tahlili, maudhu’i, ijtima’i, dan muqaran. Masing-masing jenis penafsiran itu
memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dalam
makalah ini, penulis mencoba membahas asbabun nuzul dari surat al Isra’ ayat
110. Penulis mencoba mengkolaborasikan pendapat beberapa ulama tafsir melalui
karaya-karyanya.
Selamat
membaca!
BAB
II
PEMBAHASAN
Redaksi
Ayat dan terjemah
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا
فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (110)
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah
Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu".
Katakanlah kepada orang-orang musyrik itu, "Serulah Tuhanmu dengan
nama 'Allah' atau 'al-Rahmân'. Dengan nama mana saja kalian menyeru-Nya adalah
baik, karena Dia mempunyai al-asmâ' al-husnâ (nama- nama terindah). Kalian
tidak perlu ragu, karena banyaknya nama tidak harus menunjukkan banyaknya
referen (musammâ)." Apabila kamu membaca al-Qur'ân di dalam salatmu,
janganlah terlalu meninggikan suara agar tidak terdengar oleh orang-orang
musyrik lalu mereka menghina dan menyiksamu. Jangan pula terlalu merendahkan
suara hingga tidak terdengar oleh orang-orang Mukmin. Bacalah dengan suara
sedang.[1]
A. Sabab an-Nuzul ayat
Ayat ini turun untuk membimbing Nabi supaya membaca Al-Qur’an dengan
suara sedang, tidak terlalu lantang dan tidak pula terlalu lirih.
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ
زُرَارَةَ، عَنْ هُشَيْمٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَجْهَرْ
-[154]- بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا} [الإسراء: 110]، قَالَ: «نَزَلَتْ وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخْتَفٍ بِمَكَّةَ، فَكَانَ إِذَا صَلَّى
بِأَصْحَابِهِ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالقُرْآنِ، فَإِذَا سَمِعَهُ المُشْرِكُونَ، سَبُّوا
القُرْآنَ وَمَنْ أَنْزَلَهُ وَمَنْ جَاءَ بِهِ»، فَقَالَ اللَّهُ لِنَبِيِّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ} [الإسراء: 110]: أَيْ بِقِرَاءَتِكَ
فَيَسْمَعَ المُشْرِكُونَ فَيَسُبُّوا القُرْآنَ: {وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا} [الإسراء:
110]، عَنْ أَصْحَابِكَ فَلاَ تُسْمِعُهُمْ {وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا} [الإسراء:
110][2]
Telah menceritakan kepadaku 'Amru bin Zurarah dari Husyaim telah
mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa'id bin Jubair dari Ibn Abbas
radliyallahu'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: '(Jangan kamu membacanya
secara lantang dalam shalatmu, dan jangan pula secara lirih) ' (Qs. Al Isra':
ayat 110), Ibn Abbas berkata, "Ayat ini diturunkan saat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam masih sembunyi-sembunyi di Makkah, jika shalat
bersama sahabat-sahabatnya, beliau mengeraskan bacaan Al Qur'annya, sehingga
jika kaum musyrikin mendengarnya, mereka mencaci Al Qur'an, Dzat yang
menurunkannya dan malaikat yang membawanya. Maka Allah menegur nabi-Nya
shallallahu 'alaihi wasallam shallallahu 'alaihi wasallam dengan ayat: '(Jangan
kamu membacanya secara lantang dalam shalatmu) ' (Qs. Al Isra': ayat 110),
yakni dengan bacaanmu, sehingga saat orang-orang Musyrik mendengar mereka akan
mencela Al Qur'an, '(dan jangan pula secara lirih), yaitu kepada para
sahabatmu, sehingga engkau tidak bisa menjadikan mereka mendengar, (Carilah
jalan tengah antara keduanya) ', (Qs. Al Isra: ayat 110).
Menurut ath-Thabari dan
al-Wahidi, adalah ketika Nabi Muhammad saw sujud sambil menyebut Ya Rahman
Ya Rahim orang-orang Musyrik berkata: “Dia percaya bahwa dia hanya
menyembah satu Tuhan, sedang sekadang dia menyebut dua”. Riwayat lain
mengatakan bahwa Abu Jahl berkata: “Muhammad menyebut nama ar-Rahman sedang
dia melarang kita menyembah dua Tuhan, padahal dia sendiri sekarang menyebut
dua Tuhan.”
Pendapat lain. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu. (Al-Isra: 110) Bahwa orang-orang Ahli Kitab itu selalu merendahkan bacaan
kitab mereka bilamana ada seseorang dari mereka mengeraskan bacaan suatu
kalimat dari kitabnya dengan suara yang keras, maka orang-orang yang
mengikutinya membacanya dengan keras pula di belakangnya. Maka Allah Swt.
melarang Nabi Saw. mengeraskan suara dalam bacaannya seperti yang dilakukan
orang-orang ahli kitab, dan melarang pula merendahkannya seperti yang dilakukan
mereka. Kemudian Allah Swt. memberinya jalan pertengahan di antara keduanya,
yang hal ini dicontohkan kepada Nabi Saw. oleh Malaikat Jibril a.s. dalam
salatnya.[3]
Kata (الرَّحْمَنَ) ar-Rahman
telah dijelaskan secara Panjang lebar dalam penafsiran ayat pertama surat
al-Fatihah. Disana antara lain dikemukakan curahan rahmat Tuhan secara aktual
dilukiskan dengan kata “Rahman” sedang sifat yang dimiliki-Nya dan
melekat pada diri-Nya itu dilukiskan dengan kata “Rahim”. Dengan kata ar-Rahman,
digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan Rahmat-Nya kepada semua makhluk, sedangkan
dengan ar Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki rahmat yang melekat pada
diri-Nya.
Al-Asma’(الْأَسْمَاءُ) adalah
bentuk jamak dari kata (الْاسْم) al-ism yang biasa diterjemahkan dengan nama. Ia berakar
dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti ketinggian atau (السمة) as-simah
yang berarti tanda.
Kata
al-Husna (الْحُسْنَى) adalah bentuk muannats dari kata (احسن) ahsan yang berarti terbaik. Sifat nama-nama Allah
dengan kata yang berbentuk superlative ini menunjukkan bahwa nama-nama tersebut
bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang baik
lainnya. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi karena bagi Allah
adalah al Asma’ al Husna (yang terbaik), pastilah sifat kasih-Nya
melebihi sifat kasih kasih makhluk, baik dalam kapasitas kasih maupun
substansinya. Kata al-Husna menunjukkan bahwa nama-namaNya adalah
nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.
firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 180:
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyalahartikan nama-namaNya. Mereka kelak akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Kata (صلاة) shalah
dari segi bahasa bermakna do’a. Dalam istilah keagamaan, shalat
digunakan dalm arti bacaan dan gerak-gerak tertentu yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Banyak ulama’ memahami kata tersebut pada
ayat ini dalam kedua makna tersebut, apalagi ada shalat dalam pengertian kedua
diatas, yang hendaknya dilaksanakan dengan suara yang terdengar dan ada juga
yang hendaknya tidak didengar kecuali oleh pembacanya.
Ayat ini memerintahkan untuk membaca al-Qur’an ketika shalat atau berdo’a
diluar shalat dengan tidak terlalu mengeraskan suara dan tidak juga
merahasiakan. Ini untuk menghindari gangguan dan mengganggu orang lain. Nabi
saw melaksanakan tuntutan ini dalam pelaksanaan shalat dan do’a. Itu sebabnya
pula sehingga pada saat orang-orang musyrik masih berkeliaran, di waktu Dzuhur
dan Ashar bacaan shalat dilakukan dengan suara rahasia (Sirr). Sedangkan di
waktu Shubuh ketika mereka masih nyenyak tidur dan demikian juga Maghrib dan
‘Isya ketika mereka mereka telah kembali ke rumah masing-masing itu dilaksanakan
Nabi saw dengan bacaan yang dapat terdengar secara jelas oleh para makmum.[4]
قَوْلُهُ:
(يُسَنُّ الْجَهْرُ) أَيْ وَلَوْ خَافَ الرِّيَاءَ قال ع ش وَالْحِكْمَةُ فِي الْجَهْرِ
فِي مَوْضِعِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ وَيَطِيْبُ فِيْهِ
السَّمْرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ طَلَبًا لِلَذَّةِ مُنَاجَاةِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ،
وَخُصَّ بِالْأَوَّلَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا وَالنَّهَارُ لِمَا كَانَ
مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَاْلاِخْتِلاَطِ بِالنَّاسِ طُلِبَ فِيهِ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ
صَلَاحِيَّتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ، وَأُلْحِقَ الصُّبْحُ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ
لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ مَحَلاًّ لِلشَّوَاغِلِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 179، دار ابن
عصاصه)
Perkataan musannif, (disunnahkan mengeraskan bacaan) meskipun kuatir riya’.
Imam Ali Syibramulisy berkata “Adapun hikmah mengeraskan bacaan pada tempatnya
yaitu sesungguhnya ketika adanya malam itu tempat kholwat (menyepi) dan enak
dibuat ngobrol, maka disyari’atkan mengeras-kan bacaan untuk mencari nikmatnya
munajat seorang hamba kepada Tuhannya, dan dikhususkan pada dua rakaat pertama
karena semangatnya orang yang shalat berada di dalam dua rakaat tersebut. Dan
ketika siang itu tempat berbagai macam kesibukan dan berkumpul dengan manusia,
maka dianjurkan membaca dengan suara lirih karena tidak adanya maslahah untuk
menyempurnakan munajat, dan shalat shubuh disamakan dengan shalat malam, karena
waktunya bukan tempat kesibukan”[5].
“Wallahu a’lam alasan mengapa diajarkan untuk membaca keras-keras dalam
shalat-shalat tersebut (Maghrib, ‘Isya dan Shubuh). Alasan yang paling mungkin
dan Wallahu a’lam adalah bahwa pada malam hari dan pada saat shalat
Fajar , orang lebih mungkin memperoleh manfaat dari bacaan yang dilakukan
dengan keras, karena kurangnya gangguan dari sekitar mereka dari pada pada saat
Zhuhr dan ‘ Ashar”[6]
PENUTUP
Dari uraian singkat di
atas, penulis dapat menyimpul bahwa setidaknya ada dua point penting menurut
ayat di atas, yakni:
1. Kita harus saling menghormati terhadap orang yang
tidak segolongan dengan kita, termasuk
dalam sholat dengan tidak mengeraskan suara yang dapat mengganggu
kenyamanan mereka
2. Allah memiliki nama-nama yang baik (Asmaul Husna).
Berdo’alah dengan menyebut nama-nama indahnya insya Allah terkabul
DAFTAR PUSTAKA
Katsir,
Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. V.
4. 2009. Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats
Shihab, M.
Quraih, Tafsir al-Mishbah, 2009,
Tangerang Selatan; Lentera Hati , cetakan I
Al-Asqalani ,Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1379 H, Beirut; Daarul
Ma’rifat, juz 13
Ibnu Muhammad Syata’ Ad Dimyati, I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 179, Dar
Ibn ‘Ashashah
[1]
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Kairo; Daarut Taqwa) Cet 1, hal.
335
[3] Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Kairo; Dar al-taufiqiyah li
al-turats,2009) hlm. 64
[4] M.
Quraih Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tangerang Selatan; Lentera Hati,2009)
cetakan I, hal.217
[5]
Ibnu Muhammad Syata’ Ad Dimyati, I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 179,
Dar Ibn ‘Ashashah
[6]
Majmu ‘ Fatawa al – Syaikh Ibnu Baaz (11/ 122).